SARIPUDDIN— selanjutnya Udin, cuma bisa terduduk layu. Menatap nanar Terminal Bus Bontang yang begitu sepi. Sudah menunggu sejak pukul 08.30 pagi, namun menjelang pukul 10.00 Wita baru satu penumpang membeli karcis Bontang-Sangatta.
“Habis kita kalau begini terus, dek,” ada kegetiran dalam nada suaranya.
Kebetulan untuk Sangatta-Bontang itu, Udin bertindak sebagai pemilik minibus dan sekaligus sopirnya. Pandemi ini bikin dia pening tiap waktu. Menunggu penumpang tapi cuma sedikit. Tapi kalau tidak jalan potensi rugi sangat besar karena penumpang nyaris nihil.
“Kalau begini terus kita mau makan apa,” tanyanya.
Ada dilema dirasakan sopir dan pengelola bus di masa pandemi begini. Di satu sisi mereka sepakat dengan imbauan pemerintah untuk menghindari keramaian dan menunda perjalanan luar kota atau daerah. Namun di satu sisi, kedua hal itu tak bisa dilepaskan, bahkan menjadi denyut bisnis ini. Tak ada penumpang ramai, tak ada pendapatan. Tak ada pendapatan, tak bisa makan.
MINIM PENUMPANG SELAMA PANDEMI
Pengurus DPC Organda Bontang, Subair menuturkan, pandemi benar-benar membuat bisnis ini babak belur. Setidaknya mulai awal April 2020, jumlah keberangkatan dan penumpang terus susut. Dan tren ini semakin mengerikan saja menjelang awal Mei 2020.
Misalnya bus jurusan Bontang-Samarinda. Di waktu normal terdapat delapan kali keberangkatan. Setiap bus rata-rata membawa 27-30 penumpang sekali jalan. Namun sejak pandemi menerpa, bus hanya menjual lima tiket. Bahkan sempat hanya terjual tiga lembar.
Adapun tiket bus Samarinda-Bontang untuk kelas ekonomi (Non Ac) dibanderol Rp 30 ribu. Sementara untuk bus kelas Ac dihargai Rp 40 ribu.
Subair mencontohkan, dengan asumsi 29 penumpang di hari normal, dikali harga tiket ekonomi Rp 30 ribu, maka pendapatan sekali jalan Rp 870 ribu. Ini belum dikurangi upah sopir dan biaya membeli bahan bakar.
“Bayangkan aja dek, kalau kita cuma bawa 3-5 penumpang, rugi. Bahan bakar saja sudah makan (habis) berapa,” katanya.
Untuk bus jurusan Bontang-Samarinda, terdapat 18 armada bus yang beroperasi. Masing-masing dioperasikan 1 sopir.
Namun sejak Jumat (24/4/2020), semua bus Bontang-Samarinda tak lagi beroperasi. Bukan dilarang. Namun karena penumpang yang tidak ada. Ketimbang memaksa operasi tapi penumpang satu dua lantas rugi, pengelola bus memilih setop saja.
“Udah enggak jalan dari 4 hari lalu (24/4/2020), enggak ada penumpangnya,” beber Subair.
Melihat kondisi ini, Subair berharap pemerintah sedikit melirik nasib pengelola bus dan sopir. Dampak corona terhadap mereka terlalu nyata.
“Kami minta dibantu sama pemerintah. Terutama sopir. Harusnya mendapat bantuan BLT,” pungkasnya. (*)






