SAMARINDA – Nasib Jaffar Haruna di perkara yang menyandungnya belum juga jelas. Perdamaian dia dengan rekan separtainya di Demokrat Kaltim, James Bastian Tuwo, nyatanya belum mampu melumerkan status terdakwa yang tersemat.
Namun, Jaffar melalui Moses Abdi, penasihat hukumnya, optimistis jika perdamaian itu mampu menyurutkan perkara Informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang membelit anggota Komisi I DPRD Kaltim itu. Bukan tanpa alasan, perdamaian tertulis pada 27 Januari 2017 itu dapat dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) bernomor 1600/K/PID/2009.
“Putusan itu bisa menjadi yurisprudensi. Karena adanya perdamaian penuntutan perkara tidak diterima,” ucap Moses. Putusan MA tertanggal 24 September 2009, sebut pria berperawakan kurus itu, menuangkan amar yang terbilang restoratif dengan mengakhiri perkara berasaskan manfaatnya.
Ditambah, kehadiran James di muka persidangan untuk mengakhiri perseteruan itu. “Keseimbangan yang terganggu sudah tidak ada lagi dengan perdamaian yang ada,” lanjutnya.
Perkara ini bermula dari polemik roses pergantian antarwaktu kader Partai Demokrat di DPRD Kaltim. Selepas meninggalnya almarhum Ichruni Lutfi Sarasakti, satu kursi Demokrat kosong.
Demokrat Kaltim pun mengusulkan dua nama. Jaffar Haruna dan James Tuwo. Persaingan pun timbul di antara kader partai berlambang mercy itu. Jaffar kemudian dituduh melakukan pencemaran nama baik melalui pesan singkat kepada salah seorang pengurus DPP Demokrat. James yang keberatan dan melaporkan Jaffar ke Polda Kaltim pada 4 Februari 2016. Lebih dari sebulan kemudian, Jaffar dilantik menjadi anggota DPRD Kaltim.
Belakangan, awal Januari 2017 tersiar kabar jika Polda Kaltim menetapkan Jaffar sebagai tersangka. Di tempat terpisah, Parmatoni, ketua majelis hakim perkara ini menuturkan, adanya putusan MA itu tak sepenuhnya menjadi latar untuk menghentikan perkara yang sudah telanjur bergulir. Apalagi, putusan itu menyoal tentang perdamaian di kasus penggelapan. Bukan perkara ITE yang membelit Jaffar.
“Memang jadi pertimbangan kami. Tapi, fakta persidanganlah yang menjadi dasar kami untuk memutuskan perkara. Karena itu, sidang harus tetap bergulir,” jelasnya. Memang perdamaian yang telah dinoktahkan kedua pihak yang bertikai itu didefinisikan sebagai mediasi penal atau penyelesaian perkara pidana di luar persidangan.
Meski hukum positif itu telah dikenal di negara yang menganut sistem common law. Tapi, upaya itu masih terbilang asing di Indonesia. “Di Indonesia saat ini belum ada hukum tertulisnya. Sehingga persidangan harus digelar untuk menemukan titik persoalan,” ulasnya. Parmatoni enggan menilai Jaffar dipastikan bebas dari pasal yang menjeratnya. Yaitu Pasal 27 (3) jo Pasal 45 (1) UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Pasal 310 (1) KUHP mengenai Penistaan. “Semua kan bergantung fakta sidang,” jelasnya. (*/ryu/riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post