Oleh : Imam Ashari
Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kutai Timur
Puasa adalah momen pelatihan spiritual untuk membunuh ego dan menghidupkan ketulusan pengabdian pada Ilahi. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Semua amal anak Adam dilipatgandakan. Kebaikan dilipatgandakan sepuluh sampai seratus kali, kecuali puasa, kata Tuhan. Puasa untuk Aku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Orang yang berpuasa meninggalkan keinginannya dan makanannya hanya karena Aku… (Al-Bukhari dan Muslim).”
Orang yang melakukan ibadah puasa ramadhan mereka tentu mempunyai tujuan dan pemahaman akan makna puasa bagi dirinya. Firman Allah SWT: QS Al Baqarah : 183
183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Secara ekplisit sangat jelas tujuan puasa bagi orang beriman yaitu agar kita bertakwa. Namun tidak sedikit orang yang berpuasa sekedar saja dalam melakukannya.
Puasa dalam Islam memiliki dua derajat: secara syariat dan secara hakikat. Dalam syariat Islam, puasa (al-shaum, al-shiyâm) adalah tanggung jawab personal (ibâdât), bukan tanggung jawab sosial (mu’âmalât).
Syariat Islam memang berbicara tentang amal-amal personal-lahiriah. Oleh karena itu, puasa dalam makna syariat adalah perbuatan yang menahan lapar dan dahaga serta segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Adapun hakikat Islam berbicara tentang amal-amal sosial-batiniah (nilai-nilai subtantif). Syariat adalah wasilah, sedangkan hakikat adalah tujuannya.
Orang yang berpuasa akan senantiasa dekat dengan Tuhannya, merasa ringan dan mudah dalam beribadah kepadaNya. Hal ini dikarenakan saat seseorang berpuasa mereka mengetahui bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi setiap perbuatan, aktivitas fisik maupun jiwanya kapan dan dimanapun mereka berada.
Agar lebih mudah memahami puasa dalam konteks syariat dan hakikat, saya ingin menyuguhkan satu contoh yang sering terjadi. Bagaimana jika ada orang yang berpuasa namun tidak bisa berpuasa dari dosa sosial. Misalnya, ia tetap saja melakukan korupsi, meloloskan seorang untuk berbuat ketidak adilan di mata hukum, menggunakan media digital yang justru menjauhi perintah Tuhan, dan tetap bersikeras berbohong di hadapan publik? Puasa orang itu, secara syariat tetap sah. Namun, secara hakikat puasanya tidak memiliki makna sama sekali, kecuali berhasil menahan lapar dan dahaga saja (laysa lahu min shiyâmihi illaa al-juu i wa al ‘athsy).
Di sinilah kita perlu memahami hakikat puasa, yang tidak cukup dibuktikan pada kesalehan personal (syariat) saja, namun juga sebagai kesalehan sosial (hakikat). Ibadah personal (syariat) akan memiliki implikasi sosial jika kita mampu menegakkan hakikatnya. Pun, kemunculannya di ruang publik bukan lagi dalam bentuknya yang lahiriah (syariat), namun hakikat dan substansinyalah yang akan mewujudkan kesalehan publik itu.
Mengapa puasa tidak memiliki implikasi sosial, dengan bukti masih suburnya dosa-dosa sosial di atas? Karena kita selama ini terbiasa memaksakan pada publik untuk berpuasa secara syariat; taat berpuasa artinya sama dengan menutup warung-warung di siang hari, memasang baliho dan spanduk ”selamat berpuasa”, dan seluruh stasiun televisi yang dipenuhi acara-acara puasa.
Padahal, tanggung jawab puasa dalam arti syariat ini adalah tanggung jawab personal, bukan sosial. Jika kita ingin publik ”berpuasa”, maka tegakkan hakikatnya, yaitu berpuasalah dari jenis-jenis dosa sosial, bukan dari jenis-jenis dosa personal.
Dalam konteks ini agama apa pun yang hanya ditegakkan syariatnya, namun ditinggalkan hakikatnya, akan bertolak belakang dengan realitas sosial. Umat yang saleh (baik) bukan jaminan kondisi sosial akan saleh (baik) juga. Jika saja kesalehan umat masih terbatas pada ketaatan syariat, bukan pada ketaatan hakikat. Inilah fenomena dari keberagamaan yang mandul, keberagamaan yang tidak melahirkan produktivitas, dan tidak mampu menjadi elemen vital perubahan sosial. Semoga kita mampu menegakkan hakikat puasa, baik bagi Anda yang wajib berpuasa, ataupun Anda yang tidak berpuasa Wallahua’lam bissawwab (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post