Oleh:
Jamaluddin Rosyidi
CEO Bimbel ME dan Penggiat Pendidikan Bontang
Kalau kita ingin menjadi pilot, maka ada sekolah yang bisa mengantarkan kita untuk menjadi seorang penerbang profesional. Jika kita ingin menjadi dokter, ada banyak fakultas kedokteran baik dalam dan luar negeri yang siap menjadikan kita dokter-dokter terbaik. Jadi apapun profesi impian kita, ada sekolah/universitas yang siap mengantarkan kita. Celakanya, tidak ada satu pun sekolah yang mengajarkan kita menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita!
kita tentu mafhum bahwa masing-masing anak diciptakan Tuhan dengan keunikannya. Tapi perilaku kita sebagai orang tua sama sekali tidak mengakomodasi hal itu. Bahkan lembaga pendidikan yang ada saat ini pun sama sahaja. Fenomena ini terjadi karena -diakui atau tidakk- kita menjadi orang tua karena “kecelakaan”.
Kecelakaan yang saya maksud adalah kita tidak mempersiapkan diri dengan ilmu yang cukup untuk menjadi orang tua. Tahu-tahu, tiba-tiba setelah menikah langsung punya anak. Fokus kita sebagai orang tua lebih banyak hanya sebatas memenuhi kebutuhan secara materi.
Tantangan zaman yang senantiasa berubah, mau tak mau harus disikapi dengan baik sebagai orang tua. Zaman yang berbeda mau tak mau “memaksa” orang tua untuk harus belajar agar bisa menerapkan pola asuh yang tepat pada anaknya. Celakanya, banyak orang tua yang kemudian berhenti belajar, sehingga pola asuh yang dihadirkan bagi anak-anaknya cenderung stagnan atau tetap. Maka menjadi orang tua yang senantiasa belajar adalah satu-satunya solusi dalam merespon perubahan zaman yang semakin terasa cepat.
Hal yang pertama dan utama yang mesti kita lakukan (pelajari) adalah merubah paradigma kita dalam mengasuh anak. Kebanyakan yang kami amati selama ini orang tua cenderung mengurus anak bukan membangun anak. Apa bedanya? Mengurus anak cenderung kemudian mengabaikan kemandirian anak. Anak-anak tidak diberi kesempatan sebagaimana mestinya -tentu sesuai dengan perkembangan usianya- untuk memikul tanggung jawab pribadinya.
Fenomena mengurus anak yang sering kebablasan ini banyak kami jumpai pada masyarakat Bontang, khususnya lebih sering terjadi pada anak-anak kompleks (Kompleks PTB dan PKT). kekhawatiran yang sering berlebihan membuat orang tua terlibat terlalu dalam pada aktivitas-aktivitas yang seharusnya bisa dilakukan secara mandiri.
Misal pada tugas-tugas sekolah, sering kami jumpai orang tua malah yang repot ngurus sana-sini. Bahkan kemudian dalam hal memilih jurusan saja keinginan orang tua serinya lebih dominan daripada keinginan anak.
Proses dialog yang terjadi seakan sebuah “formalitas” semata karena hasil akhirnya sering anak-anak harus “mengalah”. Maka sudah seharusnya dan sewajarnya orang tua merubah paradigma pengasuhannya menjadi paradigma membangun anak. (Lebih detail tentang “How to” nya, insyaallah akan kami uraikan pada kesempatan selanjutnya)
Howard Gardner dengan teori kecerdasan majemuknya mengemukakan bahwa ada sembilan kecerdasan pada manusia. Kecerdasan linguitik,kecerdasan matematis-logis,kecerdasan visual-spasial,kecerdasan kinestetik,kecerdasan musikal,kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal,kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial. Begitupun dengan anak-anak kita. Mereka terlahir dengan kombinasi bakat(kecerdasan) yang yang berbeda. Nah ini kemudian yang harus kita pelajari (perhatikan) dari anak-anak kita. Tapi mau kah kita?
