Oleh:
Yusi Wulandari
Ibu Rumah Tangga
Agustus, bulan sakral bagi bangsa Indonesia. Karena di bulan tersebut, tepatnya tanggal 17 agustus 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Kini sudah 73 tahun Indonesia merdeka. Idealnya bangsa ini sudah bisa meraih tujuan dari kemerdekaan yaitu menjadikan rakyatnya sejahtera. Apalagi potensi alam negeri ini luar biasa melimpah. Kekayaan memancar dari perut buminya. Seperti minyak bumi, gas, batu bara, emas, dll. Dan tersemai luas di atas permukaannya tentu mampu menjadikan bangsa ini makmur.
Sayang, faktanya tidaklah demikian. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kerusakan moral, kejahatan dan keterbelakangan senantiasa menghantui negeri ini. Rakyat tak lagi mencintai pemimpinnya, dan pemimpin terus mengkhianati rakyatnya. Cita-cita kemerdekaan yaitu membawa rakyat ke arah yang lebih baik dengan menjadikannya sejahtera, adil dan makmur seolah hanya menjadi khayalan yang tak mungkin terwujud.
Meskipun data Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penduduk miskin mengalami penurunan per Maret 2018 sebesar 633.000 menjadi 25,95 juta dari kondisi 2017 yang sebesar 26,58 juta.(detik.com, 17/7/1018). Namun jumlah orang miskin yang mencapai 20 juta jiwa masih tergolong banyak, dan ini baru sebatas hitung-hitungan di atas kertas (perkiraan). Masih dipertanyakan apakah semua rakyat sudah terdata atau belum. Apalagi standar kemiskinan sebesar 401.220/orang/bulan ini dihitung berdasarkan kebutuhan kalori manusia itu sendiri. Padahal kebutuhan pokok manusia tidak hanya kebutuhan kalori saja, tetapi juga kebutuhan protein, lemak, vitamin dan kebutuhan pangan lainnya. Selain kebutuhan pangan, ada kebutuhan pokok yang lain yaitu sandang dan papan. Belum termasuk kebutuhan kesehatan, pendidikan, keamanan yang merupakan kebutuhan mendasar.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2018 mencapai 5,13 % atau 6,87 juta orang. (Sindonews.com, 7/5/2018). Ini belum termasuk pekerja dengan penghasilan minim dan pekerja dengan jumlah jam kerja di bawah standar tidak dianggap sebagai pengangguran. Hal ini menandakan angka pengangguran juga masih tinggi. Ditambah lagi mereka harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang menyerbu negeri ini.
Negeri inipun masih dibelenggu kebodohan. Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar dari keluarga miskin, sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. (CNNIndonesia, 17/2/2018)
Rakyatpun masih harus dihadapkan dengan harga-harga kebutuhan pokok yang meroket tak terkendali. Biaya hidup yang berat, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan lain-lain membuat rakyat semakin tercekik. Rakyat yang berharap pemerintahnya bisa melepaskan mereka dari beban hidup yang dihadapi terpaksa harus gigit jari. Solusi-solusi yang ditawarkan tidaklah menjawab kegundahan rakyat. Ketika harga cabe melambung solusinya rakyat diminta untuk menanam sendiri, harga beras merangkak naik diberi solusi untuk diet, harga daging nanjak diberi solusi beralih ke keong sawah. Akhirnya rakyat hanya bisa menahan kekecewaan atas solusi yang ditawarkan.
Secara fisik bangsa Indonesia memang sudah tidak dijajah. Namun secara ekonomi, politik, sosial dan budaya kita dijajah dan dikepung dari segala penjuru, hingga kita tak tahu bagaimana harus melawan. Karena penjajahan ini dilakukan oleh para pengkhianat bangsa. Mereka adalah para komprador yang terdiri dari para penguasa, para politikus, wakil rakyat dan intelektual yang lebih loyal pada kepentingan asing dan aseng. Mereka bekerjasama merampok kekayaan negeri ini untuk mereka gadaikan demi memenuhi syahwatnya. Yang pada akhirnya rakyat sengsara di negeri yang kaya. Rakyat mati kelaparan di lumbung padi.
Kemerdekaan ini telah tergadai oleh mereka yang rakus akan dunia hingga melacurkan diri mereka menjadi antek-antek negara penjajah. Kondisi seperti ini akan terus berlanjut bahkan menjadi lebih parah lagi jika kita diam berpangku tangan dan pasrah dengan keadaan. Selayaknya kita sadari bahwa semua ini terjadi karena sudah terlalu lama kita lupa bahwa kemerdekaan yang didapatkan bukanlah semata kehebatan manusia yang mampu mengusir penjajah, namun karena kasih sayang Allah SWT terhadap bangsa ini.
Rasa syukur seharusnya mengisi kemerdekaan yang diraih dengan menerapkan aturanNya, bukan dengan mengadopsi sistem yang datang dari akal manusia yang terbatas. Bangsa ini telah memilih sistem demokrasi kapitalisme sebagai acuan dalam mengisi kemerdekaan. Yang mana demokrasi kapitalisme merupakan sistem yang lahir dari akal manusia, dan merupakan akar masalah yang telah membawa bangsa ini ke jurang kehancuran. Sistem demokrasi kapitalisme inilah yang telah melahirkan undang-undang yang tak pernah berpihak kepada rakyat.
Sudah saatnya kita kembali merujuk kepada sistem dan hukum yang dibawa oleh Rasulullah Saw di dalam Alquran dan Assunah agar bangsa ini menjadi berkah dan mendapatkan kemerdekaan yang hakiki. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post