SANGATTA – Rusman (59), warga yang menetap di Jalan Silvaduta RT 01 Sangatta Selatan itu, membagi kisah dan pengalamannya selama 10 tahun mengabdi pada daerah. Terlebih karena minimnya anggaran.
Sejak 2002 silam, dirinya mulai bekerja di bidang kebersihan lingkungan. Hanya saja hingga kini lelaki tua itu masih berstatus pegawai Tenaga Kerja Kontrak Daerah (TK2D). Dengan penghasilan hanya Rp 700 ribu.
“Gaji saya tidak rutin, paling tiga bulan sekali baru dibayar. Kalau ada makanan ya dimakan, tidak ada puasa sajalah,” katanya saat disambangi di kediamannya belum lama ini.
Dia mengaku tidak sanggup memberi pendidikan bagi anak-anaknya. Ekonomi menjadi faktor putra-putrinya berhenti sekolah dan ikut bekerja dengannya.
“Tidak ada anak saya yang sekolah. Kalau sudah begini, kadang rasanya mau nangis. Saya bingung mau kasih makan apa sama anak istri. Mau menanam juga sudah tidak kuat,” jelasnya.
Rusman menceritakan sejumlah pengalamannya, mulai dari ditabrak motor hingga nyaris mengalami kebutaan, lantaran saat dirinya membersihkan rumput, pecahan batu mengenai matanya.
“Saya sudah minta kacamata tapi tidak ada terus dari kantor DKPP nya. Kerjaan saya kan keliling kota untuk menyapu, pernah juga ditabrak orang. Banyaklah pengalaman,” pungkasnya.
Seorang wanita yang juga mengalami hal serupa, Baloti (60), yang juga bekerja menjadi penyapu jalan selama 20 tahun lamanya. Dia mengisahkan pengalamannya. Tak bisa luput dari ingatan wanita itu, saat sejumlah rekan kerjanya diangkat menjadi PNS, dirinya malah diberhentikan paksa oleh pimpinannya. Padahal usianya saat itu masih 45 tahun. Dengan alasan tidak memiliki ijazah, membuatnya harus beralih profesi menjadi pedagang sayur di pasar.
“Sampai sekarang saya sedih, kalau ingat masih pengen kerja tapi malah dipecat. Sekarang saya hanya membeli sayur orang, terus dijual lagi di pasar, kadang untung Rp 1000 kadang tidak,” jelasnya.
Hal tersebut harus dilakukannya, lantaran ia harus bertanggungjawab atas lima orang anak yang dia angkat. “Tidak ada anak kandung, semuanya anak saudara yang lebih tidak mampu saya rawat,” ujarnya.
Sama halnya dengan Rusman, ia juga memiliki sejumlah pengalaman yang tak bisa dilupakan. Menurutnya, ia pernah sampai BAB darah karena bekerja ekstra. Namun tidak ada jaminan pengobatan saat itu, sehingga dengan gaji Rp 700 ribu tersebut, wanita ini harus membagi antara untuk kehidupan dan biaya rumah sakit.
“Saya pernah dijanjikan siapa yang bekerja paling bersih dapat hadiah. Sudah kerja keras dan semangat, sampai BAB keluar darah, ternyata tidak ada apa-apa sampai saat ini,” tutupnya. (*/la)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: