Serial Karang Mumus (05)
“Jelek… eh Jelek, sini dulu,”
Selain dipanggil Mumus, kini Mustofa juga punya panggilan baru. Ada seorang gadis manis teman sekolahnya yang suka memanggilnya dengan sebutan Jelek.
Mustofa senang-senang saja dipanggil Jelek, pertama karena sadar bahwa dirinya jauh dari rupawan dan kedua panggilan Jelek itu justru membahagiakan. Sebab sehari dia menghitung bisa dua puluh kali dipanggil jelek dan itu berarti dua puluh kali pula Mustofa akan berdekatan dengan gadis itu.
Miranti, nama gadis itu Miranti. Terlahir dari keluarga berada, Miranti dikarunia semua yang didambakan anak manusia. Selain kaya dan pintar, Miranti juga dikaruniai wajah yang rupawan tak heran jika kemudian jadi bintang di sekolahnya. Dan pejantan ABG di sekolah Mustofa berebut untuk memikat hati Miranti.
Mustofa tahu persis, kawanan bintang sekolah bernama Johan, Robert dan Paulo begitu getol mengejar simpati Miranti. Berbagai cara mereka lakukan agar Miranti memberi sedikit perhatian. Namun semuanya nol besar. Sementara Mustofa yang tanpa modal apapun, justru memperoleh durian jatuh, keihklasannya dipanggil Jelek berbuah manis.
Sesekali Mustofa, menggoda para pejantan ABG bintang sekolah. Saat Miranti memanggilnya jelek, Mustofa melintas di depan mereka dan berkata “Sorry ya ganteng, hamba dipanggil oleh Putri Miranti,”
Tentu saja pejantan ABG bintang sekolah gondok bukan kepalang. Mereka masih berpikir hitam putih soal hidup sehingga tak terima jika ada si jelek sampai disukai yang cantik jelita. Buat mereka ini sebuah ketidakadilan atau bahkan pendzoliman. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa, seolah-olah rela saja. Mereka takut berbuat salah yang bisa berakibat semakin tak mendapat simpati dari Miranti.
Di dunia yang serba palsu ini memang hanya kekurangan yang masih asli. Banyak kelebihan adalah buatan. Muka jelek jelas tidak karena dijelek-jelekkan melainkan asli dari sononya. Sementara cantik atau ganteng semua itu bisa dibuat-buat.
“Ada apa Mira,” begitu kata Mustofa saat mendekati ke arah Miranti duduk.
“Kamu bisa tolong aku nggak,”
“Bisa,” sahut Mustofa cepat.
“Tolong kamu nyebur sumur,” ujar Miranti terbahak.
Mustofa tersipu malu, wajahnya sebetulnya memerah andai kulit muka Mustofa cukup putih.
“Besok bawakan aku kodok ya,”
Brak…. namun Mustofa menyembunyikan kekagetannya.
“Iya, besok aku bawakan,” ujar Mustofa tak bisa menolak permintaan Miranti, meski itu berarti nanti sepulang sekolah dia harus ke rawa-rawa untuk mencari kodok yang diminta oleh Miranti.
“Makasih ya, ayuk kita ke kantin,”
Mustofa pun mengikuti langkah Miranti menuju kantin. Sepanjang perjalanan menuju kantin banyak wajah-wajah memandang mereka berdua yang berjalan beriring dengan tatapan tak rela.
“Suit..suit ,… Primus, Pria Karang Mumus memang kuat pelet banyunya,” teriak segerombolan teman Mustofa . Kali ini mereka adalah segerombolan yang nasibnya tak jauh dari Mustofa, semenjak lahir dikarunia wajah yang kurang rupawan. Namun mereka lebih tabah dan paham bahwa rejeki orang memang beda-beda.
Miranti hanya tersenyum dan Mustofa pura-pura tak mendengar celoteh temannya.
**************************
Pagi-pagi benar Mustofa sudah berdiri di depan gerbang sekolahan menunggu Miranti datang. Dua ekor kodok berada dalam jinjingannya. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam mendekat ke arah sekolah. Dengan mobil mewah itulah Miranti setiap hari diantar jemput oleh sopirnya.
“Ini kodoknya,” ucap Mustofa sambil menyerahkan tas plastik yang dari tadi digengam erat-erat.
“Makasih ya Mumus, kamu baik,” ujar Miranti sambil melepas senyum terbaiknya.
Hampir pingsan Mustofa memandang senyum Miranti yang mengembang. Untung bel sekolah berbunyi menyelamatkan Mustofa dari bayang imajinya yang baru saja hendak melayang.
“Ayuk ke kelas,”
Mustofa melangkah menuju kelasnya. Namun sebelum jauh langkah kakinya, tiba-tiba Miranti berhenti dan menyerahkan amplop kecil tanpa bilang apa-apa. Mustofa langsung mengantonginya dengan seribu tanya apa isinya.
Pelajaran belum juga lima menit berlangsung, rasa penasaran terus saja mengusik dirinya. Amplop kecil yang diberikan oleh Miranti seolah-olah meronta ingin dibuka.
“Mumus, mau tanya apa kau angkat tangan?”
“Mau minta ijin ke WC Bu Guru,”
Dan sontak seluruh kelas tertawa.
