bontangppst.id – Di atas lahan kawasan konservasi orang utan tersebut, diduga telah terjadi penambangan batu bara secara ilegal. Manajer Program Regional Kaltim BOSF, Aldrianto Priadjati menjelaskan, dugaan aktivitas pertambangan tersebut ilegal karena dilakukan di atas lahan milik yayasan. Selama ini tidak ada sama sekali pemberitahuan bahkan kerja sama. Dan yang menjadi kecurigaan, nama perusahaan yang melakukan eksploitasi termasuk dalam daftar 21 izin usaha pertambangan (IUP) diduga palsu yang selama ini beredar.
“Setelah kami cek, atas nama PT BSS tersebut masuk ke dalam daftar IUP yang diduga palsu. Kami pun menyesalkan terjadinya pertambangan ini di kawasan konservasi orang utan,” ujar Aldrianto kepada Kaltim Post, Jumat (27/1). Aldrianto menjelaskan, awalnya pada 1 Oktober 2020, petugas patroli BOSF Samboja Lestari bertemu tiga orang yang mengaku berasal dari sebuah koperasi yang masuk bersama alat berat di areal BOSF Samboja Lestari. Mereka menunjukkan peta permohonan pertimbangan teknis untuk kegiatan peternakan dan perikanan. Saat itu telah dibuka lahan BOSF Samboja Lestari seluas 0.22 hektare.
Sayangnya, kerusakan sudah terjadi seluas 20 hektare. Bahkan batu baranya sudah diambil. Namun, proses hukum yang ditempuh yayasan pada 30 April 2021, yang melaporkan penyerobotan tanah ke Polsek Samboja, hampir 2 tahun masih berproses. Kaltim Post yang menyusuri lokasi pertambangan batu bara pun menemukan bekas-bekas aktivitas pertambangan. Seperti plang perusahaan, pos sekuriti, lubang galian, sisa batu bara, baik yang ditumpuk maupun yang sudah berada di dalam karung. Hingga satu dump truck yang tertinggal di lokasi tambang.
Namun ancaman tidak berhenti. Tidak lama setelah aktivitas tambang PT BSS dihentikan, muncul sekelompok orang yang melakukan pengeboran yang diduga sebagai kegiatan eksplorasi pertambangan. Petugas dari yayasan BOSF pun disebut sudah melakukan upaya penghentian terutama di lahan mereka. Namun karena pekerja pengeboran disebut lebih “galak”, jumlah lebih banyak dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hingga kunjungan Kaltim Post ke lokasi, masih berlangsung aktivitas pengeboran. “Sejauh ini kami sudah menemukan delapan titik pengeboran di atas lahan BOSF. Mereka masuk tanpa ada bicara atau koordinasi ke kami. Bahkan plang kami diduga dirusak mereka. Kami menduga data hasil eksplorasi ini kemudian akan dijual ke penambang. Pada 25 November 2022 kami melaporkan kegiatan pengeboran tersebut ke Polsek Samboja,” jelasnya.
TELUSURI JAMREK
Perkara 21 IUP diduga palsu juga masih bergulir di tangan Panitia Khusus (Pansus) Investigasi Pertambangan yang dibentuk DPRD Kaltim. Ketua Pansus, Syafruddin menyebut, jika pihaknya saat ini masih menunggu perkembangan hukum terhadap laporan Pemprov Kaltim terhadap dugaan pemalsuan tersebut di Polda Kaltim. “Kami masih menunggu penegakan hukumnya yang sampai saat ini belum ada titik terang. Namun kami tetap punya agenda untuk turun ke lapangan untuk menelusuri lokasi 21 IUP diduga palsu tersebut,” ungkap Syafruddin, Minggu (29/1).
Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim itu melanjutkan, fokus pansus saat ini adalah mengejar kebenaran terkait hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang menyatakan ada penarikan dana jaminan reklamasi (jamrek) yang dilakukan sejumlah perusahaan pertambangan tanpa didukung dokumen yang biasa dikeluarkan oleh pemerintah.
“Kok bisa ada pencairan dana jamrek Rp 219 miliar yang belum dilengkapi dokumen hingga menjadi temuan auditor seperti BPK dan Inspektorat Kaltim,” ungkap Syafruddin.
Sebelumnya, kata politikus PKB itu, persoalan jamrek ini menghangat setelah laporan BPK menyatakan, dari nilai jaminan per 31 Desember 2020, terdapat mutasi keluar atas jaminan reklamasi sebesar Rp 450.666.412.107,88 yang berasal dari deposito/bank garansi di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim sebesar Rp 446.175.053.990,88 dan penyerahan ESDM Rp 4.492.358.117,00. Mutasi keluar ini terjadi karena penyerahan jaminan tambang kepada perusahaan yang tidak dapat dikelompokkan oleh DPMPTSP.
DPRD Kaltim pun melalui Komisi I dan Komisi III sudah melakukan rapat dengar pendapat mengenai hal ini pada Juli 2022 lalu dengan memanggil DPMPTSP dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim. Auditor menanyakan apakah disebabkan karena pencairan jaminan reklamasi atau perpanjangan masa berlaku karena tidak lengkapnya dokumen pendukung yang tersimpan di DPMPTSP. Padahal, penyerahan SK dan jaminan reklamasi yang berupa deposito/bank garansi ini dibuktikan dengan adanya berita acara penyerahan fisik jaminan tambang dari DPMPTSP kepada perusahaan. Berita acara penyerahan fisik jaminan reklamasi dari DPMPTSP kepada perusahaan juga dimaksudkan untuk penyerahan jaminan yang telah kedaluwarsa kepada perusahaan agar diperpanjang masa berlakunya dan nantinya akan diserahkan kembali kepada DPMPTSP.
Dokumen tersebut berupa berita acara penyerahan jaminan kepada perusahaan dari DPMPTSP, SK Persetujuan Gubernur atas Pencairan Jaminan Reklamasi, dan Persetujuan Teknis dari Dinas ESDM Kaltim. Di mana auditor menyebut mutasi keluar yang tidak bisa dibuktikan dengan dokumen sebesar Rp 219.088.300.152,76. “Dalam waktu dekat kami akan memanggil pihak bank untuk mengetahui bagaimana dana ini bisa dicairkan. Selain itu, kami akan memanggil sekprov Kaltim untuk mengetahui sejauh mana komitmen pemprov terkait persoalan tambang ini termasuk 21 IUP diduga palsu,” tukas Syafruddin. (riz/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: