Perjuangan Yuniarti dalam lima tahun tahun terakhir mulai membuahkan hasil. Rumah Sakit (RS) Amalia yang awalnya mati suri, kini bangkit bahkan berhasil mendapatkan akreditasi dan menorehkan prestasi nasional.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Masih terbayang jelas dalam ingatan Yuniarti di saat-saat awal mengelola RS Amalia. Kondisi rumah sakit yang kala itu mati suri, ditambah meninggalnya sang ayah sebagai pendukung keuangan rumah sakit membuatnya sempat bingung. Dalam kondisi yang begitu terpuruk, sempat terbersit di pikirannya untuk menjual rumah sakit milik sang ayah tersebut.
“Sempat mau saya jual kembali. Karena mau bagaimana? Kondisinya seperti tidak ada harapan lagi. Membayar gaji para pegawai saja tidak bisa,” kenang Yuniarti saat ditemui Bontang Post, Rabu (4/1) kemarin.
Memang sejak kembali ke Kota Taman di 2012, sang ayah memberinya kepercayaan mengelola rumah sakit tersebut. Kala itu dia dan suami baru selesai menuntaskan pendidikan tinggi di Makassar. Lulus sarjana kedokteran di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tahun 2008, Yuniarti mesti menunggu hingga 2012 untuk kembali ke Bontang. Karena sang suami tengah menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Sebagai fresh graduate, Yuniarti begitu bersemangat mengelola RS Amalia dengan jabatan sebagai direktur. Oleh sang ayah, perempuan kelahiran Samarinda 34 tahun lalu ini memang mendapat amanah mengembangkan rumah sakit. Sementara sang ayah memberikan subsidi keuangan di awal-awal kepengurusannya. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, sang ayah mengembuskan napas terakhirnya enam bulan sejak dia memimpin rumah sakit.
Dengan kondisi rumah sakit yang terpuruk dan ditinggal penyokong terbesar, Yuniarti bingung mesti mencari dana untuk keperluan rumah sakit. Berkali-kali permohonan pinjamannya ditolak pihak bank. Sementara gaji para pegawai, biaya listrik, air, dan operasional rumah sakit mesti dibayar. Apalagi tingkat kunjungan pasien saat itu begitu minim. Dalam satu bulan saja, tercatat hanya tiga sampai empat pasien rawat inap.
“Paling banyak dalam satu bulan hanya lima pasien rawat inap. Dengan kondisi saat itu, hampir setiap hari saya menangis tidak tahu harus bagaimana lagi mempertahankan rumah sakit. Apalagi saat itu saya masih muda,” tuturnya.
Karenanya, terpikir di benaknya untuk kembali menjual rumah sakit. Bahkan dia sudah bertemu dengan pihak yang berniat membeli RS Amalia. Tapi keinginannya terhenti ketika dia melihat kembali para pegawai rumah sakitnya. Saat itu ada sebanyak 60 pegawai yang menggantungkan hidup di rumah sakit kelas D tersebut.
“Saya berpikir ulang. Bila rumah sakit dijual, para pegawai itu akan diberhentikan, lalu nantinya akan dipekerjakan kembali. Tapi belum tentu semuanya kembali diterima bekerja di rumah sakit di bawah kepemilikan yang baru,” kisah Yuniarti.
Urung menjual, dia memutuskan untuk mempertahankan rumah sakit bagaimanapun caranya. Dengan tekad kuat, Yuniarti lantas belajar secara autodidak ilmu manajemen rumah sakit. Selama sepekan, dia berguru pada salah seorang dosen yang mengerti manajemen rumah sakit. Dengan dukungan suami yang juga seorang dokter, Yuniarti mulai merancang perencanaan membangkitkan kembali rumah sakit yang mati suri.
“Mulai saya buat daftar rencana apa saja yang mesti saya lakukan. Suami terus mendorong saya untuk bergerak melakukan setiap rencana tersebut,” ujarnya.
Yuniarti pun mulai berkeliling Bontang mencari rekanan untuk bermitra dengan rumah sakitnya. Dia melakukan presentasi kerja sama dari satu perusahaan ke perusahaan lain di Bontang. Sempat diragukan, dengan kegigihannya dia berhasil menjalin kemitraan dengan salah satu perusahaan tambang dalam hal pengobatan para pegawai perusahaan tersebut.
