SANGATTA – Sebanyak dua orang anggota komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kutim dilaporkan ke Kepolisian Resort (Polres) Kutim, lantaran diduga telah melakukan pemalsuan berkas dan bekerja di instansi lainnya di KPUD Kutim.
Mereka yang dilaporkan yakni, Harajatang dengan tudingan pemalsuan berkas. Pasalnya, Harajatang diduga masih aktif sebagai anggota partai politik. Komisioner lainnya adalah Ulfa Jamilatul Faridah yang diduga masih aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sangatta (STAIS) Kutim.
Seperti diketahui, STAIS adalah lembaga pendidikan plat merah. Dengan demikian, seluruh anggaran operasional STAIS dibebankan di APBD Kutim. Sementara komisioner KPUD Kutim juga mendapatkan gaji dari Pemerintah Kutim, artinya Ulfa menerima doubel anggaran.
Keduanya dilaporkan oleh Ahmad Ajmi (43) di Satreskrim Polres Kutim, Rabu (11/1) lalu. Dalam laporannya, Ajmi menyerahkan sejumlah barang bukti kepada pihak penyidik, antara lain surat keputusan Muscab II partai Demokrat dan surat mandat kegiatan yang di dalamnya berisikan nama Harajatang unsur DPC Demokrat Kutim.
Terdapat juga barang bukti berupa foto-foto yang menunjukan adanya keterlibatan Harajatang dalam rapat kepartaian DPC Demokrat Kutim. Adapun untuk Komisoner KPUD Kutim Ulfa Jamilatul Faridah, Ajmi menyerahkan data prihal keaktifan Ulfa sebagai dosen dan ketua jurusan Syariah STAIS.
Selain itu, terdapat juga surat KPU pusat nomor: 315/KPU/V1/2016, prihal bekerja penuh waktu bagi ketua dan anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kota dan Kabupaten. Dalam aturan itu disebutkan, bahwa ketua dan anggota KPU tidak bekerja pada instansi atau lembaga lain diluar KPU, baik instansi atau lembaga pemerintah, BUMN, BUMD dan instansi, atau lembaga swasta lainnya.
“Kedatangan kami ke Polres Kutim untuk memberikan pelaporan, bahwa ada anggota komisioner KPUD Kutim yang masuk dalam kepengurusan partai (Harajatang), dan ada yang bekerja di instansi lain diluar KPUD (Ulfa),” ungkap Ajmi yang juga mantan calon anggota komisioner KPUD Kutim, Rabu lalu.
Menurutnya, keduannya dianggap menyalahi aturan sebagaimana diatur UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sementara kenyataannya, Harajatang masih aktif sebagai anggota partai dan Ulfa aktif sebagai dosen STAIS yang merupakan lembaga milik pemerintah.
“Cuman, dalam laporan ini, pihak kepolisian meminta kami untuk melengkapi dulu barang bukti yang ada, khususnya untuk ibu Ulfa. Katanya, untuk ibu Ulfa perlu ada bukti bahwa bersangkutan memang masih aktif sebagai dosen, setelah itu baru akan ditindaklanjuti,” katanya.
Kendati demikian, dirinya berharap pengaduan yang telah disampaikan dapat ditindaklajuti. Sebab meskipun belum memiliki barang bukti yang utuh sebagaimana dibutuhkan kepolisian, namun dari bukti-bukti awal yang sudah disampaikan pihaknya, setidaknya sudah bisa dijadikan dasar untuk memproses laporannya.
“Tentu kita berharap, ada penegakan hukum yang bisa diambil kepolisian. Karena dari fakta-fakta yang sudah kami sampaikan, saya kira sudah cukup jelas mereka (Harajatang dan Ulfa) menyalahi aturan jika memang kepolisian ingin menindaklanjutinya ke proses hukum selanjutnya,” tuturnya.
Sementara itu, baik Harajatang dan Ulfa, hingga dengan berita ini diterbitkan belum dapat dimintai keterangan. Dari beberapa nomor telpon keduannya yang dimiliki media ini, tidak ada yang dapat aktif. Sementara dari pihak kepolisian, belum memberikan pernyataan resmi terkait laporan tersebut. (drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: