SAMARINDA – Alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan dan pertambangan di Kaltim sudah menjadi persoalan serius yang patut menjadi perhatian pemerintah daerah. Pasalnya, pada 2018 lahan pertanian yang masih difungsikan petani hanya tersisa satu persen dari luas wilayah Benua Etam.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, luas sawah di Kaltim hanya tersisa 62.062 hektare. Dengan rincian 13.225 hektare untuk irigasi dan 48.837 hektare untuk nonirigasi.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, Fathur Roziqin Fen mencatat, di daerah kaya sumber daya alam (SDA) ini, data 2017 menunjukkan terdapat 1.404 izin pertambangan. Terdiri dari 665 izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi, 560 IUP operasi produksi, dan 168 izin kuasa pertambangan.
“Kemudian 11 IUP penanaman modal asing dengan total luasan mencapai 5,2 juta hektare. Ditambah luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai 1.208.697 hektare,” ungkapnya, Senin (24/9) kemarin.
Luasnya lahan yang dikuasai perkebunan dan pertambangan tersebut sebagai penanda kian menipisnya sawah yang dikelola petani. Dia mencontohkan, di Sungai Nangka, Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Sekira dua ribu hektare lahan milik enam kelompok petani yang bergabung dalam Koalisi Nelayan dan Petani Tolak Mafia Sawit dan Tambang dikuasai perusahaan kebun sawit PT Perkebunan Kaltim Utama (PKU).
“Dari salinan HGU (hak guna usaha, Red.) PT PKU, luas HGU perusahaan ialah 8.633,89 hektare. Itu terbentang luas di Kecamatan Muara Jawa, Sangasanga, dan Loa Janan,” bebernya.
Ke depan, kata Fathur, kedaulatan di bidang pertanian akan sulit terwujud apabila pemerintah daerah terus membiarkan alif fungsi lahan pertanian tersebut.
“WALHI Kaltim menyerukan agar tata kelola ruang hidup di Kaltim harus berpihak dan untuk kepentingan rakyat. Bukan korporasi. Penegakan reforma agraria sejati harus diwujudkan,” imbuhnya.
Dia mengapresiasi langkah pemerintah pusat yang menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit.
“Ini momen yang tepat bagi pemerintah daerah menindaklanjuti inpres moratorium tersebut. Kami tunggu langkah-langkahnya. Selain mengevaluasi perizinan, kami juga mendorong upaya penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi,” tukasnya.
Inpres tersebut menandai adanya penataan ulang perkebunan kelapa sawit. Hal itu menjadi tantangan bagi Gubernur Kaltim terpilih Isran Noor dan Hadi Mulyadi.
“Langkah ini harus dilanjutkan dengan penegasan sikap pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menolak membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perkebunan Kelapa Sawit,” imbuh Fathur.
Dia menekankan, produktivitas perkebunan sawit harus diarahkan pada upaya memberikan dukungan terhadap petani sawit. Dalam jangka panjang, idealnya moratorium ini dilakukan dalam kurun waktu 25 tahun.
“Inpres tersebut juga diharapkan sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menjawab persoalan ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan agraria,” harapnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post