SAMARINDA – Kehadiran PT Kencana Wilsa yang ingin melakukan penambangan batu bara di Gunung Layung, Kabupaten Kutai Barat (Kubar) mendapat penolakan keras dari masyarakat adat setempat. Pasalnya, penambangan gunung yang dikelilingi enam kampung tersebut dapat mengancam permukiman dan pertanian masyarakat setempat.
Ketua Badan Permusyawaratan Kampung Ongko Asa, Kecamatan Barong Tongkoq, Kabupaten Kubar, Markus mengaku, selain kampung Ongko Asa, ada lima kampung lain yang akan terancam apabila perusahaan tersebut diberikan izin operasional oleh pemerintah daerah.
Antara lain Muara Asa, Gleo Asa, Jua Asa, dan Petas Asa. Sejumlah kampung tersebut berada di dataran yang mengelilingi Gunung Layung. Jika gunung tersebut ditambang, maka seluruh permukiman warga akan terancam rusak kemudian dipindah.
“Begitu juga dengan pertanian masyarakat akan dirusak perusahaan. Padahal Gunung Layung itu sumber kehidupan masyarakat. Di sana sumber mata air, pertanian, dan perkebunan warga,” ucapnya dalam jumpa pers, Selasa (12/6) kemarin.
Selain itu, Gunung Layung merupakan jantung Kabupaten Kubar. Sebab satu-satunya hutan yang masih terpelihara keasriannya hanya di areal tersebut. Karenanya, apabila perusahaan tetap diizinkan untuk beroperasi, sama saja pemerintah mengorbankan jantung daerah.
“Kami mengambil air bersih dari gunung itu. Air di situ menjadi sumber kehidupan masyarakat Ongko Asa yang dipergunakan sehari-sehari. Kalau perusahaan masih tetap beroperasi, maka mata air terancam hilang,” tegasnya.
Dampak terburuk yang akan ditimbulkan dari aktivitas perusahaan tersebut yakni munculnya konflik horizontal antar masyarakat setempat. Pasalnya, keenam kampung belum memiliki tapal batas wilayah.
“Konflik antar masyarakat akan terjadi. Itu tidak dapat dihindarkan jika perusahaan tetap diizinkan beroperasi. Kemudian perusahaan akan merusak hutan lindung Kampung Ongko Asa yang sudah dijaga turun temurun,” ungkapnya.
Kemudian lahan yang dipatok perusahaan untuk eksploitasi batu bara masih tergolong lahan produktif. Di lahan ribuan hektare tersebut, masyarakat adat setempat bertani, mencari penghidupan dari generasi ke generasi.
Sejatinya pada 2010 lalu, PT Kencana Wilsa pernah melakukan sosialisasi dan pengeboran di wilayah yang luasnya lima ribu hektare tersebut. Namun ditolak warga. Akibatnya, perusahaan diberikan sanksi adat.
“Waktu itu sanksinya uang Rp 400 ribu. Perusahaan membayar denda itu. Kemudian perusahaan tidak pernah lagi datang ke sana. Baru tahun ini mereka kembali melakukan pertemuan dengan pemerintah dan konsultan untuk sosialisasi Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Red.),” ujarnya.
Pengkajian ulang Amdal tersebut dinilai untuk menghidupkan kembali izin lingkungan perusahaan. Tetapi sebagaimana sikap awal tokoh masyarakat pada tujuh tahun lalu, masyarakat tetap menolak kehadiran perusahan yang ingin menggali batu bara di daerah tersebut.
“Kami menduga ada upaya peremajaan Amdal yang ingin dilakukan perusahaan. Maka dari sekarang, sampai kapan pun kehadiran perusahaan akan kami tolak,” tutupnya.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang mengaku sependapat dengan masyarakat di enam kampung tersebut. Pasalnya, kehadiran tambang akan mengancam keselamatan rakyat.
“Tambang sudah pasti tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah dituntut untuk membuka mata dan pikiran. Biarkan masyarakat di enam kampung itu hidup dengan pertanian dan alam yang terpelihara dengan baik,” tegasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post