Oleh: Nurul Inayah, SEI (Tenaga Kontrak Kemenag Kota Bontang)
Belum genap seminggu menjalani tahun 2017, Indonesia mengalami banyak ‘peningkatan.’ Hanya saja yang meningkat adalah harga-harga. Pemerintah sudah menerapkan tiga kenaikan harga yang besarannya 2 hingga 3 kali lipat dari harga sebelumnya. Mulai dari kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), pengurusan STNK/BPKB, kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) sampai harga cabe pun meningkat.
Kebijakan ini seperti kado tahun baru yang terasa pahit dan menyakitkan bagi penduduk Indonesia. Apalagi dari kalangan yang berpenghasilan pas-pasan. Otomatis, akan mengakibatkan daya beli masyarakat berkurang dan bertambahnya jumlah pengangguran. Karena industri rumahan sudah tidak sanggup membayar pekerjanya.
Dari kenaikan harga-harga yang hampir bersamaan dan dengan besaran cukup tinggi, seolah, negara seperti terkesan mengejar setoran duit sebanyak-banyaknya sampai akhirnya harus memungut dana recehan dari rakyat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat menyusun APBN 2017 menyatakan bahwa, keuangan negara sedang sakit, bahkan untuk membayar bunga utang saja, harus mengutang lagi.
Pertanyaan yang muncul, kemanakah dana utang kita yang bertambah lebih 1.000 triliun rupiah selama dua tahun pemerintahan Jokowi ini? Bukankah dalam ilmu ekonomi yang paling sederhana, keuntungan dari uang utang itulah yang digunakan untuk membayar cicilan utang tersebut beserta bunganya. Lalu, kemana dana Tax Amnesty yang digembar-gemborkan sudah mencapai lebih 1.000 triliun rupiah? Dan, kemana juga keuntungan dari kenaikan harga BBM saat diberlakukan sejak awal pemerintahan Jokowi berkuasa. Bukankah seharusnya sekarang kita sudah punya modal yang cukup banyak untuk digunakan sebagai anggaran pembangunan?
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ada pemotongan DAU/DAK dihampir seluruh APBN provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Dan kebijakan pemotongan anggaran ini baru sekali ini sepanjang sejarah republik ini berdiri.
Setidaknya ada dua sebab kenaikan harga. Pertama: faktor kelangkaan alam yang terjadi karena gagal produksi, kemarau berkepanjangan, sehingga ketika barang berkurang sementara yang membutuhkan barang tersebut banyak, maka otomatis harga akan naik. Kedua: kenaikan harga terjadi karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syariah Islam. Seperti terjadi ihtikar (penimbunan), ghabn al fakhisy (permainan harga), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.
Namun, kenaikan harga-harga tampaknya justru lebih banyak dipengaruhi oleh pengabaian terhadap hukum-hukum syariah, maka tidak cukup jika solusinya dengan diam bersabar dan beristigfar saja. Namun, penguasa harus bertanggungjawab atas hal ini dan juga mencegahnya untuk tidak terjadi lagi. Rasulullah SAW sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Khalifah Umar bin Khattab bahkan melarang siapa saja yang tidak mengerti hukum-hukum syara (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka akan dilarang berbisnis.
Pemerintah Indonesia sekarang mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal yang doktrinnya adalah Negara harus seminimal mungkin turut campur dalam perekonomian. Negara cukup menjadi regulator (pengatur) saja. Menurut doktrin ideologi ini, subsidi dianggap haram. Sehingga, ketika subsidi dikurangi maka harga otomatis naik. Masih dalam doktrin ideologi ini, Negara tidak boleh mengelola langsung kekayaan alam namun diserahkan kepada swasta. Akibatnya, Negara kehilangan sumber pendapatan yang besar sekali.
Ketika syariah Islam diterapkan menyeluruh maka kontrol harga bisa diwujudkan. Gejolak harga tinggal disebabkan faktor alami atau mekanisme pasar. Untuk mengontrol harga karena faktor mekanisme pasar, Negara akan menerapkan manajemen logistik termasuk zonasi produksi, pemberian bantuan untuk berproduksi, sistem informasi pasar dan manajemen distribusi yang baik. Selain itu, juga dilakukan kontrol keseimbangan penawaran dan permintaan. Untuk itu, institusi Negara penyangga harga (semacam Bulog sekarang) membeli hasil produksi dan mengalirkan barang ke pasar secara kontinyu sesuai kebutuhan dalam rangka menstabilkan harga. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika di Hijaz harga-harga melambung dan terjadi panceklik. Khalifah Umar lalu mendatangkan bahan makanan barang lainnya dari Syam, Irak dan Mesir sehingga masalah bisa teratasi.
Setiap kemaksiatan, apalagi kemaksiatan terkait ekonomi, pasti akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi, bahkan bukan hanya ekonomi, namun juga sisi-sisi kehidupan yang lain, baik pelakunya rakyat, pengusaha, apalagi penguasa. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana diantara mereka.”(HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan). (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post