SAMARINDA – Peringatan Hari Anti Tambang (Hatam), Kamis (31/5) lalu, dimanfaatkan sekelompok massa Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Forum Satu Bumi untuk menagih janji Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, terkait penanganan dan penyelesaian kasus tambang di Benua Etam.
Pasalnya, hingga pertengahan 2018, masih terdapat konflik perebutan lahan, perampasan lahan, kasus kematian puluhan anak di lubang tambang, hingga tidak adilnya penegak hukum dalam menangani kasus pertambangan.
Koordinator aksi, Romiansyah mengungkapkan, dari 12,7 juta hektare luas wilayah Kaltim, sekitar 5,2 juta hektare atau setara dengan 43 persen wilayah telah dikaveling untuk pertambangan. Dominasi tambang tersebut telah mengancam ruang hidup masyarakat Kaltim.
“Keselamatan kita sudah terancam, sawah dan kebun kita hilang, banjir meluas di seluruh pelosok kampung, sumber air yang rusak dan tak layak untuk di konsumsi, polusi udara dari debu tambang, serta kesehatan warga yang kian menurun,” bebernya.
Ironisnya, perebutan ruang hidup masyarakat oleh pengusaha tambang malah membawa petaka bagi sebagian pemilik lahan. Masyarakat yang ingin menuntut keadilan, tak sedikit yang berakhir di balik jeruji besi.
Dia menyebut, salah satunya dialami Suparmi, warga Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) pada Maret 2018 lalu. Alih-alih mendapatkan lahan yang diambil PT Multi Harapan Utama (MHU). Suparni hingga kini mendekam di penjara.
“Padahal Pak Sumarni hanya menghadang operator dan alat berat perusahan yang memasuki lahan kebun karet milik keluarganya. Esok harinya beliau dijemput paksa oleh polisi di rumahnya,” ungkap dia.
Warga setempat memprotes langkah kepolisian yang dinilai tidak adil. Namun kasus tersebut tidak direspons dengan baik oleh aparat. “Jika perusahaan yang melaporkan, maka dengan sigap langsung diproses. Namun bila rakyat kecil yang mengadu yang ada hanya penolakan,” ketusnya.
Berikutnya, kata Romiansyah, penyelesaian kasus kematian puluhan anak di lubang tambang. Hingga kini, hanya sebagian kecil kasus yang bergulir di Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim diselesaikan. Sementara sisanya seolah tak direspons.
“Ada kasus 27 korban meninggal. Satu di antaranya meninggal akibat terbakar batu bara. Sisanya ditemukan tewas di lubang tambang. Hingga saat ini kasusnya masih mandek di Polda Kaltim,” bebernya.
Kemudian kasus lainnya yakni terbitnya izin tambang di kawasan bentang alam karst. Padahal wilayah tersebut telah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim Nomor 67 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan ekosistem karst, Sangkulirang-Mangkalihat di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau karena masuk dalam kawasan lindung geologis. “Karena itu, kami minta gubernur menarik izin tambang di kawasan bentang alam karst Sangkulirang-Mangkalihat,” pintanya.
Terakhir, massa menagih janji Gubernur Kaltim terkait pencabutan izin tambang batu bara. “Dalam forum resmi beliau berjanji mencabut 63 izin tambang batu bara di Samarinda dan 809 izin tambang yang bermasalah di Kaltim. Namun seperti yang sudah berlalu, janji itu tak lain kebohongan yang diulang-ulang,” tutupnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post