Pasukan NICA (Belanda) dari Balikpapan yang dipimpin Kapten KL Zoesmaker mulai menunjukkan taringnya di depan para pejuang Barisan Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) di Sangasanga. Selasa 29 Januari 1947, Muara Sangasanga berhasil dikuasai Belanda.
——-
Sekira pukul 09.00 Wita, pasukan Belanda bergabung dengan pasukan terdahulu dapat menguasai Muara Sangasanga dan sekitarnya. Mereka terus mendesak pertahanan pejuang BPRI yang telah siap tempur. BPRI mengonsolidasikan diri mengambil posisi di pos daerah tepian secara frontal.
Pasukan Belanda dibiarkan terus maju ke daerah pertahanan sektor tepian. Hal ini memang sengaja dibiarkan pasukan BPRI. Pasukan BPRI telah siap berbanjar di kiri dan kanan jalan, dengan dipimpin kepala regunya masing-masing sampai pada jarak tembak yang meyakinkan.
“Begitu dapat komando tembak, maka seluruh pasukan yang ada di samping kiri dan kanan jalan langsung menembak sasaran,” tutur Hamdani, budayawan penyusun kisah heroik peristiwa Merah Putih Sangasanga dalam buku ‘Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur’.
Dia berkisah, akibat serangan dari pasukan BPRI, terjadi kepanikan luar biasa yang tak disangka Belanda. Taktik dan strategi yang dilakukan para pejuang terutama eks KNIL dan Heiho rupanya di luar perhitungan pasukan Belanda. Kekacauan dan kepanikan membawa korban banyak di pihak Belanda.
Serangan tak terduga ini diikuti penerobosan sebuah truk berkecepatan tinggi dari Sangasanga ke daerah yang dikuasai musuh. Truk tersebut dihujani tembakan beruntun hingga akhirnya terbalik. Para penumpang di dalamnya yaitu Merlin, Marlan, dan Sihu jadi korban. Sedangkan penumpang lainnya, Sukowaru kemudian meninggal dalam perjalanan menuju markas besar.
“Gugurlah mereka sebagai kusuma bangsa,” tambah Hamdani yang melakukan penyusunan kisah Merah Putih Sangasanga bersama penulis lainnya, Johansyah Balham ini.
Dituturkan Hamdani, sewaktu dalam keadaan sekarat Sukowaru sempat bercerita bahwa mereka mendapat telepon dari Muara yang meminta bantuan amunisi dan makanan. Ternyata ini hanya tipuan dan para pejuang terkecoh karenanya.
Sekira pukul 12.00 Wita, sebuah jip Belanda datang ke daerah front Tepian membawa pimpinan komando tempur, Budiono, Herman Runturambi, Akub, dan Sastromihardjo. Kedatangan mereka menginspeksi daerah yang baru saja terjadi pertempuran hebat. Daerah pertahanan pejuang di sepanjang jalur kiri kanan, tepi sungai tidak ketinggalan diinspeksi.
“Termasuk pertahanan di gunung-gunung dan lain-lain,” sambung Hamdani yang telah menulis beberapa buku tentang Samarinda dan Kaltim ini.
Setelah meneliti situasi dan kondisi para pejuang, diputuskan untuk menarik para pejuang yang telah berada di garis depan sejak awal pertempuran. Para pejuang yang sudah sangat kelelahan ini harus ditarik mundur dan diganti dengan pasukan yang masih segar dan cukup terlatih. Mereka digantikan para eks Heiho dan KNIL yang cukup berpengalaman dalam medan pertempuran.
“Pengalaman mereka meliputi memasang ranjau dan kawat beraliran listrik pada jalur yang diduga akan dilalui oleh pasukan musuh,” ungkap Hamdani.
Setelah perintah dikeluarkan, tak lama kemudian datanglah beberapa buah kendaraan bermuatan para pemuda pejuang sebagai pasukan pengganti. Mereka berasal dari sektor Jalan Nanas, Kampung Jalan Masjid, Sungai Bogam, Air Putih, Pasar Handelar, Kampung Jawa, Bangsal IV, Distrik IV, V, VI, dan Distrik VII, Kampung Sawmill, Sepsep, Louis, dan lain-lain.
Pasukan ini langsung berada di bawah pimpinan Budiono. Khusus pasukan eks Heiho dan KNIL diperintahkan tetap bertahan dan tidak diganti. “Ada sebagian dari mereka ditunjuk pimpinan pertempuran sebagai pembantu komando pertempuran,” jelas Hamdani.
Di saat pasukan pejuang mengonsolidasikan diri dan mengatur pertahanan begitu rupa, gabungan pasukan Belanda dan polisi Algamene terus mendesak maju. Hingga keberadaan mereka tinggal beberapa ratus meter lagi dari pasukan pertahanan rakyat pejuang. Pasukan musuh terus mengepung kubu pertahanan pejuang sampai malam, namun mereka tidak dapat maju lagi.
“Karena para pejuang dengan penuh keberanian menghadapi pasukan Belanda,” ujar Hamdani.
Dia mengurai, para pejuang memang bertahan mati-matian di bekas kubu pertahanan Jepang sewaktu perang melawan Sekutu tahun 1945. Dengan menggunakan berbagai senjata, termasuk senjata berat, pasukan Belanda tidak dapat menembus pertahanan para pejuang yang berada dalam kubu eks Jepang dan sekitarnya.
Dengan bantuan tentara KNIL dari Balikpapan, Makassar, dan Samarinda, Belanda menyerang pertahanan para pejuang. Persenjataan mereka jauh lebih unggul dari para pejuang BPRI. Bukan hanya persenjataan yang sangat terbatas, jumlah personel dan kemampuan para pejuang BPRI juga kalah jauh. Para pejuang pun kekurangan peluru dan mesiu.
“Guna mengatasi ini, pimpinan pertempuran segera minta bantuan ke markas. Agar segera mengirimkan bantuan secepatnya terutama peluru yang sangat dibutuhkan,” ujar Hamdani.
Meskipun mengandung risiko karena sedang berkecamuknya pertempuran, bantuan persenjataan dan amunisi yang diharapkan dapat terpenuhi. Dengan begitu semangat pejuang berkobar lagi dan pertempuran dilanjutkan.
Inti pasukan front terdepan itu sepenuhnya dimotori oleh eks Heiho dan KNIL yang tergabung dalam BPRI. Di antaranya Toekiman Gondo, Diman A Rachim, Hasyim AB, Asinar M Ruslan, Ipit, Suharto, dan Basuki.
Pada saat gencarnya pertempuran, mortir yang dipegang pejuang bernama Asinar Mahmoed rusak dan Bren yang dipegang Latif, pejuang lainnya sering macet karena kepanasan. “Begitu bantuan senjata datang dari markas besar, maka para pejuang kembali bersemangat dan pertempuran berlanjut lagi,” sebut Hamdani.
Pada pukul 21.00 Wita pasukan Belanda mendaratkan lagi pasukannya yang dibawa Kapal Landing. Tujuannya untuk lebih memperketat pengepungan terhadap pasukan pejuang. Para pejuang memang sudah terkepung di sekitar Gunung Merah dekat Sentral Listrik.
Dengan dekatnya pasukan Belanda tersebut, pimpinan pejuang memperingatkan agar para pejuang berhati-hati dalam menembak untuk menghemat persediaan peluru yang sudah terbatas.
“Sekalipun para pejuang bertempur tanpa makan dan minum, ditambah lagi dinginnya udara malam, lelah dan mengantuk, mereka tetap bersemangat. Karena pimpinan tempurnya yaitu Budiono selalu berada di dekat mereka,” beber Hamdani.
Sekira pukul 22.00 Wita, turun hujan cukup deras. Hal ini memberi kesempatan para pejuang yang sedang terkepung untuk bergerak mengubah posisi. Kebetulan lampu di sentral padam, sehingga gerakan para pejuang tidak dapat dilihat musuh. Nyala dua cerobong gas yang menghadap pasukan musuh dimanfaatkan pejuang karena sinarnya menampakkan gerak-gerik musuh dari kejauhan.
Sekira pukul 03.00 Wita, dini hari, pasukan pejuang mulai bergerak mundur secara hati-hati. Mereka mundur melalui jalan setapak yang sangat dikenal oleh eks Heiho. Setelah tiba di atas bukit dekat Gudang Hitam, pasukan berhenti sambil membuat pertahanan dan beristirahat. Tempat perhentian sementara pasukan jaraknya kurang lebih 500 meter dari Kampung Louis.
Menjelang fajar, pasukan pejuang mengundurkan diri dari front terdepan. Muara Sangasanga sudah hancur oleh serangan Belanda. Sekira pukul 08.00 Wita, di hari ketiga, musuh terus mengadakan serangan dari berbagai penjuru.
“Mulai dari jembatan IV muka Gudang Hitam dengan mortir dan senapan, musuh bergerak terus menelusuri sungai, menuju sasaran akhir Kota Sangasanga,” tandas Hamdani. (luk/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: