bontangpost.id – Saban akhir Mei, tepatnya tanggal 29, Hari Anti Tambang diperingati. Memang, ketika berbicara Kaltim, maka tak bisa lepas dari urusan pertambangan. Sebab, lebih setengah produksi batu bara di Indonesia, berasal dari Kaltim. Sayangnya, yang dikeruk dari perut Bumi Etam dinilai tak sepadan dengan dampak yang dihasilkan.
Dari data Badan Pusat Statistik, pada 2020 misalnya, produksi batu bara di Kaltim mencapai 187,8 juta ton. Terdiri dari 114, 3 juta ton produksi perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 73,5 juta ton produksi IUP.
Akibat produksi ratusan juta ton tiap tahun, Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim mencatat kerusakan akibat pertambangan sangat jelas terjadi di Kaltim. Termasuk hilangnya nyawa-nyawa di lubang-lubang tambang yang tak bisa dibendung dan terus terjadi setiap tahun.
“Aneka peraturan yang dilanggar, tidak adanya penegakan hukum, penelantaran kasus-kasus yang dilaporkan, hingga pembiaran aktivitas tambang ilegal serta peralihan tanggung jawab dari daerah ke pusat yang masuk dalam undang-undang predator terus menggerus ruang hidup rakyat karena disusun atas kepentingan para oligarki, bukan kepentingan rakyat,” terang Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang.
Di Kaltim telah terbit izin tambang sebanyak 1.404 IUP dan 30 PKP2B, yang secara total mengaveling 5,2 juta hektare lahan. Di luar tambang, Kaltim sudah penuh sesak dijejali perkebunan kelapa sawit dengan jumlah 405 izin, mencakup luasan 2,8 juta hektare. Juga, perizinan perambahan hutan yang telah mengambil ruang jutaan hektare.
Buyung Marajo dari Pokja 30 menambahkan, tampak langkah pemerintahan Joko Widodo begitu ramah terhadap pebisnis tambang. “Bahkan, keuntungan yang diperoleh negara tidak sebanding dengan anggaran untuk memulihkan lingkungan di Kaltim,” jelasnya.
Uang yang kembali ke Kaltim pun dinilai tak sepadan. Wagub Hadi Mulyadi mengeluhkan APBD Kaltim paling tinggi itu pada 2012, sebanyak Rp 15 triliun. Hingga sekarang tidak pernah lagi menyentuh angka tersebut. Tahun ini pun, hanya Rp 12 triliun.
“Ditotal dengan dana alokasi khusus (DAK) dan sebagainya, paling Rp 22–23 triliun saja. Sedangkan, di Jawa bisa ratusan triliun. Kita pernah ajukan soal kenaikan DBH, tapi ditolak MK. Sekarang sedang diperjuangkan di UU HKPD (Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah),” jelas Hadi.
Sementara itu, di Kaltim ada 30 PKP2B. Walaupun belakangan ternyata diketahui PKP2B yang aktif hanya 17. Namun, pertambangan masih luas karena belum termasuk pemegang izin usaha pertambangan (IUP).
“Jadi memang tidak ada komunikasi yang baik. Ini harus kita gugat. Artinya bukan apa-apa, kita terlalu banyak memberikan ke negara. Tahun 2021, kamu tahu, ekspor terbesar setelah Jabar (Jawa Barat) adalah Kaltim. Ini luar biasa kita membantu negara. Tapi kembali ke kita kok tidak memadai,” keluh Hadi.
Maka dari itu, menurut dia, wajar jika Gubernur Isran Noor meminta persentase pembagian DBH fifty-fifty. Akses informasi terkait PKP2B pun diakui Hadi cukup sulit. Ketua DPRD Kaltim Makmur HAPK sebelumnya pun mengeluhkan kepada media, pihaknya tak bisa masuk menelisik informasi detail soal tambang. Padahal, tambang itu mengeruk di Kaltim. “Karena semuanya diambil alih pusat,” jelasnya.
Soal transparansi ini, memang sudah jadi masalah. Jatam Kaltim pun sebenarnya sudah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Jokowi dengan maksud agar presiden melaksanakan putusan Komisi Informasi Pusat yang telah diputus dalam sidang 20 Januari 2022.
Untuk diketahui, Jatam Kaltim sebelumnya mendaftarkan penyelesaian sengketa informasi publik pada 17 November 2020 kepada Komisi Informasi Pusat dan terdaftar dengan Nomor Perkara: 25/XI/KIP-PS-A/2020. Pada 20 Januari 2022 hakim KIP memutuskan dokumen yang Jatam Kaltim mohonkan adalah dokumen terbuka sehingga dan oleh karena itu dapat diakses pemohon.
“Sungguh ironis di negara yang mengaku menjunjung transparansi dan keterbukaan informasi, yang terjadi malah sebaliknya putusan KIP yang memenangkan permohonan Jatam Kaltim diabaikan oleh ESDM RI, dengan dalih informasi yang diminta masuk kategori rahasia. Padahal, warga di lingkar tambang sehari-hari menghirup udara polutan debu tambang, mandi dan minum air racun tambang. Sungai, rawa, dan pesisir pantai diracuni dengan batu bara serta logam mineral. Masih juga warga di lingkar tambang tidak boleh mengetahui informasi hak dan kewajiban perusahaan yang tertuang di kontrak,” tegas Rupang. (dwi/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: