Berkesempatan mengikuti pertemuan Conference of The Parties (COP) to The United Nations Framework Convention On Climate Change ke-23 (COP23) di Bonn Jerman dari tanggal 8 -14 November, menurut Sofyan Hasdam, pertemuan ini banyak hal yang perlu dikaji bersama.
Pertemuan ini diikuti oleh sekitar 300 kepala negara dan pemerintahan serta politisi yang mewakili negaranya masing-masing, pertemuan dihadiri oleh sekitar 40.000 orang delegasi dari seluruh dunia.
COP23 ini bukanlah pertemuan biasa saja, di mana asal-muasal pertemuan ini berawal dari kegelisahan para ahli lingkungan dan kepala-kepala negara utamanya negara maju, tentang terjadinya pemanasan suhu bumi, sehingga tahun 1988, badan PBB untuk lingkungan United Nation Environment Programme (UNEP) dan organisasi meteorology dunia World Meteorology Organization (WMO) mendirikan sebuah panel antar pemerintah untuk perubahan iklim yang disebut Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) yang terdiri dari sekitar 300 lebih pakar perubahan iklim dari seluruh dunia.
Untuk itu, pada tahun 1990 dan 1992, IPCC memprediksikan bahwa penggandaan jumlah gas rumah kaca di atmosfer mengarah pada konsekuensi serius bagi masalah sosial, ekonomi dan sistem alam di dunia. Selain itu, IPCC memprediksikan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia juga memberikan kontribusi pada gas rumah kaca alami dan akan menyebabkan atmosfer bertambah panas.
Untuk lebih intensifnya pembicaraan mengenai perubahan iklim dan pemanasan global, maka oleh PBB dibentuk lembaga untuk negosiasi para pihak, di mana COP pertama dilaksanakan di Berlin pada tahun 1995. Pertemuan ini berlangsung berpindah-pindah negara setiap tahun dan pada tahun ini COP23 diselenggarakan di kota yang dikenal ramah lingkungan: Bonn, Jerman.
Setiap pertemuan COP, yang dirumuskan adalah bagaimana membuat kesepakatan atau langkah bersama agar tidak terjadi kenaikan suhu bumi. Artinya, bagaimana mengurangi terbentuknya gas rumah kaca di atmosfer. Disinilah letak alotnya perdebatan, karena hal ini menyangkut keinginan dari semua negara untuk mengorbankan kepentingan nasionalnya demi tercapainya kepentingan bersama.
Sebagai contoh, untuk menurunkan jumlah emisi diseluruh dunia, maka semua negara harus menurunkan jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh negaranya. Dengan kata lain, pengorbanan terbesar diharapkan datang dari negara-negara industri besar seperti Amerika Serikat, Jepang, negara di Uni Eropa, Rusia dan Australia.
Oleh karena itulah keterlibatan Amerika Serikat dalam setiap kesepakatan yang membicarakan masalah perubahan iklim dan pemanasan global sangat diharapkan, karena Amerika merupakan negara penghasil emisi terbesar di dunia. Sayangnya, Amerika tidak rela mengorbankan kepentingan nasionalnya demi kepentingan bersama, sehingga ketika berlangsung pertemuan di Kyoto Jepang pada tahun 2005 yang menghasilkan “Protokol Kyoto”, Amerika tidak mau meratifikasi perjanjian ini.
Mengapa Amerika tidak menyetujui “Protokol Kyoto”?. Karena dalam perjanjian ini, Amerika harus menurunkan tingkat emisi yang dihasilkannya sebesar 7 persen. Artinya, Amerika harus mengurangi aktifitas industrinya yang tentu berdampak pada penurunan hasil produksi yang mereka hasilkan. (andiyusrianto) Bersambung.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: