Pasti asyik ya, punya hobi yang bisa mendatangkan nilai ekonomis. Nongkrong bareng sampai buka usaha bareng. Nah, itulah yang dilakukan anak-anak WKT. Dari menggambar hingga akhirnya bikin brand sendiri, yaitu Local Youth.
DEVI NILA SARI, Samarinda
Mural atau grafiti merupakan seni anak jalanan yang biasanya ditorehkan di atas dinding sebagai kanvas. Kanvas ini bisa jadi dinding rumah orang, pagar rumah maupun tembok-tembok di pingir jalan. Intinya semua dinding datar yang bisa digambar ulang.
Grafiti biasa dikategorikan sebagai perilaku vandalisme anak jalanan yang merusak fasilitas umum dengan coretan-coretan yang tidak jelas. Nah, anak-anak grafiti ini juga ada di Samarinda. Di kota yang terkenal akan banjirnya ini, masyarakat masih awam akan keberadaan mereka. Namun, ternyata di sini ada komunitas grafiti paling besar se-Kaltim. Sebut saja mereka WKT.
![](https://bontangpost.id/wp-content/uploads/2018/06/GRAFITTI-KAKI-1.jpeg)
WKT adalah nama komunitas anak-anak penggambar grafiti yang ada di Kota Tepian. WKT merupakan kepanjangan dari Wadah Kita Tekumpul. Kenapa memilih nama tersebut, selaku juru bicara WKT, Arma Febrian menuturkan, awalnya mereka suka ngumpul di bawah jembatan Muso Salim.
Di sana ada penjual stiker yang mirip dengan penyanyi kenamaan Wiz Khalifa sehingga tempat mereka biasa nongkrong tersebut diberi nama WKT atau tempat/kawasan Wiz Khalifa. Namun, lambat laun kepanjangan dari singkatan tersebut diubah menjadi Wadah Kita Tekumpul. “Agar lebih familiar pas didengar orang,” ujar Arma kepada Metro Samarinda, Jumat (1/6) lalu.
Komunitas yang berdiri sejak 2012 ini awalnya hanya beranggotakan 11 orang, namun seiring berjalannya waktu, kini komunitas anak pecinta grafiti tersebut memiliki anggota hingga 50 orang.
Arma sendiri mengaku telah mulai menggambar semenjak tahun 2008 lalu. Pria asal Yogyakarta ini bercerita, pertama kali menginjakkan kaki di Kota Tepian, ia tidak mengira jika di Samarinda juga ada anak-anak grafiti. Kepindahannya ke Samarinda karena alasan pekerjaan menghantarkannya bertemu anak-anak WKT yang sedang ngumpul di bawah jembatan tersebut.
“Awalnya saya bertemu anak-anak di bawah jembatan Jalan Muso Salim. Tapi, dulu mereka kurang solid. Kurang berinteraksi juga sama anak-anak grafiti dari luar Kaltim. Awalnya saya tidak tahu kalau di Samarinda juga ada anak-anak grafiti,” ujar dia.
Setelah tergabung dengan anak-anak WKT sekitar tahun 2013, anak ke dua dari tiga bersaudara ini bercerita akhirnya mereka memutuskan untuk mengadakan pameran sendiri. Pertama kali pada tahun 2014, di Java Cafe, walau memakai dana pribadi.
Berawal dari kegiatan tersebut lah, mereka mulai dikenal orang. Mengikuti event-event lokal yang memerlukan live printing atau mendesain kafe hingga konsisten mengadakan pameran sendiri tiap tahunnya.
“Jika dihitung-hitung, per tahunnya kami bisa mengadakan sepuluh event. Namun untuk tahun ini baru satu event, karena yang lain sibuk kerja, dan saya juga sibuk,” ungkap Arma.
Arma menuturkan event paling besar yang pernah WKT ikuti adalah Street Dealin di Jakarta. Mereka aktif mengikuti event ini dari tahun 2015 hingga sekarang. “Jadi, di event itu anak-anak grafiti se-Asia akan berkumpul dan menggambar bersama,” ujar dia.
