Oleh: Dahlan Iskan
Teman-teman saya di luar negeri ternyata mengikuti disway. Di negara masing-masing. Berkat jasa Google Translate.
Mereka pun mengadu. Saat server Disway “jebol”. Kebanyakan yang akses. Dua minggu lalu.
Mereka mengadu. Tidak bisa lagi mengakses Disway. Teman Singapura kirim WA. Teman Tiongkok kirim WeChat. Teman Korea kirim KakaoTalk. Teman Amerika kirim email: mengapa tidak bisa lagi akses Disway.
Mereka pun mengkhawatirkan saya. Tidak menulis lagi? Ada masalah?
Maka saya jelaskan jalan keluarnya. Mengikuti petunjuk Mas Joko Intarto. Yang mengelola Disway: hapus dulu semua history. History akses Disway.
Biasanya pemilik HP berkapasitas besar malas cuci gudang. Merasa di zona aman. Maka sambil bercanda saya anjurkan kepada mereka: zuhudlah. Pakailah HP berkapasitas 16GB saja. Agar rajin bersih-bersih. Sehari dua kali. Sambil mandi, eh, setiap habis mandi.
Akhirnya gol. Bisa akses kembali. Namun masih ada persoalan. Penerjemahannya tidak praktis lagi. Dulu, begitu klik translate semua berubah ke bahasa Inggris. Termasuk setelah klik “read more” sekali pun.
Tapi setelah server lebih besar tidak begitu. Di tampilan awal semua berubah ke bahasa Inggris. Namun begitu klik “read more” artikel lengkapnya kembali dalam bahasa Indonesia. Mereka harus menproses translate sendiri. Mas Joko akan memperbaikinya.
Selanjutnya saya pun ingin tahu: apakah penerjemahan profesor Google cukup baik?
Rupanya ada masalah besar. Untuk menerjemahan naskah berbahasa Indonesia ke Inggris. Padahal tidak untuk sebaliknya.
Rupanya saya juga harus belajar lagi. Bagaimana menulis yang benar. Dari kacamata Google.
Misalnya kisah tentang wanita yang menjadi penumpang pesawat South West Airlines itu. Yang separo badannya kesedot udara.
Kalimat pertama saya kan begini: Saya dapat tempat duduk di dekat jendela. Gak ada masalah kan? Mengerti maksudnya kan?
Google ternyata menerjemahkannya begini: I can seat by the window. Hahahaaa. Kalimat Google tersebut menjadi tidak bisa dimengerti. Kata “dapat” diterjemahkan menjadi “can”. Google benar. Sebenarnya.
Rupanya saya harus introspeksi: baiknya saya jangan menggunakan kata “dapat” dalam kalimat seperti itu. Saya harus pakai kata “mendapat”. Begitu kata “dapat” saya ubah “mendapat” saya coba masukkan Google Translate. Hasilnya bagus: I got seat by the window.
Persoalan saya: kalau saya ubah kata “dapat” menjadi “mendapat” kalimat saya terlalu resmi. Terlalu formal. Menjadi kalimat bahasa Indonesia yang baik dan benar. Taste-nya berubah. Terasa tidak lincah. Tidak renyah. Tidak gurih.
Padahal saya menulis ini untuk pembaca Indonesia. Yang suka gurih dan renyah. Saya masih mikir apakah harus tepo sliro ke Google. Atau justru berharap Google yang mau mengalah. Dengan memperbanyak pengetahuan tentang kata yang punya dua makna seperti itu.
Demikian juga kalimat seperti ini: Penumpang yang kebetulan perawat …. Terjemahannya tidak bisa dimengerti. “Penumpang” diterjemahkan “passanger”. Betul. Tapi dalam bahasa Inggris mestinya “ a passanger”. Ada huruf “a” di depannya.
Adakah kelak saya harus menulis “seorang penumpang….” untuk memenuhi keinginan Google? Rasanya saya keberatan. Melanggar prinsip ekonomi kata dalam membuat kalimat. Boros kata.
Ya sudahlah. Semua itu adalah urusan saya dengan Google. Bukan persoalan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Saya akan berusaha menyelesaikannya dengan Google. Sayangnya mungkin Google merasa tidak punya persoalan dengan saya.
Apalagi persoalan yang lebih besar masih banyak. Bukan persoalan saya lagi. Juga bukan persoalan Google. Ini masalah miskinnya bahasa Indonesia. Harus kita perkaya.
Terutama di zaman penerjemah bukan lagi manusia. Misalnya kata “dia”. Tidak ada “dia” yang mewakili wanita dan “dia” yang mewakili pria. Semua hantam kromo: pokoknya dia. Padahal di bahasa Inggris ada he dan ada she.
Dalam bahasa Mandarin pun juga dibedakan. Dia untuk laki-laki ditulis 他. Dia untuk perempuan ditulis 她. Tahu bedanya kan? Untuk wanita goresan di depannya ada lubangnya. Coba perhatikan. Perhatikan huruf Mandarinnya itu, maksud saya. Bukan perhatikan wanita yang lagi menghadap ke Anda.
Gara-gara “dia” yang seperti itu tulisan saya pun jadi kacau. Setelah diterjemahkan Google. Misalnya waktu laki-laki bertopi cowboy menarik kaki wanita itu. Yang kesedot jendela itu. Setelah jadi kalimat Inggris benar-benar tidak bisa dimengerti. Karena apa? Kata “dia” di situ diterjemahkan menjadi “he”. Menjadi: laki-laki bertopi cowboy itu menarik kakinya sendiri! Untuk apa dia (laki-laki) menarik kakinya sendiri? Padahal yang kesedot jendela adalah dia si penumpang wanita? Eh, SEORANG penumpang wanita?
Ayo kita berubah.
Ayo kita putuskan: kita ubah sendiri. Gak usah tunggu peraturan pemerintah. Ayo kita bedakan “dia” dan “ia”. Yang selama ini artinya sama.
Kita ubah sekarang. Gak (eh, tidak) usah tunggu (eh, menunggu) Kepres. Kita putuskan begini: “Dia” untuk laki-laki. “Ia” untuk perempuan. Beres. Gitu saja kok repot. Kepresnya bisa menyusul. Kapan-kapan. Kalau kepikiran. Pasti Google senang. Bahasa Indonesia pun bisa kian modern. (dis)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post