Ada anak anak yang kemudian sangat berbakat di bagian matematis-logis nya,misalnya, sehingga hasil-hasil pelajaran eksakta tak pernah mengecewakan. Sebaliknya ada anak-anak yang tidak diberkati dengan kecerdasan matematis-logis nya namun cerdas di bidang yang lain.
Pada akhirnya anak-anak ini kemudian tertinggal dalam bidang matemtika maupun pelajaran eksakta yang lain, yang celakanya kemudian sering dijadikan acuan pintar dan bodohnya seorang anak. Sehingga kemudian kami dapati anak yang seakan “terpaksa” mengikuti kegiatan bimbingan belajar/les demi sekedar memenuhi keinginan orang tua agar anaknya tidak dicap “bodoh”.
Kesadaran akan bakat yang berbeda pada tiap anak ini kemudian harus benar-benar ditindaklanjuti oleh orang tua. Kalau orang tua belum tau, maka bisa kemudian berkonsultasi dengan guru di sekolah atau bahkan psikolog. Bagaimana kalau kemudian terkendala biaya, misalnya. Sebenarnya ada cara yang mudah untuk mengetahui bakat suatu anak. Beri anak ragam aktivitas dan amati yang terjadi pada anak.
Kalau anak berhasil menjalani sebuah aktivitas dengan Enjoy, Easy, Excellent dan ada potensi untuk Earn (dengan kegiatannya itu bisa menghasilkan uang yang kemudian nanti bisa dijadikan “pegangan” ) maka disanalah letak bakat yang harus dijaga dan dipupuk. Masalahnya cuma satu, adakah kita sebagi orang tua sabar untuk senantiasa membersamai anak-anak kita dalam menemukan bakatnya?
Setelah merubah paradigma dan kemudian menyadari dan mempelajari ragam bakat anak, maka hal yang harus dilakukan berikutnya sebagi orang tua adalah mempelajari bagaimana teknik berkomunikasi yang baik dan efektif. Kemampuan komunikasi yang efektif akan banyak meminimalisir kesalahpahaman dua generasi (orang tua dan anak). Kemampuan memberikan motivasi ketika anak sedang down atau sebaliknya kemampuan memuji ketika anak berprestasi akan sangat menentukan jalan kesuksesan anak-anak kita.
Ini memang kemudian sedikit banyak beririsan dengan pemahaman kita tentang bakat dan watak anak. Harus disadari bahwa seiring beda usia dan beda zaman tumbuh kembang, ada generation gap yang kemudian melahirkan “communication gap” yang seringkali melahirkan masalah antara orang tua dan anak. Membaca buku-buku psikologi tentang anak bisa jadi solusi menambah wawasan yang bisa dipilih orang tua. Berkomunikasi dengan guru di sekolah juga bisa ditempuh.
Sering orangtua tidak benar benar mau mendengarkan anak karena asumsi bahwa mereka belum memiliki pengalaman. Asumsi ini kemudian mengakibatkan komunikasi menjadi tidak egaliter, karena dalam pikiran orang tua, anak senantiasa menjadi subordinasi orang tua. Apalagi di tengah kemajuan teknologi informasi dan kegilaan anak-anak kita pada media sosial yang sangat egaliter, pola komunikasi yang tidak setara tersebut kemudian membuat anak “lari” dari orang tua dan lebih nyaman “menenggelamkan ” diri dalam dunia maya.
Bagi masyarakat Bontang dengan kelas pekerjanya, kendala utama selain skill komunikasi adalah faktor kehadiran yang minim, karena orang tua yang disibukkan dengan aktivitas profesinya. Hal itu bisa diatasi dengan “kehadiran” yang sebenarnya bagi anak. Kadang kala meski sadar dengan minimnya interaksi dengan anak, saat bertemupun orang tua tidak benar-benar hadir dan berkomunikasi dengan anak. Saat berinteraksi dengan anak pikiran dan fokus seringkali tertuju ke hal-hal di luar anak. Pertanyaan terakhir, maukah kita sebagai orang tua juga belajar? (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post