Menjadi bagian dari Tim Public Safety Center (PSC) Covid-19 Bontang tidak pernah mudah. Segala informasi dan pelaporan terkait Covid-19 di kota ini mereka yang mengatur sirkulasinya. Tak mengherankan, ini kemudian membuat tim PSC mesti bekerja 24 jam non-stop selama 7 hari. Semua demi melayani publik.
Fitri Wahyuningsih, Bontang
SUASANA di lantai satu gedung dua lantai itu terlihat lebih lengang. Meja rapat yang ada di sisi kiri ruangan hanya diisi dua orang. Seorang perempuan terlihat berjibaku dengan keyboard di laptop. Satu pria sibuk berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
Sementara di sisi kanan ruangan, tepat di bawah tangga, empat perempuan nampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang berjibaku dengan bundelan kertas. Ada yang sibuk mengetik sesuatu di komputer. Tempat kerja mereka ini disekat menggunakan plastik transparan. Dari luar, kegiatan mereka terekam jelas, tiap percakapan pun bisa didengar. Bisa berinteraksi dengan mereka.Tapi ada batas, ada jarak. Senin (30/11/2020) siang, beginilah aktivitas yang terekam di lantai satu Gedung PSC Bontang, Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Api-Api, Kecamatan Bontang Utara.
“Ini kelihatan sepi karena belum semua datang. Tapi kalau pekerjaan, di hari Senin-Rabu bukan main sibuknya kami,” ujar Scandianova.
Dian, panggilannya, adalah bagian dari Tim PSC) Bontang. Dia bersama 14 rekannya yang lain bekerja di tempat ini, secara bergantian memonitor perkembangan Covid-19 di Bontang selama 24 jam non-stop selama 7 hari.
Di PSC, total 15 orang bekerja secara bergiliran. Mereka dibagi dalam 4 pergantian jadwal kerja. Jadwal pagi, pukul 08.00-15.00 Wita. Siang pukul 15.00-22.00 Wita. Malam pukul 10.00-08.00 Wita. Dan tim kerja lepas malam.
“Dalam seminggu libur kami sehari saja. Tapi pada dasarnya PSC ini tidak ada istirahatnya. Selalu melayani publik sejak dibuka akhir Maret 2020 lalu,” beber Dian.
Dalam tiap shift kerja, diisi 3-4 orang. Komposisinya, 1 bidan, 1 supir, 1 operator, dan 1 perawat, juga ada 1 dokter. Komposisi ini adalah ‘tim darurat’. Jadi, kalau-kalau ada pasien positif yang perlu dijemput di kediamannya, atau ada hal-hal mendesak lain terkait penanganan Covid-19, mereka bisa cepat bergerak.
“Harus gercep (gerak cepat), Mbak. Kami tidak tugas di Gedung PSC saja. Kami juga bertugas jemput pasien positif kalau memang diperlukan,” beber perempuan yang berposisi sebagai bidan ini.
Kata Dian, ada perbedaan ketika Covid-19 awal-awal merebak, dan sekarang masuk adaptasi kebiasaan baru (AKB). Di awal, masyarakat cukup disiplin melaporkan diri ke PSC ketika keluar kota atau baru tiba dari luar kota. Ratusan laporan masuk melalui aplikasi pesan instan (WhatsApp/WA), Google form, dan telepon diterima Tim PSC. Sekarang, tidak sampai 50 yang melapor. Dian menaksir, itu terjadi lantaran masyarakat merasa bosan dengan prokes dan mulai mengabaikan pentingnya isolasi mandiri demi kebaikan bersama.
“Padahal, namanya protokol yah tidak boleh ada kata bosan. Kan ini demi kebaikan bersama juga,” ujarnya.
Sekarang, selama AKB, Tim PSC kemudian mendapat “tugas tambahan” lain. Yakni menerbitkan segala macam dokumen yang terkait dengan Covid-19 dan prokes. Seperti keterangan positif atau negatif Covid-19, rekomendasi boleh tidaknya pelatihan atau kegiatan yang berpotensi mengumpulkan massa (terkait jaminan disiplin prokes), rekomendasi untuk menggelar hajaran (Seperti pernikahan), dan surat keterangan lainnya.
“Banyak banget mbak. Karena semuanya yang keluarkan yah kami (Tim PSC). Senin-Rabu itu bisa sampai 100 surat yang mesti diterbitkan. Agak repot, tapi namanya tugas sebisa mungkin kami bawa enjoy,” urainya sembari tertawa getir.
Jadi soal, lantaran beberapa orang yang meminta rekomendasi kerap menawar prokes yang ditetapkan Tim Satgas. Misalkan ketika ingin menggelar pernikahan. Ketentuannya, hanya akad nikah diizinkan. Dengan maksimal undangan 40 orang. Ini sudah termasuk keluarga kedua mempelai, penghulu, saksi, dan petugas lain dari KUA atau catatan sipil. Selain itu tidak boleh. Pun maksimal kegiatan ialah 4 jam dan tidak boleh ada prasmanan.
“Tapi kan ada saja warga yang ketika minta rekomendasi, masih juga nawar. Yah kami tidak boleh. Kalau ada klaster nikahan, pasti PSC yang kena (Sorot). Juga kalau ada aparat yang patroli dan prokes diabaikan, kami tidak mau tanggung jawab,” bebernya.
Dikatakan perempuan 29 tahun ini, setiap orang dapat berperan menghentikan penyebaran Covid-19. Dan sejatinya peran aktif publik sangat diperlukan. Tidak ada yang bisa menang melawan Covid-19 bila hanya kerja sendiri, dalam hal ini tenaga kesehatan (Nakes), tapi tidak didukung publik. Sebabnya Diab berharap, publik bisa ambil aksi. Mulai dari diri sendiri, disiplin prokes 3M: mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Pun sebisa mungkin, hindari tempat-tempat yang dihadiri massa.
“Juga ketika ada tim yang minta dukungan publik, misalnya diminta jujur soal riwayat perjalanan dan kontak erat, tolong jujur,” tandasnya. (adv)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post