Kisah Inspiratif Warga Bontang: Tri Lelonowati (134)
Menjadi pekerja sosial tidak boleh hitung-hitungan. Hal ini dipahami benar oleh Tri Lelonowati. Pernah merasakan pahitnya menjadi korban masalah sosial, Tri bangkit dan mencurahkan tenaganya membantu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) atau psikososial di Kota Taman.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Kemandirian sudah tercetak dalam diri Tri sejak berusia remaja. Saat SMA, dia bisa mendapatkan penghasilan sendiri melalui kegiatannya sebagai atlet bola voli. Tim bola voli Pertamina dan BRI pernah dibelanya. Bakatnya di bola voli itu pula yang mengantarkan Tri bekerja di Primer Koperasi Angkatan Laut (Primkopal) di Surabaya sebagai unit toko. Sembari bekerja, dia juga menuntut ilmu di Universitas Bhayangkara Surabaya.
“Saya bekerja sampai lulus kuliah di sana. Berhenti bekerja di tahun 1995 karena waktu itu ingin mendaftar ke Sekolah Perwira Wajib Militer di Jakarta. Tapi sayangnya saya gagal,” kenang Tri.
Di tahun 1997, Tri mengunjungi neneknya di Samarinda. Saat itu, dia iseng-iseng memasukkan surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan yang ada di sana. Dari situlah dia diterima bekerja di diler kendaraan bermotor sebagai kasir dengan penempatan Bontang. Awalnya dia enggan ditempatkan di Bontang yang kala itu belum banyak berkembang.
“Awal-awal berada di Bontang saya tidak betah. Rasanya ingin pulang ke kampung halaman saja. Tapi setelah diajak oleh teman-teman bermain bola voli, akhirnya saya mulai betah. Waktu itu saya ikut bermain bola voli dengan teman-teman dari PIKA PKT,” ungkapnya.
Setelah setahun bekerja di diler tersebut, Tri lantas pindah kerja di perusahaan kontraktor Badak LNG. Dia sempat bekerja sebagai tenaga administrasi di CV Orisa dan CV Setiaguna, masing-masing selama satu tahun. Dia lantas berhenti bekerja di tahun 2002 karena suaminya, Sutaji memintanya untuk fokus mengurus rumah tangga.
Tanpa disangka-sangka, di tahun 2008 tragedi menimpa keluarganya. Sang suami mengalami kecelakaan fatal sehingga tidak mampu bekerja. Selain itu perusahaan sang suami juga tengah dilanda krisis keuangan. Dengan kondisi suami yang tidak bekerja, Tri pun mau tidak mau mesti kembali bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Setelah setahun merawat suami dalam masa pemulihan, saya mulai bekerja sebagai petugas kebersihan, tenaga outsourcing di rumah sakit,” lanjut Tri.
Empat tahun bekerja di sana, Tri mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Gara-garanya, Tri menuntut uang THR dari perusahaan outsourcing tempatnya bekerja. Saat itu sebagai pengawas, dia menyampaikan aspirasi rekan-rekannya. Tuntutan tersebut lantas menjadi aksi mogok kerja. Meski akhirnya perusahaan bersedia membayar THR, namun Tri diberhentikan dari pekerjaannya.
Merasa diperlakukan tidak adil, Tri lantas mengadu ke Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) yang berada di bawah Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dissosnaker) Bontang. Dia meminta pendampingan advokasi untuk menuntut hak-haknya sebagai karyawan. Kasusnya berhasil dimenangkan dan dari situlah dia berkenalan dengan para pekerja sosial di LK3.
“Saya sempat berjualan di pujasera PKT dan bekerja di Bina Insan Mandiri. Baru di tahun 2013 saya mendapat tawaran menjadi pekerja sosial di LK3,” kisahnya.
Potensi yang dimiliki Tri membuat LK3 merekrutnya menjadi pekerja sosial. Sempat menjadi narasumber dalam kegiatan-kegiatan LK3, Tri secara resmi menjadi pekerja sosial LK3 di tahun 2014 dengan posisi penjangkau wilayah Bontang Utara. Meski begitu dengan keterbatasan tenaga yang dimiliki LK3, tak jarang dia menjangkau berbagai masalah sosial di luar penempatannya.
Ketertarikannya menjadi pekerja sosial salah satunya karena pengalamannya sebagai korban masalah sosial. Dia pernah merasakan berada dalam kondisi sulit dan tak berdaya. Dari situlah tumbuh keinginannya untuk bisa membantu korban-korban psikososial lainnya. Menurutnya, menjadi pekerja sosial sudah menjadi panggilan jiwa.
Masalah sosial sendiri memang bukan hal asing dalam kehidupan Tri. Sebelumnya dia sudah terbiasa merawat salah seorang anaknya yang mengalami autisme. Bukannya menyekolahkan di sekolah khusus, Tri bersikeras agar anaknya tersebut, Achmad Rifandi bisa bersekolah di sekolah umum. Sempat ditentang pihak sekolah, Tri bisa membuktikan bahwa anaknya bisa bersekolah di sekolah umum. Bahkan Achmad Rifandi tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berprestasi.
