Dekat dengan H Nursalam, Ketua DPRD Bontang
Siapa tidak kenal Nursalam. Dia merupakan jurnalis andal di zamannya. Pensiun sebagai kuli tinta, pria yang karib disapa Salam ini banting setir menjadi wakil rakyat. Kini, jabatan sebagai ketua DPRD Bontang dipegangnya.
Salam kecil lahir dari keluarga tentara. Hidup mandiri, disiplin, dan tegar dia lakoni. Bahkan, dia berani mencari rupiah sendiri agar tidak menjadi beban keluarga.
Saat SD, Salam sudah berjualan permen. Memasuki SMP, putra dari pasangan H Muslim-Hj Halijah ini berjualan bola karet, es lilin, dan buah hasil perkebunan.
“Sejak kecil saya sudah bisa mencari duit sendiri. Jualan bola karet, saya pergi langsung ke pembuatnya. Karena waktu itu, anak-anak masih banyak main bola. Kemudian saya sering ke hutan mencari buah-buahan buat dijual,” kenang anak keempat dari enam saudara itu.
Baginya, sang ibu adalah sosok inspirator dan pendorong dirinya untuk hidup mandiri.
“Kalau mengingat ibu, rasanya pengin kembali ke masa lalu. Ibu saya orang yang berpendirian teguh, dan mengajarkan anaknya untuk mandiri. Dulu zaman saya SD, waktu subuh ibu saya sudah bangun. Dia membuat gula merah, dituang ke batang pisang, lalu dibungkus batang pisang. Jadilah permen atau gula gula,” kenang dia.
Kemandirian juga masih lekat saat Salam sudah mengenyam bangku SMA di Kota Palopo. Kala itu dia menjadi loper koran Harian Tegas. Gaji bulanan dia bertambah saat mendapat komisi lebih dari pelanggan. Atau saat dia piawai menambah oplah penjualan koran ke hotel.
Jiwa nyentrik Salam memang sudah tumbuh sejak bujang. Lulus SMA lanjut kuliah di Makasar. “Macan Kampus” adalah julukan Salam saat itu. Soalnya, meski pendidikan Strata-1 rampung, dia tetap menjadi aktivis kampus.
Sosok salam saat itu adalah mahasiswa tak kenal takut. Prinsip dia; main senggol fisik ayo, tapi lari jangan.
Aliran bela diri Makassar Black Phanter dia ikuti selama enam tahun, dari 1984 hingga 1990. “Saya tidak kenal kata lari dan saya saat itu dipanggil macan kampus,” tukas dia.
Jadi anak kos, Salam tak tinggal diam. Penyiar radio Salam Jajali, sampai akhirnya dia berhasil mendirikan radio Suara Independen bersama kawan kampus. Program Gadis Lepas atau salam tempel lewat telepon menjadi andalan pendengar setia.
Kendati begitu, program paling disukai Salam adalah JJS, soalnya dia dapat mengutarakan perihal apapun, tanpa ada pakem teks sama sekali.
“Itu radio nonkemersial. Itu radio kampus. Saya termasuk pendiri radio tersebut dengan beberapa kawan. Hampir seluruh alumni kampus tahu. Saya penyiar radio yang ditunggu pendengar. Nick name (nama panggilan) saya di radio dulu Oleng Sebastian,” ujarnya tertawa.
Masa jaya Salam menjadi macan kampus usai. Dia harus menghadapi dunia nyata dan memutuskan kembali ke kampung halaman, ke Masamba. Ijazah kuliah dia gantung begitu saja. Soalnya Salam bingung apa yang harus diperbuat di kampung halaman. Mau menjadi petani, Salam tak akrab dengan cangkul atau pacul.
“Setelah selesai saya pulang kampung. Mau kerja apa? Saya bingung karena saya enggak bisa bertani,” tutur dia.
Ikut jejak sang ayah menjadi TNI adalah pilihan menggiurkan saat itu. Sayangnya, Salam ikut tes di Makasar, tapi gagal. Berlanjut lagi ikut tes ke Balikpapan hasilnya nol besar. Salam mengubur dalam harapan menjadi sang bela negara, dan terpaksa terdampar di Kota Beriman sejak 1992.
Sisa-sisa hidup Salam bisa terajut berkat menjual seluruh kaset kesayangannya. Totalnya 100 kaset. Per kaset Rp 1.000.
“Karena saya dulu bekas penyiar dan suka mengoleksi kaset, saya bawa koleksi saya satu koper. Awalnya saya mikir, siapa tahu saya mendapat tempat siaran. Nah di Balikpapan sekian lama saya tidak dapat kerja, akhirnya saya jual kaset sampai habis untuk menyambung hidup,” cerita dia.
Kasihan nasib Salam. Sarjana segar ini ditolak kerja karena nihil pengalaman. Lowongan sana-sini enggan membuka pintu bagi tenaga Salam. Supaya tetap bisa hidup, dia menjadi pemecah batu kerikil, di Desa Kampung Baru Balikpapan. Mendapat upah Rp 25 ribu per kubik.
“Untungnya hanya sebulan saja. Karena sebulan kemudian, saya dipanggil teman bekerja Tanah Grogot. Saya waktu itu bekerja di batu bara, perusahaan milik orang Korea,” lanjut Salam mengenang nasibnya pada tahun 1993 silam.
Masih di tahun sama, Salam terpanggil hijrah ke Kota Taman. Kebetulan, salah satu media koran Manuntung (Kaltim Post saat itu) membutuhkan seorang wartawan. Jiwa penulis memang tidak ada dalam diri Salam.
Kendati begitu, jiwa kritis dan kemampuan bercerita jadi modal pamungkas. Kalau soal tulis-menulis, Salam sering meniru koran-koran sebelumnya.
Kepiawaian Salam bercerita dituangkan lewat media tulis, Manuntung. Sebuah kejadian besar membuat oplah koran menanjak, yakni ketika kebakaran sebuah rumah menewaskan lima orang penghuninya. Kepiawaian dia merangkai kata dan melempar isu membuat kariernya menanjak.
“Pak Rizal, pimpinan koran saat itu sangat senang. Karena saya mampu memberikan tulisan-tulisan yang mengangkat oplah,” tutur dia.
Siapa sangka, menjadi kuli tinta autodidak, setahun kemudian Salam diangkat menjadi karyawan atau wartawan tetap. Kemudian dirinya mendapat kesempatan belajar jurnalistik ke Tenggarong.
Konsisten, Salam dikirim belajar langsung tentang media di Jawa Pos, Surabaya, medio 1999. Menginjakkan kaki di Istana Negara juga pernah. Khususnya saat mendapat mandat meliput setengah abad usia kemerdekaan NKRI.
Jadi wartawan memang harus lihai dan luas jaringan. Politikus sudah menjadi kawan dekat Salam. Saat itu isu politik dan kegiatan Partai Beringin juga tak luput dari tulisan Salam. Sampai akhirnya dia dipinang oleh partai beringin agar menjadi salah satu calon legistalif (caleg), medio 2004.
Lagi-lagi perjalanan Salam menjadi politikus tak berakhir mulus. Padahal dia sudah mengantongi izin dari pimpinan Manuntung.
“Saya pamit dan sudah mendapat izin pimpinan Manuntung. Alhamdulillah gagal, karena menggunakan sistem nomor urut, dan nomor urut saya jauh. Sejak itu saya tanamkan, pencalonan nanti saya harus sukses,” tutur dia.
Salam kembali maju menjadi caleg menggunakan perahu Golkar medio 2009. Modal ngepas dan mendapat sokongan dana Andi Sofyan Hasdam. Uang itu Salam gunakan untuk membuat kalender. Kalender dia pakai sebagai suvenir, mengenalkan diri sekaligus pemaparan visi-misi pada warga.
Pemilihan kedua, Salam menang! Mendapat suara terbanyak di Bontang Selatan saat itu. Berlanjut pada 2014, dirinya bertahan dengan perolehan suara terbanyak kedua.
Menjadi legislator dan mengecap dunia politik tak pernah ada dalam benak. Justru dari kecil Salam ingin menjadi seorang pengacara. Kendati begitu, dia menganggap politik adalah salah satu jalan, yang membuat dia masuk sebagai salah seorang penentu arah pembangunan Bontang.
“Saya ingin ikut pemerintah menentukan perjalanan kota ini. Waktu wartawan, saya memberi pandangan lewat tulisan, tidak bisa mengarahkan. Saya ingin terlibat dengan pemerintah membangun kota ini menjadi apa selanjutnya. Saya ingin jadi pelaku, tidak hanya penonton,” tutur dia saat ditanya perbedaan menjadi wartawan-dewan.
Bagi Salam, politik adalah profesi mulia. Yang harus dijalani penuh kejujuran. Meski dunia politik terkenal kejam, dia punya prinsip tak main sikut, enggan mengganggu orang lain.
“Memang orang tua menanamkan kejujuran. Dan orang tua berpesan agar jangan mengganggu orang atau lari dari masalah. Kalau ada masalah harus dihadapi,” tutup dia. (*/gun)
Nama: Drs H Nursalam
TTL: Palopo, 20 Oktober 1964
Cita-cita: Pengacara
Jabatan: Ketua DPRD Bontang
Nama Orang Tua: H Muslim (ayah) dan Hj Halijah (ibu)
Status dalam keluarga: anak keempat dari enam saudara
Istri: Yusnita
Moto: Jangan menangis bila dihina, lekas bangun bila jatuh
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post