BATAS kecepatan maksimal di Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) ditetapkan 80 kilometer per jam. Ambang batas laju kendaraan di tol pertama di Kalimantan ini, dinilai berbeda dengan jalan bebas hambatan lainnya. Padahal, dalam regulasi telah diatur batas kecepatan maksimal kendaraan di jalan bebas hambatan adalah 100 km per jam.
Sementara batas kecepatan kendaraan di jalan raya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian diperkuat oleh Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan. Kedua regulasi itu menerangkan, kecepatan paling rendah di tol adalah 60 km per jam dalam kondisi arus bebas.
Lalu paling tinggi 100 km per jam untuk jalan bebas hambatan. Yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Kecepatan maksimum yang diizinkan untuk kendaraan bermotor dibedakan oleh kelas jalan. “Jadi di Tol Balsam ditetapkan 80 km per jam,” kata Endang Sabarudin, Project Manager Officer Tol Balsam saat dihubungi Kaltim Post.
Dia menerangkan, penetapan batas kecepatan itu untuk mencegah kejadian dan fatalitas kecelakaan. Serta mempertahankan mobilitas lalu lintas. Menurutnya, penetapan batas kecepatan ditetapkan secara nasional. Selanjutnya, dinyatakan dengan rambu lalu lintas. Batas kecepatan paling tinggi dapat ditetapkan lebih rendah atas dasar pertimbangan beberapa pertimbangan.
Yaitu, frekuensi kecelakaan yang tinggi di lingkungan jalan yang bersangkutan, perubahan kondisi permukaan jalan, geometri jalan, lingkungan sekitar jalan dan usulan masyarakat melalui rapat forum lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan tingkatan status jalan. “Waktu uji laik fungsi ‘kan dinilai juga batas kecepatan oleh Kemenhub. Dan ditetapkan melalui Permenhub untuk laik fungsinya,” jelas dia.
Pria yang pernah menjabat Deputi General Manager Tol Collection Management PT Jasa Marga ini mengungkapkan, kontur Tol Balsam serupa dengan Tol Cipularang (Cikampek–Purwakarta–Padalarang) yang menghubungkan kabupaten Purwakarta dan Bandung. Kontur jalannya, sambung dia, menanjak, menurun dan berkelok. Sehingga kecepatan kendaraan yang melintas dibatasi hingga 80 km per jam.
Tujuannya, demi keselamatan pengendara. Karena jika menetapkan batas maksimal kecepatan yang mengacu pada regulasi tersebut, kecelakaan dikhawatirkan bisa semakin banyak. “Kalau tidak dibatasi seperti itu, nanti seperti Tol Cipularang. Ada kendaraan yang terbang dan menabrak pembatas jalan,” katanya.
Guna memantau kecepatan maksimal yang diharuskan di Tol Balsam, operator akan memasang speed gun untuk mengetahui kecepatan kendaraan yang melintas. Rencana lainnya memasang smart closed circuit television (CCTV) untuk mendeteksi kecepatan kendaraan melalui kamera pengawas.
“Tapi untuk sementara ini belum kami lakukan. Karena masih perlu evaluasi dulu. Dengan melihat daerah blind spot, yang rawan kecelakaan di ruas tol,” ucapnya. Dirinya menyatakan, kendala pemasangan smart CCTV adalah masalah ketersediaan listrik. Tol Balsam Seksi Samboja-Palaran hingga saat ini masih belum sepenuhnya teraliri listrik.
Untuk pengadaan listrik di kawasan tersebut, membutuhkan biaya yang cukup besar. Sehingga yang memungkinkan dipasang dalam waktu dekat adalah speed gun. Karena pemasangan listrik dinilai lebih mahal ketimbang pemasangan smart CCTV. “Jadi kendaraan yang melintas akan direkam kecepatan. Jika melebihi kecepatan maksimal akan dilaporkan ke pihak kepolisian untuk diberikan sanksi tilang,” tegas dia.
Lanjut dia, pihak PLN menyatakan siap memenuhi pemasangan instalasi listrik. Namun, untuk biaya pemasangan dibebankan kepada pihak operator. “Kami belum menghitungnya (nilai pemasangan listrik), tapi biasanya memang cukup mahal. Berbeda dengan (pemasangan listrik) di gerbang tol. Yang dekat dengan jalan utama,” ungkap Endang.
Sementara itu, pengamat transportasi Universitas Balikpapan (Uniba) Rahmat Rusli mengatakan, kecepatan maksimal yang ditetapkan sebesar 80 km per jam di Tol Balsam dinilai sudah tepat. Apalagi menurut informasi yang dia terima dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), ada sebanyak 59 tikungan pada ruas jalan sepanjang 99,3 kilometer itu.
Selain itu, ada kontur jalan menanjak yang belum dihitung jumlahnya. “Kalau melewati tol, diharapkan aman, nyaman dan lancar. Kalau mau laju-laju, sebaiknya di jalan biasa aja. Jangan di tol,” katanya.
Dia menuturkan, pengaruh lainnya adalah jarak pandang. Menurut informasi yang dia terima, jarak pandang berkisar 250-300 meter. Dengan jarak pandang demikian, akan berpengaruh pada tikungan yang ada di depannya.
Sehingga ditetapkan batas kecepatan hanya 80 km per jam. Mempertimbangkan keselamatan pengendara yang melintas. Sehingga Rahmat menyarankan alat pendeteksi kecepatan bisa ditempatkan pada tikungan yang menyebabkan sentrifugal yang cukup berbahaya.
“Mungkin sebelum 200 meter dari titik sentrifugal itu. Jadi bukan semua titik tikungan ditempatkan,” pesan dia. Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Uniba ini pun mengimbau, agar masyarakat mengubah pandangan terhadap tol. Dengan kontur yang tidak rata, menanjak dan berkelok maka masyarakat perlu berhati-hati.
Jangan mengutamakan kecepatan, dengan pertimbangan mampu memangkas waktu tempuh antara Balikpapan dan Samarinda. Dari awalnya sekira 150 kilometer melalui jalan provinsi menjadi 99,3 kilometer melalui tol. “Ini salah pendapat ini. Kalau mau masuk jalan tol jangan pikiran cepat sampai. Seharusnya berpikiran masuk jalan tol, aman, lancar dan nyaman,” tukas Rahmat. (kip/riz/k15/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post