Oleh:
Nurul Inayah, SEI
Tenaga Kontrak Kementerian Agama Kota Bontang
Istilah Jahiliah zaman now (jahiliah modern) atau ‘Neo-Jahiliah’ pertama kali dipopulerkan oleh pemikir Islam asal Pakistan Abul A’la al-Maududi (1903-1979). Neo jahiliah digambarkan sebagai kondisi modernitas dengan nilai, gaya hidup dan norma yang tidak sesuai dengan Islam[1].
Para ahli sejarah berbeda-beda pendapat dalam menggunakan makna jahiliah. Kadang-kadang mereka menggunakan kata jahiliah untuk menyebutkan hâl (keadaan), yakni sifat-sifat buruk yang ada sebelum Islam datang. Kadang-kadang mereka menggunakan kata ini untuk menyebut zaman yang memiliki sifat-sifat buruk tersebut. Syaikh Muhammad Quthub contohnya, lebih menyatakan bahwa istilah jahiliah lebih tepat untuk menyatakan hâl, bukan rentang masa tertentu, beliau menyatakan: Dengan demikian jahiliah adalah kondisi sikap jiwa yang menolak berpedoman dengan petunjuk Allah dan membuat sistem peraturan yang menolak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan (Muhammad Quthub, Jahiliyyah al-Qarn al-‘Isyrin, hlm.8).
Dengan demikian, istilah jahiliah tidak disematkan pada suatu masa secara mutlak dan umum. Istilah ini bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Islam baik realitas berupa akidah, sistem hukum dan perilaku, maupun ikatan.
Jahiliah sejatinya tidak sepenuhnya bermakna bodoh atau tidak berilmu. Islamolog Hungaria, Ignac Goldziher (1901), dengan penelitian dalam syair dan budaya jahiliah pra Islam, sampai pada kesimpulan bahwa jahl adalah lawan hilm (akal/logika), bukan ‘ilm (ilmu/pengetahuan). Dengan demikian era jahiliah bukan berarti era kebodohan dan ketidaktahuan, namun era barbarisme dan kepongahan juga mencakup kekerasan, tirani, egoisme dan semisalnya.
Kondisi kehidupan saat ini baik dari segi aspek akidah/ideologi, sosial, ekonomi maupun politik, memuja ideologi Kapitalisme sekuler yang mirip dengan kondisi era jahiliah sebelum Rasulullah diutus. Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan, nabi palsu dan ragam aliran sesat terus bermunculan. Dari sisi sosial, kebejatan perilaku (maraknya perzinaan, LGBT, paedofilia, aborsi, pornografi, dll), tindakan kriminal (pencurian, begal, korupsi, mutilasi, perjudian, narkoba dll) terus menyeruak. Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi. Pada APBN 2017 ini saja anggaran pokok dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah mencapai Rp 296 triliun. Dibidang politik, negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, juga tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai objek penjajahan. Sumberdaya alam kita menjadi jarahan bangsa-bangsa asing. Di Indonesia, PT Freeport di Bumi Papua yang menjarah 1,7 miliar ton emas dan mineral hanyalah salah satu contoh saja.
Dalam bidang hukum, lebih buruk lagi. Hukum ibarat pisau; tajam ke bawah, tumpul ke atas. Konsepsi dan praktik hukum amat sadis kepada orang bawah, orang miskin yang tidak berdaya. Sebaliknya, sangat lunak dan loyal kepada orang atas, pejabat dan orang kaya. Contohnya, pada tahun 2011 lalu, kita digemparkan dengan kasus penggelapan pajak oleh Gayus Tambunan setidaknya Rp 74 miliar. Walaupun Gayus sudah dinyatakan bersalah dan dihukum 29 tahun penjara, ia masih bisa berkeliaraan bebas, bertamasya, menonton pertandingan tenis di Bali, menonton balap mobil di Kuala Lumpur dan Singapura serta makan enak di restoran mewah. Gayus membuktikan prinsip penting Kapitalisme: uang bisa membeli segalanya. Prinsip ini melahirkan realita “pada uang hukum bersujud” yang melumpuhkan pilar-pilar hukum mulai dari polisi, jaksa hingga hakim. Dengan kekuatan uang pula, seorang terpidana kasus kriminal di Bojonegoro, Jawa Timur, bernama Hasmono dengan mudahnya membayar seluruh otoritasi hukum supaya bisa digantikan masuk bui. Di negeri ini pula, terdakwa korupsi yang mendekam di Penjara Cipinang, Jefferson Rumajar, dilantik sebagai Wali Kota Tomohan, Sulawesi Utara. Sang walikota dengan gagah tanpa malu melantik pejabat bawahannya.
Sistem jahiliah modern Kapitalisme sekuler dan Komunisme ateis telah membawa cacat genetik sejak awal yang hanya mendasarkan pada rasionalisme dan hawa nafsu. Hal ini sangat berbahaya. Pertama; dapat mengakibatkan Muslim salah-paham atau menjadi sesat dalam memandang kehidupan. Kedua; umat Islam akan dapat terjerumus kedalam berbagai kemaksiatan dan dosa, baik melakukan keharaman maupun meninggalkan kewajiban. Membolehkan riba misalnya, telah menjerumuskan berjuta-juta umat Islam ke dalam dosa besar riba.
Adapun ideologi Islam mendasarkan pada akal yang dipandu oleh kebenaran wahyu. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki kesempurnaan sistem aturan disemua aspek kehidupan manusia yang berasal dari Allah Sang Maha Sempurna. Islam mengedepankan konsep keberkahan dan pemberdayaan dalam sistem ekonominya. Ada prinsip halal dan haram. Serta harus dikelola oleh pelaku ekonomi yang jujur, amanah dan professional.
Ibarat air dan minyak, Islam dan jahiliah tidak akan pernah bisa menyatu dan hidup rukun berdampingan. Islam tetaplah Islam, yang tidak boleh tercampur dengan kejahiliahan. Begitupun sebaliknya. Hanya ada satu penyelesaiannya, Islam yang menang dan jahiliah yang hancur. Atau sebaliknya. Tidak ada penyelesaian yang setengah-setengah. Setengah Islam dan setengah jahiliah. Karena itu seruan untuk kembali pada penerapan syariah Islam secara kaffah mestinya dapat pula dibaca sebagai wujud kecintaan pada negeri ini. Tidak ada perkataan yang lebih baik dari menyeru kepada Allah SWT. Lalu pantas, logis dan cukup waraskah jika tetap menyerukan kepada sistem jahiliah?
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS al-Maidah:50]
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sumber: Majalah Tsaqafia
[1] Abdilla Doumato (rev. Byron D. Cannon) (2009). “Jahiliyyah”. In John L. Espocito. The Oxford Encyclopedia of the Islamic World. Oxford University Press
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: