Beratnya perjuangan menempuh pendidikan dirasakan benar Aji Ratna Kusuma di kala remaja. Kini sebagai dosen berstatus guru besar, dia selalu mengingatkan para mahasiswa betapa pendidikan mesti diperjuangakan sebaik-baiknya.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Dibesarkan di Gunung Tabur, Berau pada dekade 60-an, Aji merasakan berbagai keterbatasan di wilayahnya. Mulai dari bahan pangan, listrik, akses jalan, hingga pendidikan. Kepada Metro Samarinda (Kaltim Post Group), anak ketiga dari enam bersaudara ini menceritakan perjuangannya untuk bisa tetap sekolah.
“Di Gunung Tabur waktu itu hanya ada sekolah dasar. Kalau mau sekolah di SMP harus menyeberang sungai dengan perahu ke Tanjung Redeb. Karena SMP hanya ada di Tanjung Redeb,” kisah Aji.
Begitulah setiap hari Aji pulang pergi melintasi sungai demi mengenyam pendidikan menengah atas. Sempat menggantungkan cita-cita menjadi perawat, Aji lantas punya keinginan menjadi seorang guru. Hal ini sesuai dengan permintaan sang ayah. Rupanya ayah Aji menginginkan salah seorang anaknya bisa berprofesi sebagai seorang pengajar.
“Latar belakang ayah saya seorang guru. Saya satu-satunya anak beliau yang menjadi pengajar, sebagai dosen di universitas,” terangnya.
Kariernya sebagai dosen berawal dari bangku kuliah di Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Setelah lulus sebagai sarjana muda di tahun 1980, Aji berkesempatan melanjutkan pendidikan meraih gelar S1 berkat beasiswa dari kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) saat itu.
“Beasiswa itu diperuntukkan bagi mahasiswa yang ingin menjadi dosen. Jadi setelah lulus kuliah, langsung bekerja sebagai dosen di Unmul. Karena memang waktu itu kampus kekurangan tenaga dosen,” jelas Aji.
Setelah lulus S1 di tahun 1983, Aji diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sebagai staf pengajar di FISIP Unmul tahun 1984. Dari asisten dosen, Aji mendapat amanah menjadi dosen dengan mata kuliah Perencanaan Pembangunan menjadi salah satu materi yang diajarkannya. Berhadapan dengan banyak mahasiswa pun sudah menjadi kesehariannya sejak saat itu.
“Saya menghadapi beragam karakter mahasiswa. Dari yang berjiwa malaikat, yang menganggap saya seperti orang tua sendiri. Sampai yang bersifat penjahat, misalnya ada yang hendak mencuri laptop saya. Ada yang seperti itu,” bebernya.
Memang, selama 33 tahun menjadi dosen, dia kerap bertemu banyak mahasiswa dengan karakter yang berbeda-beda satu sama lain. Dari situ pula dia bisa mengetahui lebih banyak tentang latar belakang anak didiknya. Termasuk kondisi ekonomi keluarga mahasiswa yang diajarnya. Salah satunya, ada orang tua mahasiswa yang rela menderita demi mendapatkan biaya kuliah sang anak.
“Karena itu saya selalu berpesan kepada para mahasiswa agar bisa belajar dengan baik. Perjuangan orang tua untuk bisa menguliahkan mereka itu tidak main-main. Ada yang rela tidak makan yang penting anak mereka bisa kuliah,” tutur Aji.
Pun demikian, sebagai seorang dosen Aji juga berusaha menjalankan tugasnya sebaik mungkin mendidik para mahasiswa. Bagi Aji, ketika dia sudah berada di depan kelas, ada tiga amanah yang diembannya. Pertama amanah dari orang tua yang mengharapkan anak-anak mereka pintar. Kedua, amanah dari pemerintah yang telah memercayakannya dalam mencerdaskan bangsa. Dan ketiga yaitu amanah dari Tuhan.
“Dengan ketiga amanah itu, saya mengajar mahasiswa bukan sekadar agar mereka pintar secara akademis. Namun juga agar para mahasiswa memahami etika, moral, dan agama ketika mereka lulus nantinya,” ungkap nenek satu cucu ini.
Dalam mendidik para mahasiswa, Aji selalu mengedepankan pendekatan saling berbagi. Dia menganggap setiap mahasiswa sudah seperti anak kandungnya sendiri. Karena itu, dia tidak memberi jarak kepada mereka untuk berinteraksi atau berkonsultasi dengannya. Bahkan Aji kerap kali menjadi tempat curhat bagi para mahasiswanya.
“Curhatnya bisa macam-macam. Entah itu soal kuliah, keluarga, bahkan soal pacar. Saya memang memberi ruang bagi mereka untuk konsultasi meminta solusi. Selagi mereka perlu, mereka bisa menghubungi saya. Ponsel saya tidak pernah saya matikan kecuali saya sedang berada di pesawat terbang,” jelasnya.
Kepada mahasiswa-mahasiswanya, Aji juga kerap memberikan nasihat dan motivasi. Agar para mahasiswa memiliki pandangan baik dalam menuntut ilmu walaupun dalam menjalani kehidupan. Bahwa siapapun bisa meraih kesuksesan bila memang ada kemauan. Dalam hal ini Aji mencontohkan dirinya sendiri yang juga berasal dari kampus.
“Saya katakan bahwa untuk mencapai posisi saya sekarang bukanlah hal yang mudah. Apa yang saya dapatkan saat ini adalah hasil dari perjuangan,” kata Aji.
Perempuan kelahiran Gunung Tabur 58 tahun lalu ini mengakui, kemajuan teknologi berdampak dalam pola belajar para mahasiswa. Keberadaan gadget pintar dengan akses yang begitu luas perlahan membentuk karakter mahasiswa menjadi terbiasa dengan segala kemudahan yang ada. Namun begitu, menurut Aji hal tersebut tidak bisa menggantikan pembelajaran kuliah secara formal.
“Untuk itu saya melarang mahasiswa menggunakan gadget apapun ketika jam kuliah. Di luar jam kuliah baru boleh digunakan sebagai pelengkap kuliah. Misalnya untuk mencari materi-materi terkait mata kuliah. Bisa juga apa yang didapatkan di internet menjadi bahan diskusi di kampus,” sebut istri dari Amransyah ini.
Sebagai seorang dosen, ada kalanya Aji tak bisa menahan emosi kala menghadapi anak didiknya. Namun meski memarahi mahasiswa, apa yang dilakukannya tersebut murni sebagai ungkapan sayang. Layaknya orang tua pada anaknya sendiri. Kemarahannya pun segera berlalu tanpa dendam. Makanya banyak mahasiswanya yang masih mengingat dirinya setelah lulus dari Unmul.
“Saya sering bertemu dengan mahasiswa saya ketika berbagai instansi. Mereka menegur saya, masih mengingat saya sebagai dosen mereka saat di kampus. Buat saya masih diingat oleh alumni merupakan sesuatu yang berkesan,” ujar penggemar sayur asam keladi khas Kalimantan ini.
Pun begitu, merupakan suatu kebahagiaan bagi Aji bisa melihat mahasiswa-mahasiswa yang dulu diajarnya kini telah sukses. Apalagi memiliki posisi serta status sosial yang tinggi di masyarakat. Kata Aji, beberapa mahasiswanya ada yang menjabat sebagai sekretaris daerah, kepala dinas, juga anggota DPRD. Bahkan ada yang menjadi diplomat bekerja di luar negeri.
“Buat saya kebanggaan tersendiri bila bisa menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas dan berkiprah di masyarakat. Rasanya senang walaupun saya hanya ditegur oleh mereka,” tandasnya. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post