BONTANG – Pembangunan fasilitas kesehatan berupa dua rumah sakit (RS) tipe D justru dilihat sebagai kabar tidak mengenakkan bagi RS swasta. Tentunya, hal ini berimbas kepada pemasukan yang diterima oleh manajemen RS swasta.
Ketua Komisariat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Bontang, Yuniarti Arbain mengatakan, pembangunan RS tipe D akan mematikan RS swasta. Bukan secara operasional saja, tapi juga karyawan.
“Jadi banyak yang menjadi pertimbangan terkait pembangunan RS tipe D ini,” kata perempuan yang juga Direktur RS Amalia, pada rapat dengar pendapat, Senin (26/11).
Ia memaparkan, penolakan ini erat kaitannya dengan mekanisme rujukan. Pasalnya, dari fasilitas kesehatan tingkat I , maka pasien akan dirujuk ke RS tipe D terlebih dahulu.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukannya, jika pasien pertama berobat ke Puskesmas Bontang Utara I, secara otomatis bakal menuju RS tipe D yang wacananya berlokasi di eks kantor Diskes-KB. “Karena jaraknya sangat dekat dibandingkan RS tipe D lainnya,” ungkapnya.
Yuyun pun sepakat menjadikan RSUD Taman Husada sebagai mitra dari RS swasta. Mengingat rujukan pasien pun selalu dilakukan dari RS swasta yang secara klasifikasi tipenya berada di bawah RSUD Taman Husada.
Akan tetapi, ia menilai perlu adanya peninjauan sehubungan klasifikasi yang disandang RSUD Taman Husada, apakah sudah dipenuhi beberapa aspek atau belum. Menurutnya ada 6 dokter spesialis yang belum dilengkapi, yakni patologi anatomi, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik.
“Menurut saya lebih ke melengkapi beberapa fasilitas yang belum ada daripada membangun RS tipe D,” tuturnya.
Pada akhir pertemuan, Yuyun meminta agar RS tipe D yang berada di pusat kota tidak terealisasi. Ia pun mengikhlaskan jika pemerintah hendak membangun RS tipe D di Bontang Lestari.
Sementara, Plt Direktur RSUD Taman Husada dr I Gusti Made Suhardika mengatakan, pihaknya selalu berbenah diri terkait dengan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Sehubungan dengan beberapa dokter spesialis yang belum ada, diakuinya karena minimnya peminat.
“Akhirnya kami mengubah skema dengan menyekolahkan beberapa dokter untuk menempuh spesialis tersebut,” kata Gusti.
Nada “pedas” justru terlontar dari Wakil Direktur Pelayanan RSUD dr Toetoek Pribadi Ekowati, ia berpendapat wajar jika RS swasta berfikir ke arah bisnis. Pasalnya, RS swasta tidak mendapat bantuan anggaran dari pemerintah daerah.
Sementara di sisi pemerintah, kesehatan merupakan urusan wajib. Hal ini dibuktikan anggaran untuk kesehatan sejumlah 10 persen dari total APBD. Kondisi ini membuat banyak masyarakat komplain terhadap pelayanan RS swasta.
“Salah satunya berkenaan dengan antrean yang panjang di RS swasta,” kata Toetoek.
Plt Kepala Diskes-KB dr Bahauddin pun menengahi kedua belah pihak. Agar tidak saling menyerang terhadap kesalahan yang terjadi di instansi lain. “Jangan umbar dosa di depan publik,” kata Bahauddin.
Sehubungan dengan wacana pembangunan RS tipe D, ia meminta agar seluruh pihak menunggu hasil fisibility study (fs). Bahauddin juga menyebut Diskes-KB tidak melakukan intervensi terhadap proses kajian fs yang dilakukan akademisi.
Saat ini dipaparkannya, peserta jaminan kesehatan dari pemerintah pusat di Bontang persentasenya mencapai 99 persen. “Artinya, Bontang sudah mencapai universal health coverage, di mana capaian tersebut didapat jika sudah di atas 95 persen angka perserta jaminan,” tukasnya. (ak)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post