Oleh: Rajja
“Kekacauan, kecurangan, kurang pengawasan, keterpurukan, karut-marut, dan lain-lain potret negatif, yang sering dialamatkan kepada penyelenggara pemilu di negeri ini, Kalimantan Timur tidak terlepas dari wacana itu”. Wacana dan narasi terus bergulir setiap pemilu dan pemilihan kepala daerah, berbenah diri tidak ada lain ketika wacana melebar dan menyudutkan penyelenggara pemilu, apalagi bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, mudah terpancing oleh issu-issu hoax yang tak berdasar dan bertuan.
Penyelenggara pemilu harus bertaring dan diperlukan integritas tinggi dalam menyikapi wacana tersebut. Untuk membuktikan bahwa penyelenggara pemilu adalah penyelenggara yang bersih dari wacana negatif dan berbalik menjadi wacana positif. Harapan bangsa ini, Setiap 5 tahun diadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) memilih calon yang terbaik “begitulah gaung yang melekat setiap 5 tahun di seluruh lapisan masyarakat yang pada
kenyataannya diharapkan berdampak pada kepentingan daerah, bangsa, dan negara untuk tujuan negara ini semakin maju bukan malah semakin mundur dengan hadirnya calon pemimpin baru”.
Hal ini yang menjadi alasan utama diadakanya pesta demokrasi setiap 5 tahun, pertama diadakanya pemilihan kepala daerah adalah untuk mengcover kepentingan-kepentingan yang ada di daerah supaya pembangunan merata, adil dan makmur, kedua supaya adanya kemajuan
baik dalam bentuk fisik maupun dalam tatanan social daerah itu, ketiga diharapkan mampu mengontrol kepentingan daerah yang jauh dari pemerintah pusat, keempat agar tercipta keamanan yang baik. Pendekatan-pendekatan seperti inilah yang diharapakan, bukan malah
sebaliknya menciptakan bibit-bibit konflik.
Melihat sejarah demokrasi kita yang netabene masyarakat beragam dan multikultur biasanya setelah pesta demokrasi sering terjadi kerusuhan, kerukunan antar umat beragama terggangu, tetangga tidak akur, dan gangguan keamana lainya, akibat, adanya pendukung panatik yang
kalah dalam pemilu sehingga menimbulkan bibit komplik dan ahirnya melebar dalam ruang-ruang publik yang sulit untuk diredam.
Meminjam kata Buya Hamka”Indonesia itu ibarat rumput yang kering mudah terbakar dengan percikan api” inilah yang menjadi tangggugjawab seluruh lapisan masyarakat dan penyelenggara pemilu untuk menjaga solidaritas agar tidak terjadi masalah atau bibit komplik.
Hal inipulalah penyelenggara pemilu harus bersikap adil dalam memutuskan perkara baik KPU selaku Teknis pelaksana dan pihak Bawaslu selaku
pengawas pemilu “ bersikap adil dalam memperlakukan semua calon kepala daerah, tim kampanye, relawan, pemilih dengan memegang teguh aturan yang ada, sederhananya bersikap netral”.
“Kita jangan terkeco oleh objek yang terlihat, namun visi dan misi yang di bawah oleh calon harus dicerna baik-baik jangan ditelan mentah-mentah”. Pemilih yang baik dan pemilih yang cerdas tentu bisa membedakan mana calon yang baik dan mana calon yang tidak baik apalagi ketika salah satu calon menjanjikan suatu jabatan atau uang harus di tolak karena itu adalah pelanggaran pidana yang merugikan pemilih dan calon yang dipilih. Ada juga kata petua “ambil uangnya tapi jangan dipilih” prinsip seperti itu juga merusak budaya jujur dan citra yang terbangun di masyarakat seakan-akan petua itu dialamatkan pada pemilih yang munafik, untuk menyikapi hal tersebut harus ada paradoks pembanding “jangan ambil uangnya dan jangan dipilih” hal-hal seperti ini terindikasi pelanggaran, sesuai yang tertuang dalam undang-undang nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, walikota, bupati, serta Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
UU Nomor 10 Tahun 2016 “Pasal 187 A ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak memilih,menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana yang di maksud pada pasal 73 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit 200.000.000( juta) dan paling banya 1.000.000.000 (satu miliyar).
ayat (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang sengaja melakukan perbuatan melawan hukum merima, pemberian, atau janji sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Bab IV penyertaan dalam tindak pidana Pasal 55 ayat 1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta dalam melakukan perbuatan,Mereka dengan sengaja memberi atau menjanjikan sesuai dengan penyalagunaan kekuasaan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya ,melakukan perbuatan”.
Ayat (2) terhadap penganjur, hanya dengan perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan beserta akibat- akibatnya. Pasal 149 ayat (1) barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum,dengan memberi atau menjanjikan sesuatu , menyuap seseorang supaya tidak memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjarah paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah. Ayat (2) pidana yang sama diterapkan kedapa pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.
Sudah jelas bagi penyelenggara pemilu dalam bersikap dan sepantasnya penyelenggara pemilu dan seluruh pemangku kepenting taat aturan. Jangan di salah artikan bahwa aturan itu di buat “hanya untuk dilanggar dan ditaati” logika seperti ini hanya akan melahir multitafsir jadi, perlu kehati-hatian di dalamnya”. Dengan adanya undang-undang atau aturan dalam kepemiluan diharapkan calon kepala daerah dan pemilih harus bersikap bijak dalam memperlakukan segala hal sebagaimana mestinya.
Taat aturan, “calon pemimpin sudah sepantasnya taat aturan agar menjadi contoh atau tauladan ketika terpilih nantinya, bahwa memang layak dijadikan pemimpin, pengayom masyarakat. Pemilih juga harus cerdas dan selektif memilih seorang pemimpin “jangan sampai idealisme tergadi sebungkus nasi, janji palsu, rayuan, golput dan sebagainya”. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: