Sungai di Desa Senyiur, Kecamatan Muara Ancalong, jadi perhatian kepolisian. Di sana, sudah berbulan-bulan menjadi lokasi beraksi para perompak.
SANGATTA–Enam pria ditetapkan tersangka dalam kasus kejahatan di sungai itu. Mereka adalah Sofyan Anwar (42) alias Agus, Asmonika (48), Mantil (47), Rahmani (45), Sopian (43), dan Khoirullah (30).
Kaltim Post (induk Bontangpost.id) secara khusus menemui pria yang lebih dikenal dengan panggilan “Agus Tambatan” kemarin (10/2/2020). Merasa wilayah tempatnya bermukim dijadikan akses kapal perusahaan besar, hal itu yang membuat hasil nelayan di Desa Senyiur menurun secara kuantitas dan kualitas. Akibatnya, nelayan setempat harus kehilangan mata pencarian. Bahkan, beberapa orang terpaksa beralih sebagai perompak kapal yang melintas.
Diceritakan Agus, dirinya terpaksa melakukan kegiatan itu. Selain untuk menghidupi keluarga dan rekannya, uang atau minyak yang diperoleh disumbangkan untuk penerangan masjid serta dialokasikan ke kegiatan sosial lain.
“Saya dulunya kerja sekuriti, tapi kontrak tidak diperpanjang. Akhirnya jadi tukang ikat tali kapal yang datang. Teman-teman lain banyak yang nelayan, tapi ikan sudah sedikit, susah didapat. Kami sepakat minta sumbangan ke kapal yang lewat sini,” ungkapnya.
Dia menceritakan, perihal hubungannya dengan sejumlah awak kapal yang selama ini diklaim baik-baik saja. Menurut dia, sudah seharusnya kapal itu memberikan sumbangsih pada desa setempat.
Dia mengaku telah bermitra menjadi tukang ikat tali atau tambatan kapal sejak 2016. Bahkan, dia dijuluki “Agus Tambatan”, yang mengisyaratkan simbol kedekatan. “Kami meminta sejak 11 Desember lalu. Saya meminta juga sudah sesuai permohonan yang ditandatangani kepala desa, camat, dan RT. Sudah disetujui kades,” tuturnya.
Dia menjelaskan, dalam satu hari ada lima kapal yang melintas. Satu jeriken dihargai Rp 150 ribu. Jika kapal itu tidak memenuhi pemberian minyak, maka akan diganti dengan nominal tersebut. “Tidak semua kapal pasti memberi. Kami satu tim ada tiga orang,” ungkapnya.
Pembagian merata, lanjut dia kerap dilakukan. Jika dalam sehari mendapat Rp 150 ribu, Agus harus membagi Rp 50 ribu untuk masjid atau panti jompo, Rp 50 ribu bagi tim di lapangan, dan Rp 50 ribu untuknya serta operasional.
“Sebenarnya tidak banyak, sebulan maksimal hanya Rp 10 juta. Tapi kan dibagi banyak orang. Di desa kami banyak yang kami bantu setiap pekannya. Termasuk iuran turnamen atau kematian juga membagi desa,” bebernya. Desa Senyiur, katanya belum mumpuni dalam hal pemenuhan kebutuhan listrik. Fasilitas penerangan hanya didistribusikan pada malam hari. Untuk itu, dia dan lima tim lain (kelompok perompak lain) mencoba membantu hal tersebut.
“Listrik di sana (Desa Senyiur) belum maksimal, kami kasih minyak buat mereka yang butuh, seperti untuk salat Zuhur dan Asar,” jelasnya.
Masjid tersebut telah lama dibangun, kata dia, namun hingga saat ini belum rampung. Dia berinisiatif membantu mempercepat penyelesaian. “Masjid ini belum sempurna, apa salahnya kami membantu. Ada dua ormas yang membantu beli semen dan keramik, saya bantu minyaknya,” terang dia.
TETAP DITAHAN KARENA MERESAHKAN
Beragam alasan diungkapkan Sofyan Anwar (42) alias Agus kepada polisi. Pria yang merupakan otak perompakan di Desa Senyiur, Kecamatan Muara Ancalong, itu tetap dianggap meresahkan.
Kasat Reskrim Polres Kutim AKP Ferry Putra Samodra secara langsung menuturkan, enam pelaku yang diringkus Tim Panther Polres Kutim sudah ditahan. “Sudah resmi kami tahan,” ungkapnya.
Diakui Agus saat ditemui harian ini, kemarin (10/2/2020), tidak hanya di satu lokasi beraksi. Hal serupa di desa lain di kawasan Sungai 81, 82, dan 100 sebelum jetty juga jadi tempatnya bertindak kriminal. Namun, dia tidak dapat memprediksi hasil yang diperoleh setiap harinya. Bergantung dengan kondisi air sungai. Jika surut, kapal muatan batu bara asal Desa Senyiur ke Balikpapan hanya sedikit yang lewat.
“Kalau jarang lewat hasil yang kami dapat juga sedikit. Saya begini karena merasa debunya saya yang makan, tapi kok cuma jadi penonton,” tandasnya. Beranggotakan enam orang, Agus dan kelompok atas nama Penggalangan Dana Senyiur (PDS) merasa kerap diremehkan. Hal itu membuatnya merasa tersinggung. Ide tersebut, kata Agus, merupakan hasil tukar pendapat dari seluruh kelompok di Desa Senyiur.
“Mereka (kru kapal) menganggap saya makan uang itu sendiri, mereka tidak percaya kalau itu tanda tangan desa. Emosi saya terpancing. Padahal saya ingin membantu,” ucapnya.
Dia menyayangkan perlakuan awak kapal yang terkesan menjebaknya. Sehingga, tanpa disadari, dia bersama kelompoknya diringkus dan dibawa Polres Kutim. “Saya tidak tahu petugas ada di kapal, orang kapal sengaja memancing saya. Akhirnya saya ditangkap, sampai saat ini, keluarga belum tahu,” ungkapnya.
Diwartakan sebelumnya, berdasarkan laporan, Jumat (7/2/2020), sekitar pukul 22.00 Wita dua orang menggunakan perahu naik ke tug boat yang menarik tongkang batu bara. Mendatangi kapten KM Mitra Anugrah 9. Meminta sumbangan untuk bantuan Desa Senyiur, dengan modus digunakan untuk kebutuhan pembangunan masjid, membantu biaya orang meninggal dan bantuan untuk panti jompo. “Faktanya tidak sama sekali,” tegas Ferry.
Namun, dari kapten tidak mengindahkan permintaan tersebut karena stok minyak tidak ada. Parahnya, kedua orang tersebut memberi tahu bila tidak ada minyak bisa diganti dengan uang Rp 300 ribu. Namun, pihak kapal tetap tidak memenuhi permintaan tersebut. Ferry menegaskan, enam pelaku tersebut tetap ditahan karena dianggap meresahkan. Dia ingin ada efek jera terhadap para perompak. (*/la/dra2/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post