Bagi Muhammad Said, menjadi pelaut bukanlah karena mengejar materi. Namun lebih kepada ketertarikannya pada profesi ini, sejak duduk di bangku SMP.
Yusva Alam, Bontang
Sejak kecil, pria yang berdomisili di Berbas Pantai ini kerap menyaksikan kru-kru kapal tanker Badak LNG, beraktivitas. Baik di atas kapal maupun turun dari kapal. Saat itu, Said kecil membayangkan profesi pelaut sangat menyenangkan. Bisa jalan-jalan kemana-mana, melihat daerah-daerah lain yang belum pernah ia jamah.
Sejak itulah dirinya bertekad menjadi seorang pelaut. Walaupun sejak lulus SMP ia pernah merasa salah memilih sekolah, namun cukup setahun baginya untuk kembali kepada cita-cita awalnya. Ia pindah sekolah dari STM di Bontang ke SMK Pelayaran di Samarinda. Di sinilah tolak awal perjalanannya sebagai pelaut.
“Awal pertama kali saya melaut saat PKL (Praktik Kerja Lapangan) selama 3 bulan. Ditambah lagi, saat ujian akhir sekolah, salahsatu syaratnya adalah satu tahun magang dengan berlayar,” kenangnya.
Sejak itulah Ia terus berlayar. Namun tetap tidak melupakan pendidikannya. Aktivitas berlayarnya selalu diselingi dengan kembali sekolah. Setiap usai berlayar selama 2 tahun, Ia kembali sekolah di Politeknik Ilmu Pelayaran selama 9 bulan. Hingga mendapatkan gelar ahli neutica tingkat III.
Alhasil, Ia pun sukses meraih posisi tertinggi di atas kapal, sebagai nahkoda. Saat ini berposisi sebagai Nahkoda Motor Tanker (MT) King Ocean di PT Cindara Pratama Lines.
“Kalau di atas kapal, nahkoda adalah posisi tertinggi. Tapi kalau di darat levelnya setingkat manajer dan masih bisa terus naik,” ujar Said.
Cita-citanya semenjak SMP benar-benar terwujud saat ini. Ia yang saat itu membayangkan bisa pergi ke berbagai tempat, mampu terwujud. Tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara di Asia. Karena perusahaan tempatnya bekerja fokus pada kawasan Asia.
Di Indonesia hampir seluruh daerah pernah Ia datangi. Di Asia, Ia pernah menjelajah ke Filipina, Thailand, Kamboja, Papua Nugini, Malaysia, Singapura, bahkan hingga ke Tiongkok.
“Alhamdulillah, dengan profesi sebagai pelaut ini saya bisa mengenal beragam budaya dari daerah-daerah di Indonesia dan negara-negara di Asia. Sangat menarik bisa mengenal budaya-budaya baru,” ungkap pria yang cukup religius ini.
Selama mengarungi lautan, menurutnya hal paling mengesankan adalah setiap menaiki kapal baru. Karena saat itu Ia harus beradaptasi ulang. Menyesuaikan dengan awak-awak baru yang memiliki beragam watak dan berasal dari berbagai latar belakang. Justru kondisi ini sangat menyenangkan bagi dirinya. Karena Ia bisa mendapat pelajaran baru dari kondisi tersebut.
Sedangkan pengalaman paling tidak mengenakkan, ketika menemui cuaca buruk dan ombak tinggi. Karena kondisi itu, baginya yang paling mengerikan. Iapun bersyukur, sampai saat ini belum pernah sampai meninggalkan kapal ketika berhadapan dengan kondisi buruk tersebut.
“Alhamdulillah selalu selamat saat bertemu dengan badai,” katanya.
Diceritakannya lagi, sebagai pelaut tantangan terbesar yang dihadapi adalah jauhnya dari keluarga. Bagaimana tidak, sekali berlayar mampu menghabiskan waktu berbulan-bulan, dengan jarak tempuh yang luar biasa jauhnya. Ditambah lagi, bagi diri pribadinya adalah terbatasnya kegiatan-kegiatan ibadah.
“Salahsatu contohnya saja salat jumat. Di kapal, kami tidak bisa melaksanakan salat jumat karena kru kapal hanya berjumlah kurang lebih 10 orang. Sedangkan syarat salat jumat harus lebih dari 10 orang. Masih banyak lagi yang lainnya,” bebernya.
Belum lagi tantangan budaya yang harus dihadapi. Karena di atas kapal, budaya kebanyakan yang dianut adalah budaya barat. Salahsatunya identik dengan minuman keras. Belum lagi kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan awak kapal saat berlabuh. Untuk menghilangkan kejenuhan, kebanyakan melakukan hal-hal yang dilarang agama. Namun menurutnya, tidak semua pelaut melakukan itu. Ada saja pelaut yang masih kuat menjaga akidah dan imannya.
“Untuk itulah peran pemerintah bagi pendidikan pelayaran. Seharusnya sejak pendidikan itulah, benteng akidah para calon pelaut ini diperkuat. Banyak-banyak diberikan ilmu-ilmu agama, sebagai modal saat melaut,” tegasnya.
Dirinya memiliki cara untuk menangkal budaya-budaya merusak tersebut. Diantaranya dengan sering-sering menghubungi keluarga, lalu banyak membaca Alquran, dan banyak-banyak berpuasa. Cara-cara ini terbukti sukses baginya untuk menangkal perbuatan-perbuatan maksiat di sekitarnya.
Saat ini Ia berpikir untuk pensiun lebih dini. Karena ia ingin lebih mendekatkan diri dengan anak dan istri. Disamping itu ia juga ingin lebih meningkatkan amal ibadahnya. Kedepannya, Said ingin menularkan ilmu dan pengalamannya tersebut kepada generasi-generasi penerusnya.
“Semoga ilmu dan pengalaman yang akan saya berikan nanti, bisa berguna bagi calon-calon pelaut,” pungkasnya. (*)
TENTANG MUHAMMAD SAID ANT III
Nama: Muhammad Said ANT III
TTL: Toli-Toli, 06 April 1981
Pendidikan:
SMK Pelayaran Mahakam Jaya, Samarinda
Politeknik Ilmu Pelayaran, Semarang (2008)- Program Perwira Siswa (Pasis)- (9 bulan)
Politeknik Ilmu Pelayaran, Semarang (2012) – Jurusan Ahli Neutica Tingkat III – (9 bulan)
Jabatan:
Nahkoda MT (Motor Tanker) King Ocean
PT Cindara Pratama Lines, Balikpapan
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: