Banyaknya jebolan pondok pesantren (Ponpes) yang sulit mencari kerja menjadi perhatian Ahmad Syahrin Thoriq. Karena itu melalui Ponpes Subulana yang didirikannya sejak 2010, dia ingin mencetak santri-santri yang bukan hanya pandai ilmu agama, melainkan juga berjiwa wirausaha.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Keinginan Thoriq untuk mendalami ilmu agama telah terlihat sejak usia tujuh tahun. Sejak usia itu dia rutin pulang pergi ke ponpes Walisongo di kampungnya di Kota Poso, Sulawesi Tengah. Namun keinginan untuk serius mondok di pesantren ditentang kedua orangtuanya. Karena saat itu, masyarakat memandang miring pendidikan di pesantren.
“Pemahaman masyarakat waktu itu, lulusan pesantren susah cari kerja. Apalagi kebanyakan santri itu dari keluarga miskin. Sementara waktu itu banyak lulusan pesantren yang tidak bermanfaat bagi masyarakat, ilmunya tidak ada pengamalannya,” kenang Thoriq saat ditemui Bontang Post di ponpesnya.
Dengan kondisi tersebut, orangtua Thoriq lebih mengharapkan dia menuntut ilmu di sekolah umum. Bahkan dia disekolahkan di sekolah gereja yang waktu itu dikenal sebagai sekolah umum favorit. Hebatnya, dia berhasil menjadi murid dengan nilai ujian tertinggi di sekolah saat kelulusan SMP. Pendidikannya pun berlanjut ke SMA yang juga di sekolah gereja tersebut.
“Karena prestasi saya tersebut, orangtua saya ingin saya tetap melanjutkan sekolah. Sementara saya masih tetap ingin mondok di pesantren,” tambahnya.
Agar diizinkan mondok, Thoriq pun melakukan berbagai cara. Di antaranya sering bolos sekolah agar dikeluarkan dari sekolah. Dia pun kerap disidang orangtuanya karena aksinya tersebut. Kedua orangtuanya tetap kukuh melarang Thoriq belajar di pesantren. Bahkan kalaupun ingin belajar di pesantren, ayah dan ibunya mengancam tidak akan membiayai pendidikannya tersebut.
“Akhirnya saya berhenti sekolah. Sempat selama sembilan bulan itu saya tidak sekolah. Saya malahan kerja menderes pohon kelapa untuk mencari gula,” ujar Thoriq.
Dari pekerjaannya menderes gula tersebut, perlahan Thoriq berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp 3,8 juta. Uang tersebut rencananya digunakan untuk merantau dan menuntut ilmu di ponpes yang ada di Jawa. Namun, keinginannya tersebut urung terjadi karena sandiwara kedua orangtuanya. Demi menahan Thoriq, ibunya berpura-pura sakit dan mengatakan butuh biaya berobat.
“Karena saya sayang kepada orangtua, maka saya pulang dan memberikan uang saya itu kepada ibu. Baru beberapa tahun kemudian saya ketahui kalau sakitnya ibu itu adalah sandiwara agar saya tidak pergi mondok,” kisahnya.
Akhirnya kegigihan Thoriq membuahkan hasil. Kedua orangtuanya mengizinkan dia menuntut ilmu dengan serius di ponpes. Apalagi kondisi Poso kala itu sedang mencekam akibat konflik agama yang terjadi di sana. Semua rekannya di ponpes Walisongo tewas dibantai, sementara dia selamat karena saat itu sedang sakit dan berada di rumah. “Mungkin karena saya masih banyak dosanya sehingga Allah belum mengizinkan saya mati,” sebut Thoriq sedih.
Meski diizinkan mondok, namun orangtuanya hanya mengizinkan Thoriq pergi ke Kaltim. Pasalnya, masih ada sanak keluarga di sana. Maka di tahun 1999 Thoriq mulai menginjakkan kakinya di benua etam dan mulai mondok tahun 2000 di Ponpes Darul Ihsan, Samarinda. Di sana dia bukan hanya belajar ilmu agama, namun mencoba berwirausaha dengan membuka koperasi di ponpes.
“Saya berusaha hidup mandiri. Jadi selama saya mondok, saya tidak pernah minta kiriman uang sedikitpun dari orangtua. Saya buktikan kepada mereka bahwa saya bisa mandiri,” tuturnya.