“Kamu dari tadi ngapain saja, baru mulai pelajaran sudah ijin ke WC,”
Dan Mustofa pun segera keluar kelas berlari kecil menuju WC. Dikuncinya rapat-rapat pintu WC dan perlahan dikeluarkannya amplop kecil pemberian Miranti. Tercium bau wangi saat amplop itu keluar dari saku celananya yang kumal.
Perlahan dibukanya amplop itu dan dikeluarkan isinya. Ada selembar kertas kecil berwarna pink terlipat. Dibukanya lipatan kertas itu dan tertulis sebuah kata dalam coretan spidol berwarna “Kamu jelek tapi lucu,”
Ups …. Mustofa menahan mulutnya agar tak keluar suara tawa kerasnya. Entah ada degup dan rasa apa yang berkecamuk dalam dirinya. Namun kata-kata itu mengingatkan pada sebuah hasil survey yang dibaca dalam soberkan koran, bahwa perempuan sekarang lebih suka kepada lelaki yang lucu dan tak peduli pada tampangnya.
“Pantas pelawak yang wajahnya pas-pasan bisa punya banyak pacar dan yang menikah istrinya lebih dari satu,” guman Mustofa dalam hati.
Amplop dan kertas itu terus dipegangnya erat, pikirannyapun melayang-layang entah kemana.
“Apakah ini yang namanya cinta?” tanya Mustofa pada dirinya sendiri.
Braak …. pintu ditepuk dengan keras. Mustofa serasa meloncat dalam bilik WC.
“Mumus …buka ..kamu pingsan kah?”
Mustofa tersadar bahwa dirinya telah berada di dalam WC jauh dari waktu normal yang biasa dihabiskan oleh murid-murid yang minta ijin buang air kecil pada saat pelajaran.
Karena kaget, amplop dan kertas kecil terjatuh dalam genangan air di lantai WC. Mustofa kehilangan memorabilia kisah kasihnya yang pertama.
Dengan langkah gontai Mustofa kembali ke kelasnya bersama teman yang mengedor pintu WC. Di kelas Mustofa disambut oleh pelototan Bu Guru yang seolah hendak menelanjanginya.
“Ngapain saja kamu di WC kok lama sekali,”
“Sakit perut bu, tadi pagi makan salak dan tertelan bijinya,” sahut Mustofa sekenanya.
Kembali teman-teman sekelasnya pecah tertawa. Sepagi ini Mustofa telah membuat suasana kelas dua kali porak poranda.
Sepanjang hari pelajaran perasaan Mustofa gundah gulana. Semua kegundahan itu sirna, ketika saat pulang Miranti berjaga di pintu gerbang sekolah.
“Mumus … aku mau main ke rumahmu,”
Alamak …. Mustofa bagai disambar geledek saat matahari bersinar keras. Tapi dia tak bisa menolak. Dan akhirnya dengan diantar mobil mewah Mustofa dan Miranti pulang menuju rumah Mustofa. Mobil harus berhenti di depan gang. Pak sopir seolah takut melepas Miranti masuk dalam gang. Tapi Miranti meyakinkan pak sopir bahwa tak ada masalah yang akan timbul.
“Nanti bilang saja sama mamah, saya belajar kelompok dengan teman-teman,” pesan Miranti pada pak sopirnya.
Mustofa dan Miranti berjalan masuk gang. Baru sekitar 20 meter mulai terlihat tanda tak nyaman di wajah Miranti. Tangannya berkali-kali menutup hidung.
“Mumus, kamu kentut ya,”
“Enggak,”
“Lha ini bau apa?”
“Ini bau alam disini Miranti,” terang Mustofa mau mengatakan bahwa bau itu adalah bau harian yang biasa dihirup di lingkungannya.
Sebuah jembatan kayu yang sempit menghadang di muka. Dan terlihat wajah Miranti penuh keraguan untuk melaluinya. Dia berhenti di ujung jembatan dan melihat sungai di bawahnya yang dangkal dan menghitam.
“Mumus, tunggu dulu,”
Dan Mustofa menghentikan langkahnya. Dia menyangka Miranti takut menyeberangi jembatan itu, sehingga Mustofa mengulurkan tangan untuk membimbingnya.
“Bukan itu, aku lupa kalau harus pulang cepat. Di rumah ada acara,” ujar Miranti tiba-tiba merubah rencana.
Dan setelah itu Miranti langsung berbalik, menuju tempat mobilnya diparkir. Mustofa hanya bisa memandang tak bisa berkata apa-apa.
Esok harinya, Mustofa pagi-pagi sudah berdiri di gerbang sekolah. Dan kembali Miranti datang diantar mobil mewahnya. Tanpa sapa dan senyum, Miranti kembali menyerahkan amplop kecil kepada Mustofa.
Dan kali ini Mustofa tak akan menyia-nyiakan waktu. Begitu diterima amplop hanya digenggam dan segera Mustofa pergi menuju WC. Wangi amplop tak lagi dihiraukan, secepat kilat dibukanya. Dan dalam selembar kertas yang persis sama dengan kertas sebelumnya, tertulis “Aku nggak suka bau sungaimu,”.
Pondok Wira, 30/08/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: