bontangpost.id – Sorotan terhadap lalainya sikap pemerintah daerah menegakkan aturan Perda Nomor 10 Tahun 2012 juga datang dari wakil rakyat Kaltim di Senayan—sebutan gedung DPR di Jakarta. Anggota Komisi V DPR RI Irwan Fecho menyebut, salah satu faktor kerusakan jalan Samarinda–Bontang adalah bebasnya kendaraan over-dimension dan overloading (ODOL) dan hauling batu bara.
“Harusnya gubernur Kaltim dan bupati/wali kota bisa bersikap,” kata Irwan, Kamis (9/12).
Memang dalam praktiknya ada perbedaan kewenangan. Dalam pembangunannya, jalan nasional melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sementara aturan penggunaan ada di Kementerian Perhubungan. Namun, dengan adanya Perda tentang Penyelenggara Jalan Umum dan Khusus untuk Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit itu, pemerintah di daerah bisa bertindak.
“Kami di Komisi V DPR khususnya Fraksi Partai Demokrat sudah berjuang dan konsisten agar pusat melalui APBN bisa digunakan untuk kepentingan jalan-jalan di daerah,” katanya.
Irwan menjelaskan, sebagai juru bicara Fraksi Partai Demokrat dalam Panitia Kerja Pembahasan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, telah memberikan catatan.
Agar terdapat pasal yang mendorong pusat melalui kementerian terkait untuk mengambil alih pelaksanaan urusan pembangunan jalan daerah (provinsi, kabupaten/kota juga desa). Termasuk memberikan dukungan anggaran pembangunan jalan daerah di luar dana transfer ke daerah, dalam hal pemerintah daerah belum bisa melaksanakan wewenang pembangunan jalan sesuai dengan tanggung jawabnya.
“Pasal ini penting. Karena banyak daerah termasuk Kaltim yang kesulitan membangun dan memelihara jalan di luar kewenangan pusat. Meski tiap tahun pemerintah menyalurkan dana alokasi khusus (DAK) untuk perbaikan jalan, namun selalu kekurangan, sehingga banyak jalan dari desa hingga provinsi yang rusak dan tak mendapat penanganan,” jelasnya.
Ditanya apakah kondisi tersebut tidak membebankan APBN? Irwan menegaskan, justru selama ini APBN banyak dihamburkan untuk pembangunan yang proyek-proyek tak penting. Seperti pembangunan jalan tol di Pulau Jawa dan infrastruktur yang tidak mengedepankan pemerataan di daerah-daerah. Khususnya di kawasan terpencil.
Itu sebabnya, ucap dia, Komisi V DPR khususnya Fraksi Partai Demokrat dalam RUU Jalan juga meminta pemerintah memberikan perhatian pada kondisi jalan di berbagai daerah yang perlu perbaikan dan penambahan jalan baru untuk konektivitas antardaerah.
“Dengan cara mempercepat mobilitas barang atau orang, menciptakan sistem logistik yang efisien, dan membuka akses yang menghubungkan seluruh wilayah Indonesia. Terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan tetap memerhatikan pengembangan wilayah sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW),” jelasnya. Kata dia, saat ini RUU Jalan sudah tahap menunggu disahkan melalui sidang paripurna pada akhir tahun ini.
Terkait rusaknya jalan Samarinda-Bontang, Irwan menyebut, atas dorongan Komisi V DPR, pusat telah mengucurkan anggaran perbaikan. Di mana, kata dia, tahun ini telah dicairkan hampir Rp 40 miliar dan tahun depan dianggarkan Rp 140 miliar. Dengan sistem multiyears contract (MYC), total ada Rp 227 miliar yang akan dikucurkan untuk jalan Samarinda-Bontang. “Kami berharap sesuai target 2023, jalan ini sudah mulus,” tuturnya.
DILANGGAR SENDIRI
Dalam rapat koordinasi dengan stakeholder terkait untuk membahas penanganan kerusakan di jalan poros Samarinda-Bontang, awal tahun ini, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Besar Nasional (BBPJN) Kaltim menyebut ada 18 titik jalan hauling yang melintas di poros Samarinda–Bontang.
Padahal, dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 20/PRT/M/2010 tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian-Bagian Jalan, harus ada izin yang diberikan kepada perusahaan dalam menggunakan jalan nasional sebagai perlintasan jalan hauling.
Dalam pengajuan izin tersebut juga terdapat mekanisme agar pihak penambang harus menyerahkan jaminan, yang jika terjadi kerusakan jalan jaminan tersebut bisa dicairkan untuk memperbaiki jalan. Karena itu, selama ini banyak perusahaan tambang di Kaltim menggunakan mekanisme underpassataupun overpass jika jalan hauling-nya melalui jalan nasional.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang menyebut, ada kontribusi Pemprov Kaltim dalam rusaknya jalan Samarinda-Bontang. Sebab, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit, ada tugas gubernur Kaltim sebagai pihak yang diberikan mandat untuk menegakkan perda.
“Sangat jelas dilarang penggunaan jalan umum untuk lalu lintas angkutan batu bara atau kelapa sawit, baik itu IUP (izin usaha pertambangan) dan PKP2B (perusahaan perjanjian karya pertambangan batu bara),” ungkap Rupang, Kamis (9/12).
Seperti dalam Permen PUPR, dalam perda juga sudah memiliki mekanisme underpassataupun overpass jika jalan hauling-nya melalui jalan umum. Dengan kondisi di lapangan, telah terbukti terjadi pelanggaran terhadap perda. Hal itu harusnya disikapi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.
“Sekarang upaya (penegakan perda) itu ada atau tidak? Justru yang terjadi, provinsi mengeluarkan rekomendasi jalan (Samarinda–Bontang) digunakan sebagai perlintasan hauling. Tanpa dibuat underpass maupun flyover,” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, jelas disebutnya, kerusakan jalan Samarinda–Bontang adalah “buah” dari ketidaktegasan dan pembiaran oleh pemerintah daerah. “Artinya pemerintah sendiri yang ‘mengangkangi’ aturannya sendiri. Bukannya menegakkan aturan, justru memberikan celah terjadinya pelanggaran,” imbuhnya.
Kondisi itu disebut harusnya dipandang jeli oleh anggota dewan, baik di DPRD Kaltim maupun DPRD kabupaten/kota. Sebab, meski status jalan nasional, ada kepentingan daerah di dalamnya, sehingga anggota dewan punya kewenangan memanggil pihak terkait seperti gubernur Kaltim untuk mempertanyakan penerapan Perda No 10 Tahun 2012.
“Sekarang apakah anggota dewan di Karang Paci (DPRD Kaltim) punya niat. Harusnya mereka menggunakan hak angket atau hak interpelasi,” ucapnya.
Menurutnya, kerusakan jalan Samarinda–Bontang tidak hanya dipandang sebagai rusaknya sebuah infrastruktur. Melainkan komitmen pemerintah dalam menjaga wajah daerah. Karena jalan itu tidak hanya menjadi akses utama arus distribusi barang dan manusia dari utara dan selatan Kaltim, namun di dalamnya terdapat fasilitas penting lain. Seperti Bandara APT Pranoto di Samarinda. “Harusnya pemerintah serius dalam mengatasi kerusakan kambuhan ini,” ujarnya.
Celakanya, kata dia, mitigasi dan tindakan yang dilakukan hingga saat ini hanya bersifat penyelesaian di hilir. Sementara di hulu atau penyebab kerusakan tidak ditangani secara menyeluruh. Di sisi lain, ada instrumen hukum yang belum juga bergerak. Dalam hal ini kepolisian sebagai perangkat penegak hukum menindak pelanggaran yang terjadi.
“Padahal jelas dalam UU No 38/2014 Pasal 63 ayat 1, ada sanksi pidana dan denda yang diberikan oleh orang yang mengganggu fungsi jalan secara sengaja,” ujarnya.
Disebut dalam Pasal 63 (1), setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Tidak hanya itu, dalam Pasal 192 KUHP menyebut, barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membuat tak dapat dipakai bangunan untuk lalu lintas umum, atau merintangi jalan umum darat atau air, atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan atau jalan, itu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila perbuatan itu dapat menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu lintas.
“Harusnya Polda Kaltim bergerak karena kondisinya sudah memenuhi syarat pidana,” ucapnya.
Selain itu, Rupang menjelaskan, dari sisi BBPJN Kaltim seharusnya bisa ikut andil dalam membereskan masalah ini. Sebab, pasti dalam laporan hasil ada penyebab mengapa kerusakan jalan bisa terjadi. Dan ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
BBPJN Kaltim bisa melapor ke Kementerian PUPR dengan tujuan bisa dikoordinasi ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Untuk bisa mengeluarkan kebijakan terhadap usaha pertambangan di sekitar poros Samarinda–Bontang. Termasuk melibatkan kementerian lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Karena dari usaha pertambangan di wilayah tersebut berdampak pada tidak mampunya daya dukung lingkungan hingga mengakibatkan bencana yang terus berulang,” jelasnya.
Jatam Kaltim sudah pernah merekomendasikan. Di antaranya, radius 10 kilometer di sepanjang jalan di Tanah Datar dibebaskan dan dijadikan zona penyangga. Artinya, dilakukan penciutan kawasan konsesi pertambangan yang dimiliki PT Lana Harita. Itu sebenarnya bisa dilakukan. Karena pengalaman sebelumnya, perusahaan ini sudah pernah menciutkan konsesinya di sekitar Bandara APT Pranoto di Samarinda.
“Cek pula izin tambang lain di sepanjang jalan tersebut. Kalau memang sebentar lagi habis lebih baik tidak diperpanjang. Karena dengan perbandingan royalti atau penerimaan negara yang masuk ke pemerintah dari perusahaan-perusahaan ini, apakah sebanding dengan anggaran untuk perbaikan kerusakan jalan dan dampak lainnya? Menurut saya tidak sebanding,” ungkapnya. (rom/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post