Kecintaan pria berusia 25 tahun ini pada grafiti membut dia berinisiatif mengumpulkan anak-anak muda lainnya agar memiliki kegiatan yang lebih terarah, hingga akhirnya membuat usaha bersama. “Ibaratnya kalau kita ingin menjual sebuah lukisan seharga Rp 5 juta, kalau di Samarinda itu masih mustahil laku, karena orang-orang di sini kan masih awam dengan grafiti,” ungkapnya.
Inilah yang membuat anak-anak WKT berinisiatif berkarya namun tetap memiliki nilai ekonomis. Caranya yaitu dengan membuat kaos dengan desain asli yang diberi nama Local Youth. Brand ini merupakan brand lokal anak-anak Samarinda loh.
Ibarat mendayung dua tiga pulau terlampaui, inilah yang dilakukan WKT. Berkarya sekaligus bikin usaha sama-sama. Bekerja seperti bermain namun tetap memiliki tujuan. Komitmen ini menghantarkan mereka dari anak-anak yang suka ngumpul di bawah jembatan hingga memiliki tempat ngumpul sendiri yang disebut Jenggala, yang berlokasi di Jalan Bukit Alaya Blok A-B.
Pria asal Yogyakarta ini juga bercerita bahwa asyiknya menjadi anak grafiti adalah luasnya pergaulan yang ia miliki. Banyak teman dan juga banyak koneksi. Selain itu, saat mereka sedang menggambar, selain mengasah kreatifitas yaitu menguji adrenalin. “Gimana adrenalin tidak terpacu, kita kan gambar tengah malam di dinding rumah orang lagi. Ya takut ditimpuk,” ucap sembari tertawa.
Dia juga mengungkapkan bahwa mereka pernah hampir digebuki orang kampung karena menggambar di dinding rumah salah satu warga. Itu merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Namun, hal tersebut juga yang makin menguatkan solidaritas sesama anggota.
“Tapi hal tersebut sudah biasa, dan wajar karena kami kan menggambar tanpa izin. Soalnya, kalau izin pastinya tidak dibolehin, jadi ya mending gambar aja dulu,” bela dia sambil tersenyum.
Dia mengatakan mengapa harus takut, yang mereka lakukan itu tidak salah. Kesalahan yang mereka lakukan hanya menggambar tanpa izin. Dan hal itu tak jarang membuat pihaknya diburu pihak berwajib. “Seperti dinding di bawah jembatan Jalan Muso Salim misalnya, itu kan kumuh banyak poster-poster tidak jelas. Kita bersihkan, kita cat sendiri, jadi lebih enak diliat,” tuturnya.
Arma menyadari bahwa hobinya tersebut kerap membuat warga geram dan membuatnya diburu pihak berwajib. Namun, hal itu tak membuatnya jera. Selama ia dan teman-teman bisa menggambar, itu sudah lebih dari cukup.
Selain itu, hal yang membuatnya sangat mencintai grafiti dibanding hobi-hobi lainnya adalah karena ruang lingkupnya dalam berkarya. “Hebatnya grafiti itu langsung terhubung ke public space. Jadi orang mau tidak mau dipaksa untuk melihat karya kami. Kalau lukisan biasa kan cuma dipajang di galeri, sedangkan karya kami bisa langsung dinikmati semua orang,” ujarnya bangga.
Bagi Arma, WKT tidak hanya sekedar komunitas biasa, tapi lebih daripada itu. Ia menyatakan bahwa WKT sudah seperti keluarga, dan itulah yang membuat mereka bisa bertahan hingga sekarang.
“Karena kami selalu konsisten sama-sama, nongkrong bareng, gila-gilaan bareng, dan tidak pernah bosan walau sama orang yang sama dan cerita yang itu-itu aja,” tuturnya. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post