SAMARINDA – Bagi masyarakat yang hidup berdekatan dengan tambang batu bara, makna peringatan hari kemerdekaan cukup sederhana, yakni pemerintah dapat mengembalikan hak hidup mereka di lingkungan yang bersih dan nyaman. Begitu pula yang diharapkan warga RT 24, Kelurahan Sangasanga Dalam, Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Demi memperingati hari kemerdekaan RI ketujuh puluh tiga, ratusan warga setempat, Jumat (17/8) kemarin, memperingati hari kemerdekaan di lokasi penambangan batu bara yang dikuasai CV Sangasanga Perkasa (SSP).
Sejak pagi, peserta upacara sudah berdatangan di lokasi tambang. Mereka rela meninggalkan pekerjaan di perusahaan, pasar, dan kegiatan harian yang biasanya dilakoni di kelurahan yang dikelilingi tambang batu bara itu.
Para ibu-ibu membawa bayi dan anak-anak mereka. Kaum hawa itu insaf bahwa harapan hidupnya selama ini terancam di tengah arus pengepungan yang dilakukan tambang batu bara. Bukan tanpa alasan, sebab bertahun-tahun mereka kerap kesulitan mendapatkan air bersih, saban tahun kebanjiran, dan lingkungan yang disertai polusi.
Lalu warga dengan penuh kesadaran mengikuti kegiatan tahunan tersebut. Mereka meninggalkan semua pekerjaan harian mereka. “Mereka yang bekerja di perusahaan mengajukan izin. Sedangkan yang biasa berjualan di pasar, memutuskan untuk libur,” kata koordinator upacara, Muhammad Zainuri.
Upacara peringatan hari kemerdekaan Indonesia, kata Zainuri, di areal tambang sebagai sinyal dan pesan tidak langsung pada pemerintah daerah dan pemerintah pusat, bahwa selama ini sudah terjadi kerusakan lingkungan yang parah, di balik aktivitas tambang emas hitam yang dilakukan CV SSP.
“Meski Indonesia sudah merdeka, tetapi warga RT 24 merasa masih terjajah oleh pemodal. Sebab pemerintah lebih memihak kepada pemilik modal ketimbang jerit ketakutan warga RT 24 terhadap bahaya kerusakan lingkungan akibat tambang yang semena-mena,” tegasnya.
Menurut dia, selama ini warga setempat telah berulang kali mengingatkan pemerintah agar menindak tegas pemilik perusahaan tersebut. Namun, sayangnya belum ada respons yang mengarah pada pemenuhan tuntutan.
Pun demikian, demonstrasi dan pertemuan dengan pemerintah, seolah dianggap angin lalu. Padahal, keterlambatan penyelesaian masalah tersebut, dapat berimbas pada pembiaran munculnya konflik horizontal antara warga dan pemilik perusahaan.
“Apabila pemerintah memaksakan CV SSP tetap beroperasi, maka dipastikan akan terjadi konflik yang lebih besar lagi. Karena warga sudah sepakat untuk melawan tambang,” tegasnya.
Memang aktivitas tambang di wilayah yang rentan terjadi banjir itu telah membuat warga kehilangan banyak ruang penopang hidup. Sejak 2014, warga dituntut untuk hidup tanpa air bersih, juga banjir yang telah menggangu aktivitas ekonomi.
“Sekarang sumber air tanah sudah sulit dicari. Orang-orang sudah enggak bisa dapat air dari tanah. Bahkan untuk memasak sekalipun, harus beli air,” bebernya.
Lalu kemarin, ketika peringatan hari kemerdekaan, aktivitas pertambangan di wilayah itu hilang seketika. Padahal, di awal Agustus lalu, tumpukan batu bara masih menggunung di areal tersebut.
Padahal jauh sebelum itu, sejak 25 Juli 2018, CV SSP telah dilarang beraktivitas di lahan itu. Perusahaan diminta melengkapi dokumen persyaratan berupa izin lingkungan, pembuangan air limbah, serta pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3).
Selain itu, CV SSP juga diharuskan melakukan penataan lahan untuk mengakomodir limpahan air. Sehingga aktivitas perusahaan tidak membawa dampak banjir di RT 24.
“Kemudian CV SSP harus membuat peta water management dan segera membuat setlingpond dengan memperhitungkan antara tangkapan air atau catchment area dengan kapasitas tampung,” sebutnya.
Kata dia, alih-alih melaksanakan kesepakatan antara warga dan pemerintah, belakangan muncul sejumlah mobil truk mengangkut batu bara. Emas hitam itu diduga akan dibawa ke Kecamatan Palaran, Samarinda.
Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Kaltim, pernah bereaksi atas kasus yang menimpa warga tersebut. Bahkan pada 3 Agustus lalu, CV SSP diberikan peringatan terakhir untuk menjalankan tanggung jawabnya.
“Oleh karena itu, warga RT 24 menuntut agar CV SSP diberi sanksi tegas dengan dicabut IUP (Izin Usaha Pertambangan, Red.) dan izin operasionalnya,” saran dia. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post