Ide koperasi itu muncul ketika dia melihat kebutuhan para santri akan barang sehari-hari. Dengan mengajak rekan-rekannya sesama santri, koperasinya tersebut mulai berkembang dan bisa mendatangkan pendapatan signifikan. Bahkan, penghasilan dari koperasi tersebut sanggup untuk membiayai berbagai kegiatan organisasi pesantren. Meski begitu, usaha koperasinya tersebut sempat ditentang oleh ustaz di sana.
“Kami sempat ditentang ustaz, karena menganggap usaha kami seperti pasar. Kata beliau waktu itu, ponpes hanya untuk menuntut ilmu. Lalu saya berikan pemahaman bahwa di ponpes juga bisa memberikan pendidikan kepada santrinya untuk berwirausaha. Akhirnya koperasi kami diizinkan dan bahkan semakin berkembang sampai sekarang,” jelas Thoriq.
Di tahun 2003, Thoriq melanjutkan pendidikannya ke Mesir, di Universitas Al-Azhar Kairo. Tahun 2005, dia pindah ke Yaman, di Universitas Darul Mustofa. Lulus menempuh pendidikan di dua perguruan tinggi Timur Tengah tersebut, barulah di tahun 2007 dia kembali ke kampung halamannya di Poso. Akan tetapi kondisi Poso kala itu membuatnya tidak tenang. Apalagi dia selalu terkenang dengan kejadian tragis yang menimpa kotanya tersebut.
Alhasil, Thoriq kembali lagi ke Kaltim. Apalagi saat itu ada salah satu pemerintah daerah yang mendukungnya datang dan mengajar di sana. Dia pun sempat mengajar di pedalaman Kutai Timur (Kutim) hingga akhirnya di 2008, dia menjejakkan kaki di Kota Taman.
“Di Bontang waktu itu saya sempat bergabung dengan beberapa lembaga-lembaga pesantren, menjadi ustaz pengajar di sana,” ujar pria kelahiran Poso, 32 tahun lalu ini.
Di pesantren-pesantren tersebut, Thoriq beberapa kali menawarkan ide-idenya terkait pembelajaran wirausaha bagi santri. Namun, ide-idenya kurang ditanggapi oleh para pemilik pesantren. Karena tidak bisa mengembangkan ide-idenya, terpikirlah di benaknya untuk membuat pesantrennya sendiri. Maka di tahun 2009 dia mulai mencari lahan untuk pembangunan ponpes.
Thoriq mengisahkan, dia sempat membeli tanah seluas satu hektare di kilometer 13 yang direncanakan untuk lahan pesantren. Namun, dari total harga tanah sebesar Rp 150 juta, dia baru membayar Rp 90 juta. Kondisinya yang sangat terbatas kala itu membuatnya tidak mampu melunasi kekurangannya. Sementara, pemilik lahan terus-menerus mempertanyakan kepastian pembelian.
Bimbang, Thoriq lantas berkonsultasi dengan para syekh yang menjadi gurunya saat menuntut ilmu dulu. Oleh syekh, dia disarankan mensedekahkan saja lahan tersebut kepada orang lain. Biar orang lain tersebut yang melunasi kekurangan pembayarannya.
“Saat itu saya benar-benar berat menyedekahkannya. Karena memang nilai tanahnya yang tinggi. Selain itu uang untuk membeli tanah bukan hanya dari saya, tapi juga dari teman-teman jemaah. Karena itu akhirnya saya sedekahkan kepada ustaz yang juga berencana membangun lembaga pendidikan agama di sana,” urai Thoriq.
Tanpa disangka, setelah dia menyedekahkan lahan tersebut, banyak tawaran wakaf datang padanya. Baik di Bontang maupun di Kutim. Bahkan ada orang yang datang secara langsung menemuinya dan memberikannya uang untuk membeli lahan. Sayangnya, saat itu dia tidak berhasil menemukan tanah yang tepat untuk membangun pesantren.
Barulah di 2010, dia mendapat tawaran lahan seluas dua hektar di Bontang Lestari. Awalnya dia sempat ragu dengan lahan tersebut karena lokasinya berada jauh dari kota. Apalagi aksesnya kala itu belum bagus untuk dilewati. Dia khawatir bila dibangun di lahan tersebut, tidak ada yang mondok di pesantrennya. Dia pun melakukan salat istikhoroh untuk memohon petunjuk dari Allah.
“Setelah salat, saya seperti dibimbing Allah untuk membangun di lahan itu. Akhirnya saya mantap membangun pesantren di sana yang saya beri nama Subulana,” kata ayah empat anak ini.
