bontangpost.id – Polemik terkait status calon legislatif (caleg) terpilih yang maju dalam Pilkada 2024 akhirnya tuntas. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan bahwa caleg terpilih yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2024 harus mundur. Hal itu disepakati dalam rapat konsultasi rancangan Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan Pilkada di Komisi II DPR, Jakarta, Rabu (15/5).
Hadir dalam rapat itu pimpinan KPU, pimpinan Bawaslu, pimpinan DKPP, dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri. Dengan keputusan itu, rencana sebelumnya dipastikan berubah. Pekan lalu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari sempat merencanakan caleg terpilih yang maju pilkada hanya diwajibkan menyerahkan surat bersedia mundur pasca dilantik sebagai anggota DPR. Kemudian, pelantikan dimungkinkan digelar usai hasil pilkada diketahui.
Formula itu menuai kritik karena dianggap mengakali hukum untuk mengakomodir calon pilkada yang kalah agar tetap bisa dilantik sebagai anggota legislatif. Dalam penjelasannya di DPR, Hasyim mengatakan, kewajiban mundur usai ditetapkan sebagai calon kepala daerah perlu diterapkan untuk memberikan kejelasan. Termasuk kepastian status.
“Jadi jelas jalur yang ditempuh, apakah menjadi calon kepala daerah atau jadi anggota DPR, DPD,” ujarnya.
Disinggung soal sikapnya yang terkesan tidak konsisten, Hasyim beralasan, setiap rumusan norma hukum terbuka ruang diskusi. Jika dalam diskusi ditemukan implikasi dari penerapan norma yang tidak sesuai, maka ada ruang penyesuaian.
Sesuai tahapan, pendaftaran Pilkada 2024 digelar pada 27-29 Agustus 2024. Kemudian, penetapan calon pada 22 September 2024. Nah, begitu ditetapkan sebagai calon pilkada, yang bersangkutan wajib mundur sebagai caleg terpilih.
Dokumen pernyataan mundur harus disampaikan lima hari usai penetapan, atau pada 27 September. Surat itu kemudian menjadi basis bagi KPU untuk mengubah surat keputusan terkait caleg terpilih.
“Tinggal menunggu partai, siapa yang diusulkan sebagai calon terpilih,” imbuhnya. Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyentil Hasyim untuk hati-hati dalam memberi pernyataan. Jangan sampai KPU menyampaikan sikap yang memicu polemik.
Sebab, sebagai pelaksana UU, tugas KPU melaksanakan ketentuan UU. “Kami juga kemarin sudah menegur,” ujarnya.
Doli mengatakan, untuk menghindari polemik, norma dalam Peraturan KPU (PKPU) harus sejalan dengan ketentuan. Jika ada pihak-pihak yang berkeinginan berbeda, dia menilai ruang itu bisa diusulkan dalam revisi UU Pemilu ke depannya.
Ketua DKPP Heddy Lugito meminta penyusunan PKPU harus jelas. Dengan begitu, tidak memicu multitafsir. Belajar dari pengalaman Pemilu 2024 lalu, ketidakjelasan memicu multitafsir yang bisa bermasalah.
“Akhirnya berujung pada pengaduan ke DKPP,” ujarnya. Selain regulasi, KPU harus membuat pedoman pelaksanaan yang mudah dipahami.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dibatalkannya rencana yang disusun KPU menjadi bukti bahwa ada tindakan yang bermasalah.
“Tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pemilu yang harus akuntabel, profesional, tertib, dan berkepastian hukum,” ujarnya. Apalagi, pernyataan Ketua KPU yang belum menjadi sikap resmi lembaga telah mengakibatkan kegaduhan dan keresahan di tengah masyarakat.
Baginya, itu masuk kategori melanggar kode etik. “Mestinya, KPU tidak melakukan tindakan yang memicu kontroversi, spekulasi, dan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat,” imbuhnya.
Sementara itu, DPR kemarin melakukan evaluasi pelaksanaan Pemilu 2024. Dalam kesempatan itu, mayoritas anggota sepakat diperlukannya revisi Undang-Undang Pemilu. Berbagai persoalan disoroti. Mulai dari kecurangan, kelemahan sistem pemilu, hingga persoalan teknis coblosan.
Anggota Komisi II Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengusulkan pelaksanaan pemilu serentak dievaluasi. Dia menginginkan di 2029 pilpres tidak digabungkan dengan pileg. Usulan itu bukan tanpa alasan. Selain meringankan secara teknis, pemisahan juga baik untuk meningkatkan kualitas pileg.
“Biar pileg-nya enggak tertutup sama pilpres,” ujarnya. Jika dipisahkan, publik akan punya ruang untuk menilai partai. Misalnya dengan menggelar debat antar caleg atau debat antar-partai.
Anggota Komisi II dari Fraksi Demokrat Ongku Hasibuan menyoroti integritas penyelenggara. Di berbagai daerah, dia mengaku menemukan indikasi keberpihakan. Ke depan, Ongku mengusulkan KPU dan Bawaslu berasal dari perwakilan partai politik agar saling mengawasi.
“Karena independen itu cerita kosong, pelaksanaan di lapangan, karena juga dia ada kaitan-kaitan dengan organisasi tertentu yang terafiliasi,” ujarnya. (far/oni/jpg/riz/k15)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post