Merawat kesenian dan kebudayaan daerah dari generasi ke generasi terus dilakukan kelompok sanggar Bina Seni Budaya Indonesia (BSBI) Samarinda. Kecintaan terhadap budaya lokal jadi modal BSBI menghadapi pasang surutnya perjalanan melestarikan berbagai kesenian daerah.
DEVI NILA SARI, Samarinda
Keberadaan sanggar BSBI Samarinda tak bisa dilepaskan dari sosok lelaki bernama Asrani. Dialah pendiri dan perintis di balik lahirnya BSBI pada tahun 1992 silam hingga tetap kokoh berdiri hingga saat ini.
Kata Asrani, hadirnya BSBI sebagai wujud keprihatinan dirinya terhadap pentingnya melestarikan kebudayaan daerah. Melalui sanggar tersebut, Asrani tidak ingin seni budaya lokal punah dimakan zaman.
Dia mengakui, kesenian tradisional sangat jauh tertinggal dengan kebudayaan modern. Walau begitu, Asriani berkeyakinan, sepanjang kesenian tradisional dirawat dan dilestarikan, kapan pun dan di mana pun pasti tetap terjaga.
“Seperti tarsul, budaya daerah ini sudah mulai ditinggalkan masyarakat. Tugas para generasi mudah menjaga dan melestarikannya. Ya salah satunya dengan keberadaan BSBI, kami ingin mengenalkan dan melestarikannya,” kata Asrani ditemui di kediamannya di Jalan Kemakmuran, Gang PLN, Samarinda, Ahad (20/5) kemarin.
Walau begitu, untuk melestarikan kesenian tradisional tidak mudah. Pasalnya, di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, banyak orang yang sudah mulai memandang sebelah mata pada kesenian tradisional.
Sebagai perbandingan, pada beberapa pementasan kesenian, upah yang didapatkan para pelaku kesenian nilainya sangat kecil. Walau begitu, melalui BSBI, Asrani tetap menaruh kepercayaan, kesenian tradisional akan kembali mendapatkan ruang di masyarakat.
Dijelaskannya, BSBI didirikan 4 Maret 1992 dan berada di bawah naungan Yayasan Bina Budaya Kaltim. Untuk yayasannya didirikan 14 Agustus 2003. Yayasan dibentuk supaya BSBI memiliki landasan hukum.
“Sehingga memudahkan para anggota tampil di berbagai daerah. Baik lokal, provinsi, dan internasional,” sebutnya.
Ditanya mengenai dukungan dana terhadap yayasan yang dia pimpin, Asrani mengaku semuanya berasal dari dana pribadinya. Namun karena faktor usia, sehingga Asriani tidak bisa mengurus semuanya sendiri.
Dalam hal ini, keluarganya seperti istri dan anak dilibatkan membantu untuk melatih tari dan musik. “Banyak juga asisten lain yang turut membantu melatih anak-anak menari dan bermain musik,” urai Asriani.
Dia mengakui, dalam mengembangkan sanggarnya memang terkendala pembiayaan. Tak jarang, akibat kecilnya bayaran saat pentas, para penari dan pemusik tradisional dibayar dengan harga di bawah standar. Sehingga tidak jarang Asriani harus mengeluarkan dana pribadi untuk membayar para penari. “Bahkan pernah kami tidak dibayar,” tambahnya.
Untuk itu, Asriani berharap ada sentuhan bantuan dari pemerintah. Dia ingin para pelaku kesenian tradisional bisa mendapatkan perhatian khusus. Karena bisa jadi peminat kesenian daerah akhirnya menjadi semakin berkurang karena tidak didukung anggaran yang memadai.
Dalam mengembangkan sanggar seninya, biasanya Asrani mengadakan pelatihan. Pelatihan digelar setiap Jumat dan Minggu malam di kediamannnya yang juga digunakan sebagai lokasi sanggar seni BSBI.
Dia menyebut, jumlah mereka yang pernah belajar di sanggar BSBI sejak didirikan tahun 1992 silam telah mencapai 700 orang. Namun untuk mereka yang benar-benar aktif dan sering ikut pementasan, kini tersisa 20 orang.
Sedikitnya yang masih aktif menurut Asriani merupakan hal yang wajar. Mengingat banyak di antara mereka yang pernah berpayung di BSBI rata-rata telah dewasa. Bahkan ada yang sudah menikah dan punya anak.
BSBI Samarinda sendiri, kata Asrani, sejak didirikan telah banyak menghasilkan prestasi membanggakan. Baik di tingkat Kaltim, nasional maupun mancanegara. “Kami aktif mengikuti kegiatan lokal maupun internasional. Seperti di Samarinda sendiri Festival Mahakam dan Festival Kemilau. Kami juga pernah tampil di beberapa negara seperti Belanda, Jerman, dan Vietnam,” ungkapnya.
Dalam sanggarnya, ada beberapa seni yang diajarkan. Terutama kesenian pesisir dan kesenian pedalaman Kaltim contohnya jepen, tingkilan, tarsul, dan kesenian hudoq.
Asriani menyatakan, kesenian tradisional memang sulit mengalami kemajuan. Banyak anak muda sekarang tidak gemar lagi dengan budaya lokal. Tapi sebagai seseorang yang mencintai kesenian, saya merasa berkewajiban memelihara, merawat, menjaga, dan melestarikan budaya daerah,” tandasnya. (****)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post