Hoax. Kata ini menjadi tren saat ini. Jika diartikan ke bahasa Indonesia, artinya tipuan atau bohong.
***
Di era digital, demokrasi seolah telah berpindah ruang. Jika dulu hanya di ranah publik, kini merambah online. Karena aksesnya mudah, masyarakat pun dapat menyuarakan pendapatnya dengan sebebas-bebasnya via dunia maya.
Media mainstream yang bergerak di bawah Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dibuat tak berdaya. Banyak yang memilih menyuarakan pendapatnya di media sosial (medsos) karena tidak adanya “remnya”. Berbeda dengan media resmi yang masih berpedoman dengan UU dan kode etik.
Celakanya, tidak sedikit masyarakat yang justru memakan mentah-mentah informasi di dunia maya, tanpa mengecek kebenarannya. Tak jarang, ketika mengedepankan kebebasan berpendapat, justru banyak yang tersandung pada masalah hukum. Mulai dari pencemaran nama baik, penodaan agama, ancaman, hingga ujaran kebencian.
Sampai-sampai, Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo berang. “Fitnah, ujaran kebencian dan kata-kata kasar di media sosial semakin meresahkan masyarakat. Perlu penegakkan hukum yang tegas dan keras,” cuit Jokowi–sapaan akrabnya–di akun Twitter-nya, @jokowi, akhir Desember 2016 lalu.
Ketidaksabaran Jokowi terhadap kejahatan siber mendorongnya membuat rapat terbatas dengan jajaran kabinetnya. Menurut Jokowi, keterpaparan masyarakat terhadap berita hoax tanpa sumber jelas, judul provokatif, mengandung fitnah, pencemaran nama baik hingga ujaran kebencian, berada di tingkat darurat. Sehingga, perlu ditindak tegas.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencengangkan. Penyebaran berita hoax di dunia maya tak terkendali. Tercatat, ada hampir 800 ribu situs yang menyebarkan berita bohong. Sementara data komunitas Masyarakat Indonesia Anti-Hoax, setiap hari bisa menemukan 30 informasi bohong di medsos.
Berita hoax tersebar cepat karena penggunaan internet di Indonesia yang tinggi. Pengguna 2016, mencapai 132 juta orang. Data itu dirilis Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Polri pun menjadikan hoax sebagai atensi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun memerintahkan tiap Polda membentuk tim cyber. Bahkan, yang terbaru akan dibentuk Direktorat Cyber yang akan menangani berita hoax di media maya. “Yang pimpin jenderal bintang satu,” kata Tito, seperti dikutip Jawa Pos beberapa waktu lalu.
Lalu apa penyebab berita hoax begitu banyak di Indonesia? Masih menurut APJII, budaya orang Indonesia yang bangga ketika dapat menyebarkan berita pertama kali menjadi salah satu sebabnya. Lucunya, orang Indonesia tidak mengecek dulu kebenaran beritanya. Apakah itu berita benar atau tidak. Makanya, berita hoax begitu menjamur.
Faktor lainnya, tentu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang penerapannya kurang maksimal. Namun, kini sudah ada revisi UU ITE. Harapannya, UU tersebut menjadi instrumen hukum yang bisa memberantas kejahatan siber secara adil dan tegas.
Pertanyaan lainnya, mampuka produk hukum kita mengadang laju kejahatan siber? Tidak.
Butuh peran serta semua elemen untuk memberantas hoax. Tak hanya dengan produk hukum, namun juga dari kesadaran masyarakat itu sendiri.
***
Bontang sendiri sudah memiliki satuan kerja perangkat daerah (SKPD) baru. Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik namanya. Diskominfo panggilannya. Saat ini, SKPD yang merupakan pecahan dari Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika (Dishubkominfo) itu dipimpin Drs Dasuki MSi.
Beberapa waktu lalu, kami terlibat percakapan serius melalui aplikasi pengirim pesan lintas platform. Sesaat setelah dilantik, beliau bertanya kepada saya. “Apa yang bisa dikerjasamakan dengan Kominfo,” tanya Dasuki.
“Bagusnya dilakukan penertiban web. Masa yang memiliki legalitas, sama-sama beredar dengan yang lain (tidak punya legalitas, Red.). Padahal, sudah ada ketentuan yang mengatur. Salah satunya, semua media pers, baik itu elektronik maupun cetak harus terdaftar di Dewan Pers,” jawab saya.
Ternyata, Pak Das–panggilan akrab saya ke Dasuki–mendapat respon positif. “Sip. Ilmu baru. Nanti saya belajar di Kominfo dulu,” sahutnya.
Tugas Diskominfo memang berat. Walau baru terbentuk dan “kabarnya” belum punya kantor, namun pekerjaan rumah (PR) sudah menanti. Pasalnya, “virus” hoax di Bontang juga cukup meresahkan. Mulai dari isu mistik, politik, hingga upaya penipuan mengatasnamakan pejabat.
Media penyebaran berita hoax di Kota Taman dilakukan melalui portal-portal berita dan medsos. Portal berita memproduksi konten hoax dengan beberapa tujuan.
Tenggelamnya masyarakat dalam euforia demokrasi, teknologi informasi, dan globalisasi juga berdampak pada bagaimana kita memraktikkan kebebasan berpendapat di dunia maya. Kita jadi lebih berani untuk mengkritik sesuatu yang kita anggap salah, dan menyampaikan opini yang kita anggap benar.
Kita juga jadi merasa bebas untuk sekadar curhat sebagai bentuk ekspresi diri. Tapi kadang, hal tersebut justru tak berkenan bagi mereka yang “mungkin” merasa tersinggung dengan apa yang kita unggah. Dengan dalih pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penodaan agama, ataupun pengancaman.
Untuk itulah, sebagai masyarakat yang taat hukum, kita tidak boleh kebablasan saat memanfaatkan situs jejaring sosial atau layanan internet. Kita semua berharap bahwa masyarakat akan lebih dilindungi dari penggunaan negatif internet seperti nformasi menyesatkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, tetaplah bijak ketika menggunakan internet. Jangan mudah percaya terhadap semua berita atau kabar yang dibaca. Periksa kembali kebenaran suatu berita dengan membandingkannya dari sumber lain, dan jangan sebarkan ulang apabila dirasa berita itu tidak benar.
Segera lapor jika menemukan berita hoax agar dapat ditindaklanjuti. Anggaplah internet itu sama dengan dunia nyata yang mana ada etika-etika kebaikan yang harus dipatuhi. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: