Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi. Rasisme adalah sebuah gagasan yang diciptakan manusia atau oknum untuk membedakan-bedakan orang dilihat dari warna kulit, suku, hingga negara. Biasanya rasisme selalu lekat dengan superioritas dari kelompok tertentu. Mereka bisa melakukan apa saja karena merasa lebih unggul. Akhirnya, hak-hak dari orang yang berbeda itu justru dilanggar.
Rasisme sudah ada di dunia ini sejak lama. Bahkan telah mengakar dengan sangat kuat. Hampir di setiap negara, kasus-kasus rasisme selalu muncul dan membuat adanya kesenjangan sosial. Berbicara diskriminasi akibat rasisme, saya pernah merasakannya. Bahkan saya merasakannya di tempat yang saya sendiri tak menduga, Arab Saudi.
Mendengar Arab Saudi, terlebih dua kota suci Madinah dan Mekkah, membuat saya berfikir ini kota yang sangat indah dan ramah untuk “para tamu”yang akan menjalankan ibadah. Saya membayangkan di dua kota ini akan sangat banyak orang-orang ramah untuk memperlancar kami beribadah. Dan ya, memang banyak orang ramah di sana.
Saya punya pengalaman menarik dan bisa diambil pelajarannya selama menjalani Ibadah Umrah. Saya berangkat menuju Arab Saudi akhir 2016 lalu dan pulang lima hari yang lalu.
Kejadiannya justru bermula pada satu hari sebelum saya bertolak pulang ke tanah air, di Kota Mekkah.
Belum terbiasa terpapar udara dan makanan yang berbeda dari Indonesia, rupanya membuat anak saya sakit. Anak yang baru berumur dua tahun ini tak mau makan dan muntah hingga 10 kali, mulai pagi sampai sore hari. Bisa dibayangkan betapa lemasnya tubuh kita orang dewasa, jika muntah sebanyak itu dalam sehari, apalagi anak kecil.
Jelang masuk waktu Magrib kondisi kesehatan anak saya semakin parah, saya terpaksa harus membawa anak saya ke UGD yang terletak di bawah hotel, di Komplek Masjidil Haram. Sampai di sana, kami disarankan menuju Maternity and Children Hospital. Untuk menembus udara malam yang dingin, ditemani pemandu, kami memutuskan untuk menaiki taksi.
Sesampainya di rumah sakit, seperti biasa, langsung mendaftar dengan menyerahkan paspor (karena bukan warga Arab Saudi) dan anak saya mendapatkan perawatan awal, seperti pengecekan tanda-tanda vital. Mendapatkan nomor urut 990, kami pun lantas menuju ruang tunggu. Ruang tunggu di rumah sakit ini berbeda dengan di Indonesia. Berukuran sekitar 4×6 meter, ruang tunggu dibagi dua antara laki-laki dan perempuan.
Kejadian unik yang membuat saya mengerutkan dahi adalah pengakuan seorang pekerja (tentunya harus saya lindungi identitasnya) yang ada di rumah sakit tersebut, yang mengatakan jika bukan warga Arab Saudi maka dipastikan akan sangat lama untuk dilayani. Menurutnya, kejadian tersebut sudah lazim terjadi di rumah sakit tersebut. Dia menceritakan hal tersebut, lantaran khawatir dengan kondisi anak saya yang semakin terlihat lemah.
Dan benar saja, hampir dua jam kami menunggu panggilan dokter, di tengah kondisi anak saya yang semakin lemas. Keyakinan atas diskriminasi semakin meyakinkan saat nomor urut panggilan saya dilewati.
Merasa ada yang tak beres dan tak bisa tinggal diam, ibu saya mencoba berkomunikasi dengan pasien lain yang juga sedang menunggu. Mereka menyarankan kami untuk mengetuk pintu ruang periksa “Kalau tidak diketuk pintu, kalian tak akan dipanggil,” begitulah kira-kira sebutnya.
Kami pun mengikuti saran tersebut. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, keluarlah seorang perawat laki-laki dengan tubuh kurus tinggi memakai baju dan celana serba biru. Pemandu kami yang notabennya cakap berbahasa Arab menanyakan mengapa kami tak juga dipanggil. Sang perawat lantas mengatakan jika mereka lebih mengutamakan pasien berlabel triage hijau. Padahal jika mau berdebat, saya mau saja, tapi saya memilih untuk sabar.
Kenapa saya ada niat untuk berdebat, karena anak saya pasien berlabel triage kuning. Sekadar informasi, label triage kuning berarti kasus darurat namun tidak gawat. Sementara berlabel triage hijau kasus tidak gawat dan juga tidak darurat. Menurut pembaca, siapa yang seharusnya didulukan?
Sejak pukul 19.00 waktu Mekkah kami menunggu, dan akhirnya kami (terpaksa) dipanggil pada pukul 23.00. Dengan bantuan seorang perawat perempuan berpostur tubuh agak mungil berwajah seperti warga Tiongkok, kami “disusupkan” masuk ke ruang dokter untuk diperiksa.
Sesampainya di dalam ruangan, kami kembali bertemu dengan perawat pria yang diawal tadi tak mengizinkan kami masuk. Dengan wajah merengut sambil menunjuk-nunjuk wajah anak saya dan saya dia mengahadang kami untuk terus masuk. Dan dengan sigap pula perawat perempuan tadi, membela kami. Sempat berdebat sedikit, akhirnya kami bisa dengan tenang menemui sang dokter. Waktu-waktu “heboh” pun berakhir setelah dokter melakukan beberapa tindakan pemberian obat untuk anak saya. Setelah 25 menit, kami pun bisa pulang kembali ke hotel.
Saya awalnya tak mau menduga-duga apakah oknum di rumah sakit tersebut rasis atau tidak. Namun dari beberapa warga (pedagang) di sekitar hotel yang sempat saya tanyai sebelum ke rumah sakit, mereka memang berpesan “Temui perawat atau dokter perempuan, jangan pria, karena mereka (pria, Red.) pilih-pilih,” begitu katanya.
Saya tentu awalnya tak percaya bahkan saya tak terfikir kearah sana. Karena menurut saya ini kota suci, tak mungkin ada diskriminasi. Namun ternyata ada saja oknum yang mencoba mencoreng.
Terlepas dari pengalaman saya tadi, saya sama sekali tidak ingin meragukan kesucian Tanah Haram. Karena sekeras apapun perlakuan diskriminasi oknum di sana, maka semakin keras pula cinta saya terhadap dua kota suci tersebut.
Mungkin semua ini ada hikmahnya, dengan kejadian ini saya diajak belajar. Dalam hati saya berbicara: beginilah rasanya jika dipersulit, jadi korban diskriminasi, dan rasis. Maka itu saya katakan, jangan pernah coba-coba persulit orang, gak enak, saya sudah merasakan di negeri orang.
Bahkan dalam Islam, Allah SWT berfirman di dalam Quran Surat Al Hujurat 49 : 13; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Bahkan dalam suatu hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuhmu atau parasmu. Tetapi Dia melihat kepada hati dan kelakuanmu”.
Sehingga jelas, Islam sangat melarang rasisme maupun diskriminasi , karena hal tersebut merupakan sifat tercela yang sangat membahayakan. Dihadapan Allah SWT , semua makhluk itu sama , siapapun , dari manapun , dan warna kulit apapun . Allah SWT hanya membedakan manusia dengan kualitas ketakwaannya. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: