Lewat kopi gratis di rumah cukur mereka, Ricky Joe dan Don Andrea Pandelaki, menginspirasi berbagai pihak untuk turut mengulurkan bantuan. Basarnas berencana mengajak mereka ke lokasi bencana lain untuk jadi contoh.
FERLYNDA PUTRI, Palu
JARUM jam mendekati angka 12. Di tengah malam. Ricky Joe dan Don Andrea Pandelaki sudah sulit menahan kantuk. Dua sahabat itu pun bergegas memberesi barbershop mereka di salah satu sudut Palu, Sulawesi Tengah, tersebut.
Namun, mereka baru akan menutup pintu, serombongan relawan datang. Bukan hendak potong rambut sebenarnya. Melainkan ngopi dan nongkrong.
”Sudah mau tidur sebenarnya. Namun, tetap harus kami layani,” kata Ricky.
Bukan hanya malam itu. Berkali-kali. Sejak Ricky membuka lagi rumah cukur alias barbershop miliknya sekitar sepekan setelah gempa dan tsunami mengguncang Palu, Donggala, dan Sigi pada 28 September 2018.
Hotcoffee Barbershop, demikian nama lengkapnya, baru berdiri empat bulan sebelum malaise hebat. Sejak awal, Ricky yang dibantu sang sahabat, Don, selalu menyediakan kopi untuk pelanggan. Sembari pelanggan menunggu giliran dicukur.
Itulah yang dia pertahankan setelah membuka lagi barbershop. Sistemnya pun sama: self-service. Alias si pelanggan harus membikin sendiri kopinya.
Ricky menuturkan, pada minggu pertama pascabencana, sudah banyak relawan yang berdatangan. Namun, belum ada toko, warung, atau kafe yang buka. Memiliki nama Hotcoffee Barbershop membuat rumah cukur itu sering dikunjungi relawan.
”Rata-rata tanya, ada kopi yang tersedia tidak?” ucap dia.
Kebetulan, sebelum gempa, Ricky berbelanja kopi, gula, dan susu. ”Saya lihat, banyak (anggota) TNI yang jalan-jalan, mungkin cari kafe atau apa. Akhirnya, tiap ada yang tanya tentang kopi, saya suruh buat,” ungkapnya.
Praktis, sejak sepekan setelah bencana, rumah cukur itu menjadi semacam warung kopi pro bono. Layanan cukur baru dibuka lagi pada akhir November. Sebab, kapsternya ikut mengungsi. Saat Jawa Pos mampir ke sana awal Desember lalu, yang bertugas sebagai tukang cukur juga kapster pinjaman dari barbershop lain.
Bagi Ricky, layanan kopi gratis itu bentuk ucapan terima kasihnya kepada siapa saja yang telah membantu warga Palu. Sebab, masih segar dalam ingatan bagaimana ibu kota Sulawesi Tengah tersebut luluh lantak.
Tiga hari pascagempa, kondisi di Palu masih semrawut. Listrik padam di sana-sini. Bantuan pun sedikit. Beruntung bagi Ricky, sinyal ponselnya masih menyala.
Dari sanalah dia mengabarkan kepada kerabat di luar Palu bahwa kondisinya baik. Ternyata, beberapa kerabat telah menyiapkan bantuan dan bersiap mengirimkannya ke Palu.
”Saya suruh kirim saja. Namun, sudah saya niatkan untuk dibagikan,” tuturnya.
Mulanya hanya enam kantong. Isinya beras, gula, minyak, dan kebutuhan pokok lain.
Yang dia jangkau adalah pelosok Palu. Bantuan itu lalu diunggah ke Facebook. Ternyata, unggahan itu membuka pintu bagi datangnya bantuan-bantuan lain.
Seperti berbagai bantuan yang telah dia sebarkan, Ricky dan Don juga tanpa pamrih menyediakan kopi gratis. Mau orangnya cukur atau tidak, bebas.
Itulah yang membuat Hotcoffee Barbershop kian jadi jujukan. Semacam tempat transit para relawan atau siapa saja yang ditugaskan di sana.
Bukan hanya anggota TNI, relawan Polri, BNPB, Basarnas, hingga PLN pun mampir. Kalau berkumpul, sampai dua mobil. Semua dijamu Ricky dengan gratis. Namun, syaratnya satu: membuat kopi sendiri. Semua bahan disediakan. Termasuk, air panas.
Pada 9 Oktober, akhirnya plakat ”Ngopi Gratis Khusus Relawan PLN, TNI, Polri, Basarnas, BNPB” dipasang di depan barbershop. Kopi yang disajikan tak hanya bisa dinikmati di tempat.
Tak jarang, relawan membawa teko untuk diisi, lalu pulang. ”Dulu itu sampai dapur kosong. Kami mau masak untuk makan sendiri, ternyata bahannya sudah dibagikan ke pengungsi dan relawan, hehehe,” kenang Don.
Kebaikan itu rupanya menular. Bantuan mengalir dari berbagai pihak. Dalam beragam bentuk.
Dengan bantuan sejumlah teman, Ricky dan Don membagi tim menjadi dua. Yang satu mendistribusikan bantuan. Satunya lagi menyambut relawan yang datang ke Hotcoffee Barbershop.
Mereka juga beberapa kali mendapat kiriman kopi, gula, dan susu. Untuk kopi, ada yang memberikan yang masih biji, ada juga yang sudah digiling. Yang pasti, tak ada kopi saset yang disajikan di Hotcoffee.
Dua perusahaan consumer goods pun pernah ikut menyumbang. ”Saat orang lain berterima kasih, bahkan sampai ada yang hanya nangis tanpa kata-kata, itu yang menjadi penyemangat saya,” tutur Ricky.
Karena itu, Ricky tak berniat melepas plakat ngopi gratisnya. Dari sana, dia mendapat tawaran untuk menjadi contoh relawan yang muncul dari masyarakat terdampak.
”Basarnas pernah bilang kalau akan diajak ketika ada bencana lagi (di daerah lain, Red). Sebagai contoh,” ucapnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho memuji apa yang dilakukan oleh Ricky dan Don. Menurut dia, mereka bisa menjadi contoh bagaimana membangkitkan kembali daerah bencana. ”Perlu kekompakan semua pihak saat bencana. Urusan bencana adalah urusan bersama, yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha,” kata Sutopo.
Dini hari itu, sekitar pukul 02.00, saat para tamu relawan yang datang tengah malam baru saja pamit, Ricky dan Don belum lagi sempat merebahkan badan, sebuah mobil kembali datang. Juga membawa sejumlah relawan.
Namun, kali ini mereka tak bermaksud ngopi. ”Mereka minta kami ke markas untuk ambil bantuan,” kata Don.
Kebaikan itu menular. Dan, bisa datang kapan saja. (*/c11/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post