Awal-awal mendirikan pesantren adalah masa yang sulit bagi Thoriq. Karena dia mesti pulang pergi dari rumahnya di kilometer 3 ke Bontang Lestari. Saat itu dia memang masih menjadi imam masjid di sekitar kediamannya. Kondisi keuangannya pun saat itu menipis, sampai-sampai dia terpaksa berutang beras untuk kebutuhan sehari-hari.
Namun perjuangan Thoriq tidak sia-sia. Perlahan Ponpes Subulana mulai berkembang. Walaupun dalam keterbatasan, Ponpes Subulana mampu meluluskan santri-santrinya dengan baik. Bahkan di tahun 2013 dan 2014, dia bisa memberangkatkan santri-santrinya belajar di Al-Azhar Mesir. Dengan persiapan selama satu tahun, para santri mampu lulus ujian masuk ke universitas Islam kenamaan di dunia tersebut.
“Keberhasilan ini sangat berkesan bagi saya. Para syekh di sana sampai kaget dengan Ponpes Subulana. Karena meski ponpesnya belum lama berdiri, namun sudah bisa mengirimkan santri ke sana. Karena itu para syekh di sana mau membantu kami di sini dengan memfasilitasi pengiriman tenaga pengajar,” kata Thoriq.
Di Ponpes Subulana, selain mendidik ilmu agama, Thoriq juga mengajarkan ilmu-ilmu kewirausahaan kepada para santrinya. Dengan menyisihkan waktu sekira 30 menit setiap harinya, dia mengajarkan berbagai peluang usaha kepada para santri. Mulai dari beternak ayam, kambing, hingga ikan air tawar. Hasil usaha ini lantas digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di pesantren.
Memang, Thoriq berusaha menanamkan nilai-nilai wirausaha kepada para santrinya. Agar nantinya ketika lulus, para santri bisa membuka usaha sendiri dan menciptakan lapangan kerja. Sehingga diharapkan para santri bukan hanya ahli agama, melainkan juga bisa jadi pengusaha. Dia memang bercita-cita mencetak generasi-generasi Islam dengan pemahaman yang utuh.
“Alhamdulillah untuk mengembangkan pesantren kami tidak menggantungkan dari donatur. Kebutuhan operasional pesantren terpenuhi dari kegiatan usaha yang kami kembangkan di sini. Sejak 2012 hingga sekarang, kami tidak pernah menarik iuran SPP dari para santri. Biayanya kami gratiskan,” jelas pria yang gemar baca buku ini.
Dalam mengembangkan kewirausahaan di pesantrennya, Thoriq mengaku belajar dari Universitas Al-Azhar Mesir. Kata dia, Al-Azhar menjadi besar bukan hanya karena ilmu keagamaan yang diajarkannya. Melainkan juga manfaat yang diberikan kepada masyarakat. Dalam hal ini, Al-Azhar bekerja sama dengan masyarakat sekitar mengembangkan wakaf produktif.
“Misalnya wakaf lahan perkebunan. Lahannya dipercayakan kepada masyarakat untuk digarap, nanti dilakukan bagi hasil. Jadi masyarakat mendapat manfaat, universitas juga kuat secara keuangan. Bahkan saat Mesir dilanda krisis, Al-Azhar meminjamkan uangnya kepada pemerintah,” ungkap Thoriq.
Karenanya, saat ini Thoriq lebih menyarankan masyarakat lebih memberikan wakaf produktif ketimbang bantuan yang bersifat konsumtif. Menurutnya dengan wakaf produktif, bisa berkesinambungan dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Juga, bisa dijadikan pembelajaraan bagi para santri dalam hal kewirausahaan.
“Saya percaya setiap anak punya bakat wirausaha masing-masing. Untuk itu saya mencoba berbagai jenis usaha di pesantren agar melatih mereka dengan berbagai keahlian. Walaupun sebatas coba-coba, tapi sudah mendatangkan hasil,” tegas anak kelima dari tujuh bersaudara ini. (bersambung)
Nama: H Ahmad Syahrin Thoriq, Lc
TTL: Poso, 8 Februari 1984
Istri: Tri Ningsih
Anak: Layla Zahra, Umul Habibah, Sulaiman At Thoriq, Yahya Ali Nafi At Thoriq
Pendidikan Agama:
- Ponpes Wali Songo Poso
- Ponpes Darul Ihsan Samarinda
- Universitas Al Azhar Mesir
Alamat: Ponpes Subulana, Bontang Lestari
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: