ADDIS ABABA – Otoritas Ethiopia baru saja menjabarkan hasil investigasi awal terkait penyebab kecelakaan penerbangan Ethiopian Airlines 302. Rilis tersebut kembali menyudutkan produsen pesawat Boeing. Bahkan, Federal Aviation Administration (FAA), otoritas keselamatan penerbangan yang terkenal paling ketat sedunia, ikut terseret dalam kasus tersebut.
Menteri Tranportasi Ethiopia Dagmawit Moges memberi sinyal bahwa tidak ada human error dalam insiden tersebut. Menurut data penerbangan dan rekaman suara yang ditemukan di bangkai pesawat berkode ET-AVJ tersebut, pilot dipastikan sudah bertindak benar. ”Semua awak sudah bertindak sesuai prosedur pabrikan,” ujarnya seperti dilansir AFP.
Menurut Associated Press, pilot sudah memutuskan sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) saat gangguan terasa kali pertama. MCAS merupakan sistem keselamatan yang akan menurunkan moncong pesawat jika anggle of attack (sudut moncong pesawat, Red) dinilai terlalu tinggi.
Namun, langkah mematikan fitur MCAS itu gagal. Pesawat masih berkali-kali menukik. Di saat-saat terakhir, pilot akhirnya menghidupkan lagi sistem tersebut. ”Pilot beberapa kali mematikan dan menghidupkan MCAS. Soal beberapa kali, semua akan diungkapkan pada laporan terakhir,” ujar Moges kepada New York Times seusai konfrensi pers.
Pemerintah Ethiopia terkesan sangat hati-hati. Mereka tak menyebutkan kerusakan sensor atau perangkat pesawat. Mereka hanya menyebutkan bahwa moncong pesawat berkali-kali turun. Mereka hanya meminta agar sistem kontrol penerbangan bisa dievaluasi kembali oleh Boeing. ”Kami butuh satu tahun untuk menganalisa seluruh permasalahan,” ujar Amdiye Ayalew, kepala tim investigasi kasus Ethiopian Airlines.
CEO Ethiopian Airlines Tewolde GebreMariam menyambut baik laporan tersebut. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa pilot Yared Getachew dan kopilot Ahmed Nur Mohammod Nur tak bersalah. ”Kami bangga menyatakan bahwa pilot kami mengikuti prosedur secara profesional. Sayangnya, upaya itu tak bisa mengubah arah pesawat yang terus menukik,” ungkapnya.
Pihak Boeing masih menolak memberikan komentar karena dokumen laporan belum muncul. Memang, Kementerian Tranportasi Ethiopia belum merilis dokumen hasil investigasi awal meski sudah menjabarkannya dalam konferensi pers. Namun, hal itu tak mencegah banyak pengamat menekan raksasa industri aviasi tersebut.
”Yang spesial adalah dua kasus (Ethiopian Airlines dan Lion Air, Red) punya penyebab serupa. Pertanyaannya, apakah Boeing harusnya dihukum setelah jatuhnya Lion Air dan sebelum kecelakaan Ethiopien Airlines,” ujar pakar penerbangan David Hasse.
Oktober tahun lalu, pesawat Lion Air JT-610 jatuh di laut Jawa 12 menit setelah bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta. Total 189 jiwa di dalam pesawat meninggal sebelum sampai tujuan di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang. Lima bulan kemudian, Penerbangan Ethiopian Airlines 320 dengan pesawat yang sama, Boeing 737-Max 8, jatuh enam menit setelah lepas landas. ”Jika pilot duduk di kokpit dan mengikuti semua aturan pabrik, harusnya mereka merasa aman karena melakukan semua dengan benar,” imbuh Hasse.
Tekanan tersebut jelas mempengaruhi kinerja Boeing. Apalagi, menurut CNN, Boeing bakal melalui serangkaian kegiatan penting bulan ini. Pada 9 April, mereka akan melaporkan jumlah armada yang diantar dan pesanan pesawat. 24 April, mereka akan mengumumkan laporan keuangan kuartal pertama 2019. Lalu, pada 29 April, eksekutif Boeing bertemu pemegang saham dalam rapat tahunan.
Analis aviasi Cai von Rumohr memperkirakan Boeing sudah menghabiskan USD 2 miliar (Rp 28 triliun) sebagai bentuk kompensasi kepada maskapai. Kompensasi itu terus bertambah semakin lama pesawat mereka dilarang terbang.
Parahnya, reputasi FAA ikut jatuh akibat kasus tersebut. Banyak yang mempertanyakan kenapa FAA tak menghukum Boeing pasca kecelakaan Lion Air. Bahkan, dalam kecelakaan kedua, FAA menjadi lembaga terakhir yang melarang 737-Max 8 mengudara.
Pakar penerbangan Maru Schiavo mengatakan, FAA harusnya sejak awal menggagalkan sertifikat laik terbang bagi pesawat seri tersebut. ”FAA akhirnya menghancurkan citra hebat mereka sendiri,” paparnya. Dia menjelaskan, standar keamanan ideal harusnya memiliki tiga tolok ukur. Sehingga, jika salah satu tolok ukur rusak, masih ada dua yang mencegah sistem malfungsi. ”Kenapa tidak sejak awal menempatkan dua atau lebih sensor dalam unit mereka? Dan kenapa FAA setuju saja?” tanyanya. (bil/oni/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post