Oleh Lukman M, Redaktur Metro Samarinda
SEMARAK hari raya Idulfitri dirayakan umat Islam di manapun berada. Setelah sebelumnya berjuang menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu selama satu bulan lamanya. Ya, Ramadanyang penuh berkah dan ampunan telah pergi. Akan menyapa kembali di tahun yang akan datang. Itu pun bila kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dengannya.
Sejatinya ada begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik selama Ramadan. Yang mestinya, nilai-nilai dan pelajaran tersebut bisa terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, di waktu-waktu biasanya. Bukan sekadar dilakukan di bulan Ramadan saja.
Karena Ramadan ditujukan bukan hanya untuk meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT atau habluminallah. Melainkan juga menjadi sarana meningkatkan kualitas ibadah kepada sesama. Habluminannass, atau hubungan sesama manusia.
Pun begitu, Ramadan merupakan momen refleksi diri untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Yang tadinya masih malas salat, jadi rajin salat bahkan berjemaah di masjid. Yang tadinya sedekah setahun sekali, kini jadi rutin menyisihkan anggaran untuk membantu sesama di setiap bulannya.
Itulah sejatinya keberhasilan Ramadan. Itulah sejatinya esensi Ramadan. Karena bulan ini ibarat madrasah, ibarat kawah candradimuka penggemblengan insan manusia menjadi pribadi yang lebih beriman dan bertakwa sebagaimana diperintahkan kitab suci.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Yang terpenting dalam Ramadan bukan sekadar tentang puasa. Bukan sekadar berlomba-lomba memaksimalkan ibadah demi mendapatkan pahala dan ampuna sebanyak-banyaknya. Melainkan bagaimana selama sebulan lamanya, dapat mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana disimbolkan dengan Idulfitri, kembali menjadi pribadi yang fitrah, yang bersih.
Maka akan menjadi sebuah kesia-siaan bila ketika Ramadan pergi, ketika Idulfitri terlewati, kita kembali lagi kepada rutinitas sehari-hari tanpa makna. Hidup dan bekerja sekadarnya. Ibadah yang gencar dilakukan di malam-malam Ramadan tak lagi dilakukan. Sedekah yang selalu keluar kembali menjadi jarang. Bila demikian, maka sungguh disayangkan.
Karena bila demikian, maka kita belumlah lulus dari Ramadan. Kita hanya terjebak dalam ritual setahun sekali yang hanya menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, sebatas menunaikan kewajiban. Apalagi kalau yang kita lakukan selama Ramadan hanya membuang-buang uang dengan menu-menu buka puasa atau sahur yang mewah.
Padahal Ramadan sejatinya menyimpan banyak pelajaran berarti untuk terus diterapkan di kehidupan sehari-hari. Dengan berpuasa misalnya, kita bisa merasakan kehidupan kaum papa yang kerap menahan lapar, bahkan mungkin durasinya lebih dari yang kita alami selam Ramadan.
Kita masih bersyukur bisa rutin buka puasa dan sahur. Tapi kaum fakir dan miskin, bisa saja mereka “berbuka” ala kadarnya setelah seharian berjuang mencari penghidupan. Dari sinilah, kita bisa diajari, dididik untuk peduli pada penderitaan mereka. Sehingga kita tergerak untuk membantu, misalnya dengan memberikan sedekah.
Lantas melalui zakat fitrah yang wajib ditunaikan untuk setiap individu muslim tanpa terkecuali, kita bisa belajar bahwa sebagai manusia, kita adalah makhluk sosial. Ada bagian dari diri kita, harta kita, yang sejatinya merupakan hak dari orang lain yaitu mereka kaum mustahik penerima zakat.
Dengan menunaikan zakat fitrah, maka kita belajar untuk menyisihkan harta kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Bila kita lulus dalam Ramadan, menyisihkan harta ini mestinya dilakukan secara rutin. Bisa setiap bulan atau bahkan setiap hari dilakukan. Misalnya dengan bersedekah kepada tetangga yang membutuhkan, atau berinfak di masjid-masjid.
Lebih jauh lagi, Ramadan juga semestinya bukan jadi semangat perubahan diri individu. Melainkan juga perubahan fitrah kelompok, mulai dari kelompok yang paling kecil yaitu keluarga, desa, hingga negara. Karena akan menjadi lebih baik bila suatu kebaikan dilakukan secara berjemaah. Sebagaimana pahala salat jemaah yang mencapai 27 derajat lebih banyak ketimbang salat sendiri.
Tentu untuk menggerakkan semangat perubahan yang terinspirasi Ramadan dalam suatu kelompok, harus ada penggagas atau pemimpin yang bisa menggerakkan. Karena mengubah kebiasaan buruk menjadi baik itu tidaklah semua membalikkan telapak tangan bayi. Butuh perjuangan dan butuh awalan.
Maka mari kita bawa pelajaran selama Ramadan ini ke skala yang lebih besar, skala pemerintahan negara. Sebagai suatu negara dengan beragam tingkatan daerah, kita tahu bahwa Indonesia ini sedang membangun. Sehingga ada kebaikan dan juga keburukan yang melingkupinya. Nah, dengan semangat Ramadan, saya yakin keburukan-keburukan yang masih ada itu bisa dilenyapkan, atau setidaknya ditekan kualitas dan kuantitasnya untuk bisa berkurang.
Dalam hal ini, para pemimpin di negeri ini, di setiap tingkatannya, harus bisa lulus dari madrasah Ramadan. Mereka harus bisa memahami bahwa, Ramadan bukan sekadar momen pencitraan melalui safari ke masjid-masjid atau buka puasa bersama, melainkan lebih dari itu.