“Saya khawatir bila saya sekolahkan di sekolah khusus malah bisa semakin parah. Alhamdulillah anak saya bisa berprestasi dengan menjadi juara olimpiade fisika dan olimpiade farmasi. Bahkan diterima kuliah di Universitas Airlangga (Unair),” terang perempuan kelahiran Blora, 47 tahun lalu ini.
Tri mengaku menyukai pekerjaannya sebagai pekerja sosial. Karenanya, setiap pekerjaan yang dilakoninya saat ini tidak pernah dijadikan beban. Dia pun paham benar risiko pekerjaannya. Tak pernah terlintas perasaan sedih dalam menjalankan pekerjaannya. Kalau ada, itu karena klien-klien yang dibantunya tidak memiliki data-data kependudukan yang lengkap.
“Banyak yang tidak punya KTP dan KK. Sehingga akhirnya menyulitkan mereka untuk memperoleh jaminan kesehatan. Karena memang bila tidak ada data kependudukan, semuanya akan jadi bermasalah,” sebut Tri.
Menurutnya, banyak pendatang di Bontang yang tidak mengurus administrasi kependudukan. Termasuk surat-surat pernikahan yang sah karena pernikahan terjadi secara bawah tangan. Hal ini menyulitkan ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Di mana pihak istri dan anak-anak menjadi yang paling dirugikan.
“Masih banyak yang kurang peduli mengurus surat-surat kependudukan. Mereka baru mengurusnya ketika sudah terkena musibah lalu menyalahkan pemerintah. Seakan-akan Dinas Sosial tidak peduli. Padahal bukan seperti itu,” jelasnya.
Berbagai permasalahan sosial memang menjadi santapan sehari-hari Tri. Masalah-masalah psikososial seperti KDRT, penelantaran anak, kekerasan seksual, lansia terlantar, penyandang disabilitas, hingga anak berhadapan dengan hukum pernah ditanganinya. Di antara kasus-kasus yang pernah ditanganinya tersebut, berhadapan dengan klien gangguan jiwa menjadi yang paling berkesan.
“Karena tingkah laku mereka itu tidak normal. Tingkahnya aneh-aneh, kadang lucu juga. Pernah saya sampai kejar-kejaran dengan klien saat mendampingi mereka periksa rutin sebulan sekali. Karena klien lari saat akan diperiksa. Saat saya tanya kenapa lari, klien menjawab tidak lari, tapi saya yang mengejar,” cerita Tri sambil tersenyum.
Buat Tri, hal-hal seperti itu justru menjadi seni tersendiri bagi pekerja sosial. Katanya, ada kepuasan batin setelah selesai membantu klien-klien yang bermasalah. Dia merasakan kebahagiaan yang tidak dirasakan di tempatnya bekerja dulu. Khususnya ketika ada klien yang pernah dibantunya memberikan suatu bingkisan sebagai ungkapan terima kasih, sementara dia sendiri sudah lupa dengan klien tersebut.
“Pernah ketika saya pergi ke pasar, saya diberi ikan oleh pedagang disana. Rupanya dia dulu adalah klien saya, padahal saya sendiri sudah lupa. Saya jadi merasa tersanjung, benar-benar dihargai,” kenangnya.
Apa yang dialami oleh para klien menurut Tri merupakan cermin bagi dirinya untuk bisa menjadi lebih baik. Pengalaman-pengalaman kliennya dijadikan bahan pembelajaran. Dari situ dia juga menjadi lebih bersyukur dengan kondisi yang dialaminya saat ini.
Sebagai pekerja sosial, Tri punya prinsip yang teguh dipegangnya. Yaitu tidak boleh hitung-hitungan dalam melakukan pekerjaan sosial. Menurutnya hidup yang ada saat ini sebenarnya sudah dicukupi. Tinggal berapa banyak dia bisa bersyukur. Apalagi dalam kondisi saat ini di mana honornya terpangkas hingga Rp 1 juta. Namun bukan penghalang baginya untuk tetap mengabdikan diri sebagai pekerja sosial.
“Karena tujuan saya murni sosial. Saya percaya di luar itu ada kenikmatan lain yang datang tak disangka-sangka dari Allah. Misalnya anak saya yang diterima di universitas negeri, sehingga biaya kuliah bisa terbantu,” ungkapnya.
Karena itu kapanpun dibutuhkan, Tri akan langsung bergerak menjangkau klien tanpa banyak berpikir. Tak ada pikiran lain kecuali bisa membantu klien yang tengah tak berdaya keluar dari masalahnya. Sejak pagi hingga malam, dia mesti siap kapan saja dibutuhkan. Beruntung keluarganya mendukung penuh apa yang dilakukannya selama ini.
“Suami saya memahami dan mendukung pekerjaan saya. Bahkan saat saya mesti melakukan penjangkauan klien di malam hari, suami ikut terlibat mengantarkan saya ke lokasi. Sementara anak-anak juga mengerti dan bisa mandiri. Saya ceritakan kepada mereka bahwa ada orang-orang yang perlu dibantu dan mereka memahaminya,” tandas ibu dua anak ini. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: