Oleh: Husnun N Djuraid (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang)
Mengawali tahun 2017, pemerintah memberi kado tahun baru yang sangat pahit kepada rakyatnya. Dalam waktu bersamaan, rakyat harus menanggung beban berbagai kebutuhan pokok, seperti BBM, listrik, biaya STNK dan BPKB. Tak ketinggalan, bahan pokok yang sangat penting seperti lombok juga mengalami kenaikan yang sangat drastis. Bedanya, kenaikan Lombok ini mengikuti mekanisme pasar karena berbagai faktor, sedangkan kenaikan BBM, Listrik, STNK dan BPKB terjadi karena kebijakan pemerintah untuk menaikannya. Kenaikan biaya STNK dan BPKB sempat menimbulkan reaksi keras dari rakyat, ditambah lagi dengan sikap pemerintah yang tidak kompak dan saling lempar tanggung jawab.
Yang mengherankan justru kenaikan harga BBM yang mulai berlaku pada waktu yang hampir bersamaan. Mungkin baru kali ini kenaikan BBM tidak mengalami gejolak, baik menjelang, pada saat maupun sesudahnya. Kali ini pemerintah dengan tenang menaikkan harga sampai Rp 300 untuk beberapa jenis BBM. Pemerintah berkilah, yang dinaikkan itu adalah BBM nonsubsidi sedangkan BBM bersubsidi tidak naik. Jawaban itu tak lebih hanya akal-akalan, BBM bersubsidi memang tidak naik tapi sudah banyak SPBU yang tidak menjualnya. Pengusaha lebih suka menjual BBM nonsubsidi dibanding yang subsidi. Artinya sama saja, pemerintah memberi subsidi terhadap barang yang tidak ada di pasar.
Banyak alasan pemerintah mengapa harus menaikkan harga BBM, salah satunya karena harga BBM di pasar dunia juga naik. Harga BBM nonsubsidi di Indonesia mengikuti mekanisme pasar internasional. Kalau harga di pasaran internasional naik, maka harga di dalam negeri juga naik, begitu juga seharusnya sebaliknya. Dalam praktiknya tidak demikian. Saat harga minyak dunia anjlok, mengapa pemerintah tidak menurunkan harga BBM dalam negeri. Kalau ada penurunan, jumlahnya sangat kecil tidak sebanding dengan prosentase penurunan di pasaran internasional. Pada waktu itu Pertamina berkilah ingin menikmati laba yang lebih besar. Kondisi harga minyak dunia yang rendah terjadi cukup lama, sehingga Pertamina bisa mengeruk keuntungan lebih banyak.
Ketika keuntungan sudah banyak, tiba-tiba harga minyak dunia naik, maka cepat-cepat pemerintah menaikkan harga BBM dengan dalih mengikuti mekanisme pasar internasional. Ada ketidakadilan dalam kebijakan tersebut. Tapi pemerintah beruntung, karena sebagian besar rakyat tidak tahu dan tidak peduli. Alhasil, kebijakan kenaikan BBM itu diterima tanpa protes. Ini di luar kebiasaan, kenaikan harga BBM tanpa sedikit pun protes. Para wakil rakyat di parlemen dengan kompak meneriakkan koor tanda setuju. Para mahasiswa yang biasanya getol turun ke jalan memrotes kenaikan harga BBM, sekarang entah ke mana mereka. Rupanya mereka sedang asik menikmati liburan akhir tahun dan menyiapkan diri menghadapi ujian akhir semester. Tidak ada lagi yang memikirkan penderitaan rakyat. Biarlah rakyat menghadapi penderitaan ini sendiri tanpa bantuan dari pihak-pihak yang sehusnya peduli pada rakyat.
Kebijakan kenaikan harga itu menghapus citra pemerintah yang kerap berteriak lantang sebagai pembela rakyat. Partai pemenang pemilu sebagai partai pemerintah pun – yang katanya partai orang kecil – kini menikmati kemewahan kapitalisme dan liberalisme ekonomi sambil melupakan slogan yang selalu diteriakkan saat kampanye merebut hati rakyat. Sekarang sudah tidak ada lagi ideology membela kepentingan rakyat, yang ada kepentingan pasar bebas yang menguntungkan para pemodal besar. Pemerintah wajib bersyukur karena memiliki rakyat yang tangguh menerima berbagai kebijakan yang memberatkan. Mereka tetap menerima kebijakan itu tanpa protes. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: