Untuk pengaturan proyek mana yang bisa dikondisikan, Muliadi menegaskan tak begitu banyak terlibat. Alasannya, dia tak bisa mengondisikan sesuai kemauan AGM.
bontangpost.id – Keberadaan fee proyek untuk operasional bupati di Penajam Paser Utara (PPU), diklaim Muliadi, sudah ada sebelum dirinya ditunjuk sebagai pelaksana tugas sekkab, April 2021. Pun demikian dengan bergesernya pengurusan izin ke Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten (Setkab) PPU. Semua itu merupakan arahan langsung Abdul Gafur Mas’ud (AGM) selaku bupati.
“Sebelum ditunjuk jadi (pelaksana tugas sekkab), hal itu sudah disampaikan AGM ke saya,” ungkap Muliadi ketika bersaksi sebagai saksi mahkota untuk terdakwa lain, kemarin (3/8).
“Nanti handel perizinan bareng Durajat (Kabag Ekonomi). Tapi enggak ada yang gratis ada bagian yang disisihkan,” ucapnya mengulangi perkataan AGM. Tarif perizinan itu pun sudah tersusun daftarnya dengan nilai fee yang detailnya diketahui Durajat. Yang pasti nilainya berkisar Rp 200-500 juta. “Sistemnya sudah seperti itu sebelum saya menjabat. Jadi dengan terpaksa saya menjalankan,” akunya.
Untuk urusan uang Rp 1 miliar yang dicomot dari rekening Korpri PPU, memang bermula dari usulannya. Awal Desember 2021, AGM pernah meneleponnya dan meminta dicarikan uang untuk kegiatan sang bupati di Samarinda. Memang, sebut Muliadi, kala itu AGM tak menyebutkan nominal pasti dan untuk kegiatan apa.
Tapi dia mengetahui pasti untuk apa permintaan tersebut. Karena sudah tersiar luas kabar AGM hendak mengikuti seleksi ketua DPD Demokrat Kaltim. Tak lama berselang dari panggilan udara AGM, Asdarussalam alias Asdar (orang dekat AGM) menghubunginya dan meminta dicarikan Rp 1 miliar. Muliadi mengaku saat itu justru mempertanyakan dari mana sumbernya. Asdar, yang notabene anggota di “ring 1” AGM, menyodorkan untuk segera memproses pencairan proyek Kantor Pos Waru yang dikerjakan Ahmad Zuhdi (terdakwa penyuap dalam kasus ini).
Buntu, muncul opsi menawarkan uang simpanan Korpri PPU ke Zuhdi untuk memenuhi kebutuhan uang AGM di Musda Demokrat Kaltim. Dengan syarat, ketika proyek Kantor Pos Waru terbayar akan terpotong otomatis untuk menganti uang yang dikeluarkan. “Zuhdi setuju. Makanya saya anggap itu utang-piutang,” tuturnya.
Keesokan harinya, Zuhdi dimintanya bertemu Agus Suyadi, bendahara Korpri PPU untuk mencairkan uang tersebut di bank. Dalam kurun waktu itu, memang dia menerima uang senilai Rp 22 juta dari Zuhdi. Namun, Muliadi mengelak jika pemberian itu berkaitan dengan uang Korpri. Untuk pengaturan proyek mana yang bisa dikondisikan, Muliadi menegaskan tak begitu banyak terlibat. Alasannya, dia tak bisa mengondisikan sesuai kemauan AGM.
“Makanya saya hanya kerja sesuai fungsi ketua TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah). Proyek langsung dihandel Asdar dan Edi Hasmoro (kepala Dinas PUPR PPU). Ada juga Fatmawati, kepala Balitbangda. Dia juga bisa cawe-cawe karena keluarga bupati dan suaminya anggota dewan. Dia ini yang atur pokir dewan,” ulasnya.
Edi Hasmoro ketika diperiksa mengaku memang mendapat mandat untuk pengondisian pungutan fee untuk operasional bupati di lingkup Dinas PUPR PPU. Namun, semua itu tak langsung disampaikan AGM. Hanya lewat Asdar. Dia bersama tiga kepala bidang di DPUPR PPU, yakni Petriandy Ponganton Pasulu, Rici Firmansyah, dan Darmawan alias Awan pernah dipanggil menghadap Asdar di kediamannya.
“Sekitar 2-3 kali diminta ke rumahnya. Setiap minta datang, selalu bilang ada arahan dari Pak Jek (AGM). Perintahnya sama, carikan uang,” akunya. Permintaan fulus lewat Asdar juga terjadi ketika Musda Demokrat bergulir. Kala itu, dia diminta mencarikan uang sebesar Rp 200 juta. Edi pun memerintahkan kabidnya untuk mencari kebutuhan cuan itu. “Saya enggak tahu uang itu digunakan untuk musda atau enggak,” imbuhnya.
Beberapa hari sebelum OTT KPK terjadi, Asdar juga memintanya mengirim uang Rp 500 juta untuk AGM yang tengah berada di Jakarta. Lagi-lagi, permintaan itu diteruskannya ke para kabid. Saat itu, uang terkumpul dari proyek yang ada di Bidang Pengairan DPUPR PPU. “Darmawan alias Awan yang saya minta. Tapi saya enggak tahu sudah disetorkan atau tidak,” singkatnya.
Dalam persidangan sebelumnya, ketika Nis Puhadi alias Ipuh diperiksa, terungkap uang itu diberikan Awan ke dirinya dan langsung diantar ke AGM ke Jakarta tepat ketika OTT terjadi. Sementara Jusman menuturkan, tak pernah menerima arahan langsung dari AGM soal pungutan fee proyek di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) PPU. Titah itu diterimanya dari Syamsudin alias Aco.
“Aco katanya habis komunikasi dengan Asdar. Jadi saya tahu ada arahan itu dari Aco yang diminta Asdar menyampaikan ke saya,” ungkap kepala bidang sarana dan prasarana Disdikpora PPU ini. Awal Januari 2022, Aco memintanya menyediakan uang Rp 250 juta untuk AGM yang nanti akan diambil Supriadi alias Ucup. Tak mengenal Ucup, Jusman meminta bantuan kakaknya yang memang mengenal orang sekeliling AGM, Justan. “Saya minta temani karena enggak tahu siapa ucup. Apalagi ini uang besar,” sambungnya.
Pada 11 Januari 2022, dia sempat mendapat telepon dari Ucup untuk mengantar uang itu ke rumah jabatan (rumjab) bupati. Karena takut, Jusman bersama Justan memilih menunggu di seberang jalan rumjab. “Ucup datang, langsung saya arahkan ke tas di kursi belakang. Tapi dia bilang minta antar langsung ke pelabuhan. Jadi kami antarkan. Habis itu saya enggak tahu lagi,” singkatnya. Karena berbatas waktu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang dipimpin Jemy Tanjung Utama bersama Hariyanto dan Fauzi Ibrahim menunda persidangan untuk kembali digelar hari ini, pada 4 Agustus 2022. (riz/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post