Kisah Dennis Bangun ‘Kampung Inggris’ di Samarinda (1)
Pengalaman dua dekade lebih menjadi guide atau pemandu wisata membuat Dennis Laba Kelen fasih berbahasa Inggris. Kemampuan inilah yang lantas membawanya merintis “Kampung Inggris” di Samarinda Seberang. Sempat diremehkan, nyatanya mimpi Dennis mulai terwujud melalui pondok berdinding botol-botol plastik bekas.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Bila menyebut “Kampung Inggris”, pasti identik dengan sebuah daerah di Kediri Jawa Timur (Jatim). Namun siapa sangka bila sejak awal tahun ini, telah dirintis kampung sejenis di Kota Tepian. Adalah Dennis Laba Kelen, sosok di balik ide menciptakan sebuah lingkungan tempat belajar bahasa Inggris.
Uniknya, tempat belajar bahasa Inggris miliknya dibangun menggunakan botol-botol plastik bekas minuman mineral.
“Saya pertama kali diberi tahu tentang kreasi dinding botol minuman ini dari seorang turis Belgia. Setelah itu saya kembangkan sendiri,” kisah Dennis saat ditemui Metro Samarinda (Bontang Post Group/Kaltim Post Group) Sabtu (18/3) kemarin.
Ya, ratusan bahkan ribuan botol plastik minuman yang tak terpakai dimanfaatkannya untuk membangun pondok sederhana dengan luas sekitar 4 x 3 meter. Pondok inilah yang digunakan sebagai tempat belajar mengajar bahasa Inggris miliknya.
Botol-botol itu dipotong bagian dasarnya, disambungkan satu per satu, lantas dikreasikan sedemikian rupa menjadi dinding pondok. Sementara atap pondok terbuat dari rangkaian daun nipah dengan ketinggian sekira dua meter.
“Botol-botol ini saya kumpulkan dari tempat sampah dan jalanan. Anak-anak murid juga ikut mengumpulkan. Sedangkan bahan-bahan lainnya seperti daun nipah ada yang kami kumpulkan dari hutan,” kenangnya.
Masuk ke dalam pondok botol ini, ada papan tulis putih besar dan meja serta kursi-kursi. Tidak luas memang, namun sanggup menampung hingga tujuh siswa dalam satu kali kegiatan belajar. Pondok ini dibangun di lahan kosong seluas 12 x 7 meter tepat di samping rumahnya di Gang Mandiri Jalan SMPN 8 RT 19 Kelurahan Mangkupalas, Samarinda Seberang.
“Lahan ini punya orang lain. Saya menyewanya Rp 1,5 juta untuk masa tiga bulan. Pihak kecamatan sempat membantu untuk menguruk tanahnya yang becek,” jelas Dennis yang mengaku belajar bahasa Inggris secara autodidak.
Pria kelahiran Larantuka, Flores ini mengisahkan, keinginannya untuk membangun tempat pembelajaran bahasa Inggris sebenarnya sudah muncul sejak lama. Sekira pertengahan 2016, keinginan tersebut menyeruak kembali ketika rekan-rekannya membicarakan tentang belajar bahasa Inggris di “Kampung Inggris” Kediri.
Menurut dia, tidak perlu jauh-jauh ke Kediri bila di Samarinda terdapat pusat belajar bahasa Inggris yang efektif. Apalagi Dennis merasa memiliki kemampuan berbahasa Inggris mumpuni yang bisa diajarkan. Berbekal pengalamannya selama 20 tahun lebih menjadi pemandu wisata para turis asing.
“Saya bilang ke teman-teman kenapa jauh-jauh ke Kediri kalau saya sendiri bisa mengajarkan bahasa Inggris. Makanya saya bilang kalau saya akan membuat Kampung Inggris di Samarinda,” tuturnya.
Mendengar itu rekan-rekan Dennis tertawa. Mereka tidak percaya bila Dennis bisa mewujudkan “Kampung Inggris” tersebut. Namun meski diremehkan, keinginan Dennis untuk membagikan ilmunya tidak surut. Dia pun mulai membuka kursus bahasa Inggris secara terbatas dengan tempat yang berpindah-pindah di Samarinda Seberang.
“Awalnya saya hanya mengajari anak-anak saya saja. Kemudian dari situ banyak yang minta belajar kepada saya,” kata Dennis.
Akan tetapi kesibukan di pekerjaan membuat Dennis kurang bisa menekuni kegiatan kursus tersebut secara serius. Barulah di penghujung 2016, keinginan untuk menciptakan tempat belajar bahasa Inggris secara serius muncul. Konsep “Kampung Inggris” ala Dennis pun mulai dimatangkan, dengan mengusung tema lingkungan dan pemanfaatan barang-barang bekas.
“Salah satu motivasi saya adalah anak-anak murid yang ingin belajar bahasa Inggris bersama saya. Karenanya awal 2017 saya bangun pondok botol ini sebagai awal konsep Kampung Inggris saya,” terangnya.
Awalnya, murid Dennis di tempat kursus yang diberinya nama “English Learning Center Mangkupalas Dennis Lontara” hanya enam anak. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah muridnya bertambah menjadi 27. Jumlah murid ini semakin bertambah, hingga dalam waktu singkat hampir mencapai angka 50 murid.
Bukan hanya anak-anak usia sekolah, masyarakat umum yang ingin belajar bahasa Inggris juga diterima di “Kampung Inggris” ini. “Tempat kami terbuka untuk semua tingkatan usia. Anak sekolah, mahasiswa, hingga para pekerja boleh belajar di sini. Kalau murid yang paling tua ada yang usianya 40-an tahun, pekerja kapal,” ungkap Dennis.
Dengan perbedaan usia ini, Dennis membagi para muridnya ke dalam kelompok-kelompok. Mulai dari kelompok usia TK hingga kelas 2 SD, kelompok kelas 3 SD hingga kelas 6 SD, hingga kelompok SMP, SMA, dan umum. Kegiatan belajar digelar setiap hari dari Senin hingga Ahad. Senin sampai Jumat, pembelajaran dimulai sejak pukul 15.00 Wita hingga pukul 20.30 Wita. Sementara di hari Sabtu dan Ahad, pembelajaran dimulai sejak pagi.
“Sekali pertemuan dalam satu kelas berlangsung selama satu jam. Murid tidak setiap hari datang ke sini untuk belajar. Ada yang dua kali pertemuan dalam sepekan, menyesuaikan dengan kesanggupan masing-masing murid. Apalagi untuk para pekerja yang hanya bisa datang di hari libur,” paparnya.
Dennis tidak sendiri dalam mengajar para muridnya. Dia sempat dibantu salah seorang rekannya, seorang guru di sekolah negeri. Selain itu para mahasiswa dan wisatawan asing beberpa kali berkunjung memberikan bantuan dalam mengajar. Sementara saat ini, Dennis dibantu tujuh tenaga pengajar yang berasal dari para pelajar yang sebelumnya menjadi muridnya.
“Jadi mereka belajar bahasa Inggris sambil saya latih menjadi tenaga pengajar. Termasuk salah satunya adalah anak saya sendiri,” sebut ayah lima anak ini.
Biaya untuk belajar di tempat ini menurut Dennis sangatlah terjangkau. Saat pertama mendaftar, murid membawa botol-botol dan barang bekas lainnya yang dimanfaatkan untuk membangun sarana belajar. Kemudian setelah diterima sebagai murid, per bulannya membayar biaya registrasi senilai Rp 50 ribu. Biaya ini digunakannya untuk kebutuhan kegiatan belajar mengajar seperti membeli alat-alat belajar dan fotokopi.
“Karena saya ingin semua kalangan bisa belajar bahasa Inggris. Namun kualitas pengajaran bahasa Inggris di sini tidak kalah dengan lembaga-lembaga kursus mahal yang ada di luar sana,” tandas Dennis yang Februari silam genap berumur 40 tahun. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: