Penulis:
Yudha Pratama Putera, SH
Tim Asistensi Bawaslu Kaltim 2013 – 2017
Tahapan Pilkada serentak Tahun 2018 telah sampai pada tahapan penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilaksanakan pada 12 Februari 2018 lalu. Penetapan pasangan calon Kepala Daerah telah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten/Kota di 171 daerah. Namun pergerakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini membuat diantara 171 daerah tersebut terselip beberapa nama yang berstatus sebagai tersangka, karena terjerat dugaan kasus korupsi seperti calon Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), calon Bupati Jombang, dan yang terbaru ialah Bupati Kabupaten Subang yang kembali mencalonkan diri sebagai calon Bupati Kabupaten Subang periode selanjutnya.
Terhadap para calon Kepala Daerah yang berstatus tersangka ini KPU telah memberikan penjelasan, bahwa mereka tetap dapat maju sebagai calon Kepala Daerah untuk dipilih rakyatnya pada 27 Juni 2018 nanti. Tetapi masyarakat awam tentu mengerutkan dahi sambil berpikir mengapa pihak yang disangkakan terjerat kasus hukum tetap dapat disajikan di atas surat suara untuk mereka pilih di TPS pada hari pemungutan suara nanti ?. Bukankah salah satu tujuan penyelenggaraan Pemilu ini untuk memberikan pendidikan politik yang positif kepada seluruh elemen masyarakat, mendidik kah hal ini ?.
Jika kita menilik kepada aturan main Pilkada yaitu Undang-Undang 1 Tahun 2015 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang 10 Tahun 2016, ternyata tidak mengatur bahwasanya seorang tersangka tidak dapat maju sebagai calon Kepala Daerah. Sehingga KPU sebagai penyelenggara Pemilu tentu tidak dapat disalahkan dalam hal ini, mereka dibentuk untuk melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan oleh DPR beserta Pemerintah, Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan Pemilu juga tidak memiliki dasar untuk mengeluarkan rekomendasi atau keputusan agar KPU tidak menetapkan seseorang yang berstatus sebagai tersangka menjadi calon Kepala Daerah.
Menurut pandangan saya, mengapa seseorang yang berstatus tersangka tetap dapat maju sebagai calon Kepala Daerah, karena mungkin terdapat dua semangat saat merumuskan aturan main Pilkada, yang pertama ialah Pemerintah bersama legislator mengedepankan asas Presumption of Innocence alias praduga tidak bersalah, tetapi jika kita pahami asas tersebut lebih dalam maknanya ialah seorang tersangka mesti dijamin hak-haknya seperti hak mendapat pembelaan, hak diperlakukan secara adil, atau hak untuk berbicara dan lain sebagainya.
Tetapi bukankah penegak hukum dalam menetapkan status tersangka, berarti telah menganggap seseorang tersebut diduga kuat telah melakukan kejahatan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. Semangat yang kedua ialah pembuat undang-undang mencoba mengakomodir terhadap probabilitas vonis hakim, yang mana masih terdapat ruang kepada seorang terdakwa diputus bebas atau lepas (onslag).
Tetapi di Negara yang gencar melaksanakan pemberantasan korupsi sangat kecil persentase yang akan kita temukan seorang terdakwa tindak pidana korupsi divonis bebas oleh majelis hakim ditambah lagi proses menuju putusan tetap Pengadilan perlu proses panjang yang akan merugikan si calon Kepala Daerah.
Kemudian apakah status tersangka masih menguntungkan bagi seseorang yang ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah, jawaban terbesarnya ialah TIDAK. Kita sangat meyakini hati kecil mereka pasti akan memilih untuk tidak maju sebagai calon kepala daerah. Karena ibarat pertandingan sepakbola, mereka bermain di lapangan tidak berjumlah sebelas pemain, memang masih mungkin memenangkannya tetapi perlu sebuah faktor dan keberuntungan yang luar biasa, contohnya mengajukan praperadilan dan hakim mengabulkannya. Tetapi faktor status tersangka sangat berat mengingat akan menjadi target empuk bagi lawannya, apalagi jika ditahan maka terdapat kerugian tidak dapat hadir saat kegiatan kampanye, tidak hadir dalam kegiatan debat publik ditambah respon pemilih akan sangat buruk terhadap calon yang tersangkut kasus korupsi menjadi jalan terjal yang hampir mustahil dilalui oleh sang tersangka. Hal tersebut masih belum mempertimbangkan strategi parpol pengusung yang akan menarik dukungannya. Dimana asas adil bagi calon kepala daerah jika seperti ini ?.
Calon kepala daerah juga tidak dapat mengundurkan diri berdasarkan status tersangkanya, hal ini akan menimbulkan kerugian politik bagi Parpol pengusung karena jika calon kepala daerah mengundurkan diri atau Parpol menarik pasangan calon yang diusung maka Parpol tidak dapat mengajukan calon pengganti. Lebih baik Parpol pengusung berharap terdapat putusan tetap Pengadilan yang dijatuhkan 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara atau lebih cepat sehingga Parpol pengusung dapat melakukan penggantian calon kepala daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) jo. Pasal 79 ayat (2) huruf c Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah.
Pada akhirnya sudut pandang etika yang akan melengkapi faktor-faktor pemberat bagi calon Kepala Daerah berstatus tersangka yang berkompetisi pada pelaksanaan pilkada. Setiap elemen yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada seperti penyelenggara, peserta dan pemilih akan sepakat bahwa calon kepala daerah yang berstatus tersangka tidak lagi memenuhi syarat secara etika untuk mengikuti ganasnya pertarungan di Pilkada.
Hal yang baik saja bisa jadi buruk apalagi hal yang memang buruk pasti akan bertambah buruk saat masa kampanye. Citra diri calon Kepala Daerah akan jatuh dimata pemilih serta fokus sang tersangka yang telah berpindah dari bagaimana memenangkan gelaran Pilkada ke bagaimana mendapatkan keadilan di ruang sidang.
Saya mengapresiasi ajakan Kapolri agar menunda proses hukum kepada pihak yang diduga kuat terjerat kasus hukum, sedikit banyak hal ini akan membantu pelaksanaan Pilkada berjalan dengan adil.
Namun bagi sang tersangka, Pilkada akan semakin berat dilalui, cukuplah mereka disibukkan dengan proses hukumnya, cukuplah orang-orang yang memiliki citra bersih dari proses hukum, bersih dari perbuatan tercela yang maju sebagai Kepala Daerah. Masyarakat tidak perlu dihadapkan kepada pilihan yang tidak baik meskipun secara etika saja apalagi yang benar telah melanggar hukum. Asas adil akan susah menghampiri sang calon Kepala Daerah bergelar tersangka. Lebih baik sekarang kita mulai duduk bersama untuk mencari jalan keluar terhadap permasalahan ini. Ini semua demi kebaikan demokrasi kita bersama. (**)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: