DI satu sore tahun 2014. Rahmat Adi Putro Utomo– Selanjutnya Rahmat, dilarikan ke salah satu rumah sakit di Bontang. Ada masalah di perutnya. Sakit luar biasa. Ia tak tahu sebabnya.
Setibanya di instalasi gawat darurat (IGD), dokter segera memeriksa. Tak butuh lama, diagnosis keluar. Rahmat dinyatakan mengalami usus buntu. Ini berarti ia perlu dioperasi. Secepatnya.
Hari itu juga, tepat usai salat magrib, jadwal operasi ditetapkan. Dua perawat, menggunakan brangkar, memindahkan Rahmat dari IGD menuju ruang operasi.
Dalam perjalanan itu, Rahmat merasa hilang kendali atas tubuhnya. Ia beku. Ia gemetar. Peluh membasahi tubuh. Namun ia tak kuasa menahan perih di perut. Hanya pasrah. Dan berharap operasi berjalan lancar.
“Tenang, mas. Percaya semua baik-baik saja,” seorang perawat coba menenangkannya.
Tiba di ruang operasi. Sudah ada dokter dan timnya. Kenakan setelah khas bedah. Baju senada, hijau semua. Rambut dibungkus. Mulut mengenakan masker. Tangan diselimut sarung tangan latex.
Di sekitarnya banyak alat-alat bedah. Ia tak tahu namanya. Yang jelas ada gunting dengan berbagai bentuk dan ukuran. Juga pisau. Kembali, ukurannya beraneka.
Sudah gemetar. Melihat peralatan itu, Rahmat makin ngilu.
“Sabar, mas. Percayakan pada kami. Insyaallah baik-baik saja,” kata Dokter, yang disambut anggukan oleh tim perawat.
Lepas itu, segalanya buram. Kesadaran Rahmat hilang. Ia tak tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Selang berapa jam pasca operasi usus buntu, sudah ada bekas jahitan di perut Rahmat. Ada rasa nyut-nyutan di sisa jahitan. Tapi terasa jauh lebih baik ketimbang sebelum operasi.
Pengalaman itu menyedihkan. Tapi siapa sangka, itu membuka cakrawala Rahmat untuk membantu orang lain yang mengalami pengalaman serupa dirinya: membantu dokter menolong pasien.
“Waktu operasi itu saya lihat perawat telaten bantu dokter. Perawat juga sabar merawat pasien selama sakit. Saya langsung membatin, saya pengin jadi kayak mereka (Perawat),” kata Rahmat kala berbincang dengan bontangpost.id, Rabu (13/5/2020) sore.
Perjalanan untuk menjadi perawat dimulai dengan mengambil sekolah keperawatan di Samarinda di tahun itu juga, 2014. Selama 3 tahun Rahmat menempuh studi, hingga dinyatakan lulus pada 2017.
“Selama studi ada stigma enggak bagus. Dikataian, karena katanya masa cowok ambil jurusan perawat. Tapi saya enggak peduli. Lanjut terus,” ujarnya sembari berseloroh.
Selang beberapa bulan usai lulus (2017), Rahmat kemudian diterima bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Bontang.
Kata Rahmat, jadi perawat itu cukup menantang, namun dia nyaman menjalaninya. Mendampingi dokter ketika bekerja. Merawat pasien dengan rupa-rupa perilaku dan penyakit yang dibawa.
Tak jarang perawat mendapat perlakuan kurang baik dari sejumlah pasien. Ada yang suka bicara kasar atau bernada tinggi. Ada yang tidak mau dengar ketika perawat memberi tahu sesuatu. Ini dilakukan baik oleh pasien atau kerabatnya.
“Tapi tidak masalah. Kami tidak boleh marah, justru harus memaklumi. Intinya kami harus melayani (merawat) pasien sebaik mungkin,” katanya.
Juga, sebagai perawat tak boleh ada rasa jijik. Membersihkan tubuh pasien. Membantu mereka yang tidak bisa buang air kecil atau besar. Membersihkan luka penuh darah. Semua mesti dilakoni dengan sabar, telaten, dan kelembutan.
“Kebutuhan pasien beda-beda. Perilaku mereka juga enggak sama. Jadi kami (Perawat) harus pintar-pintar ketika merawat,” beber pria kelahiran Bontang ini.
Khusus bagi Rahmat dan sejawatnya, ada problem lain, yakni stigma. Jadi perawat laki-laki memang mendapat stigma aneh dari publik.
Ini tak lain karena banyak beranggapan bahwa pekerjaan perawat lebih cocok disandang perempuan. Bukan laki-laki. Padahal, kata Rahmat, menjadi perawat tidak ada hubungannya dengan gender. Siapapun, yang memiliki kapasitas, dan memenuhi persyaratan, dapat jadi perawat.
“Sejak kuliah sudah dianggap aneh. Kok cowok ambil (Jurusan) keperawatan. Padahal jadi perawat enggak ada hubungannya sama gender. Selama kita mampu, ya kita bisa. Kerja profesional,” urainya.
Pria 24 tahun ini menambahkan, menjadi perawat memberikan kebahagiaan tersendiri. Ia tidak menafikan soal finansial yang diperoleh. Namun ada hal lain lebih penting. Menjadi perawat tak ubahnya menjalankan misi religius. Membantu seseorang (pasien) untuk sembuh dari penyakitnya. Melihat senyum mereka ketika pulih. Rasanya, kata Rahmat, sangat luar biasa.
“Kita bekerja dengan ikhlas, dan berharap ridha Allah. Saya meyakini, Allah akan memberi pahala yang setimpal untuk pekerjaan ini,” akunya.
Adapun di tempat Rahmat mengabdi saat ini, RS Pupuk Kaltim, ia masuk dalam tim medis khusus penanganan Covid-19. Dia tak bisa menolak ketika ditunjuk, dan hanya berupaya untuk memberi yang terbaik.
Memang di RS itu belum merawat pasien positif Covid-19. Namun dia telah berikrar, akan memberi yang terbaik, dan bersiap untuk segala kemungkinan. Semua ini demi satu hal: pengabdian yang tulus.
“Saya masuk tim nakes Covid-19 di RS Pupuk Kaltim. Untuk segalanya nanti, saya sudah siap,” tegasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post