Mereka harus menyadari bahwa Ramadan adalah proses penyadaran diri, bahwa Ramadan adalah momen untuk membenahi kepemimpinan dalam amanah yang mereka emban. Bahwa Ramadan adalah momen untuk hijrah, dari perilaku pemerintahan yang bobrok, koruptif, dan menjilat, menjadi perilaku pemerintahan yang baik, bersih, dan berkualitas dalam segala segi.
Sehingga ketika para pemimpin ini sudah memahami diri untuk harus berubah, serta mengapilkasikannya dalam diri pribadi, maka dia sudah siap untuk menjadi lebih bermanfaat dengan mengajarkannya pada para bawahan.
Dalam hal ini bukan sekadar memberi perintah, melainkan secara langsung memberikan contoh, teladan kepada jajaran anak buah yang dipimpin. Misalnya dalam pelajaran yang diberikan Ramadan dalm hal disiplin waktu.
Selama Ramadan, batas waktu sahur adalah saat azan Subuh berkumandang, dengan waktu Imsyak sebagai pengingat untuk berhenti makan minum. Apalagi lewat waktu itu tapi tetap makan, maka puasa menjadi batal dan harus mengqadanya di hari lain.
Senada dengan waktu berbuka puasa yang ditetapkan saat azan Magrib berkumandang, bila makam sebelum itu dapat dihakimi membatalkan puasa dan harus menggantinya. Sehingga ada hukuman yang diberikan bila tidak disiplin dalam hal waktu-waktu puasa.
Disiplin waktu ini saat puasa Ramadan sangat tepat diaplikasikan dalam pekerjaan di pemerintahan atau dunia kerja lainnya. Misalnya ketika jam masuk kantor ditetapkan pukul 08.00 Wita, maka bila datang lewat dari jam itu harus tegas diberikan sanksi. Sang pemimpin, dalam hal ini kalau bisa datang lebih awal setiap hari sehingga membuat malu pegawai yang datang terlambat.
Kenyataannya, masih banyak instansi pemerintah maupun swasta yang meremehkan absensi ini. Sehingga masih ada mungkin pegawainya yang datang terlambat, malahan mungkin sang pemimpin di instansi itu sendiri juga suka datang terlambat. Sehingga memberikan contoh yang buruk kepada anak buahnya.
Pelajaran lain dari Ramadan yang bisa dilakukan adalah semangat berbagi kepada sesama. Dalam hal ini, para pemimpin mesti memberikan contoh kepada anak buahnya, kepada masyarkat yang dipimpinnya tentang berbagi kepada sesama khususnya kaum papa yang membutuhkan. Jangan sekadar getol bersedekah di bulan Ramadan saja lantas dipublikasikan besar-besar di media massa.
Dalam hal berbagi ini, para pemimpin bisa memberikan contoh dengan memberikan sebagian gaji mereka yang tentunya terbilang besar itu kepada warganya, rakyatnya yang membutuhkan bantuan. Tak usah diumbar besar-besaran, yang penting rutin dilakukan tanpa banyak bicara. Bukankah pemimpin yang disukai konon yang sedikit bicara, banyak bekerja.
Bisa juga gaji yang didapatkan para pemimpin itu disisihkan untuk merintis suatu jenis usaha, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya yang miskin atau masih menganggur. Sehingga kesejahteraan dapat ditingkatkan, angka kemiskinan dan pengangguran bisa perlahan berkurang.
Coba bayangkan bila ada seorang pemimpin yang melakukan hal ini, lantas ditiru oleh pemimpin-pemimpin lainnya di sekitarnya, atau oleh bawahannya, atau oleh siapa saja, saya yakin Indonesia ini bisa segera menjadi negara maju. Cita-cita kemerdekaan untuk menyejahterakan rakyat pun dapat tercapai.
Jangan lantas malah mengusulkan kenaikan gaji sementara pekerjaan tak juga memberikan arti. Atau jangan juga malah diam saja ketika pemerintah memberikan gaji besar sementara beban kerja masih kalah sama para pegawai honorer.
Apalagi kalau pekerjaan itu berhubungan dengan kepentingan negara yang seharusnya membutuhkan pengabdian tulus tanpa pamrih. Seperti menyosialisasikan Pancasila yang merupakan dasar negara, tak perlulah sampai minta ratusan juta.
Kalaupun dikasih uang segitu, ya jangan malah ngeles dengan berbagai alasan. Tapi harus berani menolak atau mengalihkannya untuk keperluyan rakyat yang lebih mendesak. Bukankah yang menggaji itu juga dari rakyat?
Maka berbahagialah mereka, para pemimpin yang dapat lulus dari ujian Ramadan. Mereka yang mampu mewujudkan semangat Ramadan bukan hanya dalam satu bulan, melainkan dalam bulan-bulan yang mereka lewati sepanjang hidup. Karena bukan hanya pahala habluminallah yang mereka dapatkan, melainkan juga pahala habluminannas yang begitu besar, yang mungkin bisa membuat malaikat iri.
Saya yakin bila diri kita dan para pemimpin di negeri ini bisa lulus dalam memahami makna Ramadan, insyaallah negara yang gemah ripah loh jinawi bukan lagi angan-angan. Maka kita patut bersedih bila Ramadan pergi tapi kita masih menjadi pribadi yang dulu, yang tak lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Karena tak pernah ada yang tahu apakah Allah masih mengizinkan kita bertemu dengan Ramadan tahun depan. Semoga kita masih bertemu dengan Ramadan berikutnya, dan semoga Ramadan terakhir kita kelak menjadi Ramadan yang terbaik. Aamiin. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post