Bukan itu saja, Yuniarti juga tak segan-segan turun langsung ke berbagai tempat keramaian untuk menarik minat calon pasien. Saat itu dia melihat poli kandungan sebagai layanan unggulan RS Amalia yang bernilai jual. Sehingga, dia pun mendatangi pusat-pusat keramaian seperti pasar dan pusat perbelanjaan untuk mencari ibu-ibu hamil dan menawarkan layanan pemeriksaan gratis.
“Saat itu banyak yang masih enggan periksa ke RS Amalia. Sampai-sampai kami promosikan gratis periksa untuk pertama kali. Bahkan sampai kami buat layanan antar jemput pasien dari rumah mereka ke rumah sakit,” terang bungsu dari tiga bersaudara ini.
Perlahan kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Kini, RS Amalia menjadi salah satu pilihan bagi warga Bontang yang ingin memeriksakan kehamilan dan merencanakan kelahiran. Bahkan, RS Amalia sempat diganjar penghargaan juara 1 tingkat nasional lomba promosi dan konseling kesehatan reproduksi rumah sakit tipe D. Bukan itu saja, di penghujung 2016 silam RS Amalia mendapatkan pengakuan akreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) versi 2012.
“Saya sendiri tidak menyangka dalam waktu singkat bisa mengembangkan rumah sakit menjadi seperti yang sekarang ini. Bahkan saat ini RS Amalia menjadi satu-satunya rumah sakit di Bontang yang terakreditasi KARS,” ucap Yuniarti.
Dijelaskannya, mengurus rumah sakit khususnya rumah sakit swasta bukanlah hal yang mudah. Manajemennya sangat berbeda dengan manajemen perusahaan biasa. Menurutnya, rumah sakit adalah perusahaan yang menggabungkan berbagai jenis usaha. Meliputi penginapan, pengobatan, dan juga makanan. Karenanya, dibutuhkan manajemen yang luar biasa untuk bisa menangani semua hal itu secara bersamaan.
“Termasuk dalam menggiring para pegawai menuju akreditasi itu bukan hal yang mudah. Apalagi orientasinya lebih ke pelayanan. Prosesnya ini saya akui penuh dengan air mata,” tuturnya.
Sebagai seorang direktur, penting bagi Yuniarti untuk mengetahui keseharian yang berlangsung di rumah sakitnya. Karenanya dia masih sering terjun langsung dalam setiap kegiatan di rumah sakit. Termasuk perlu baginya mengetahui berbagai detail kegiatan di rumah sakit seperti berapa jumlah pasien rawat inap atau berapa operasi yang dilakukan di rumah sakit setiap harinya.
Dari terlibat langsung itulah Yuniarti mengetahui apa saja yang terjadi di setiap lorong dan ruang di rumah sakit yang dikelolanya. Salah satunya mengetahui latar belakang para pasien yang ditangani tenaga medis. Sebagai rumah sakit swasta, Yuniarti menyebut punya kebijakan tersendiri bila berhadapan dengan pasien kurang mampu.
“Kami tidak menutup mata bila ada pasien yang tidak sanggup membayar dan juga tidak memiliki jaminan kesehatan. Bila memang pasien tersebut benar-benar tidak mampu, kami bisa membebaskan biaya pengobatannya. Memang sebenarnya kami rugi, tapi apa boleh buat. Ini merupakan salah satu kerja sosial kami, bagian dari tanggung jawab rumah sakit,” urainya.
Sebagai direktur, Yuniarti selalu menekankan kepada para pegawainya agar dalam bekerja jangan hanya berorientasi pada gaji. Melainkan juga mesti memberikan amal khususnya kepada pasien kurang mampu dan tidak memiliki jaminan kesehatan. Para pegawainya, termasuk dokter-dokter spesialis yang ada di sana pun bisa mengerti dan rela mengeluarkan dana pribadi untuk menutupi biaya pengobatan pasien bila memang benar-benar dibutuhkan.
“Kalau bicara aturan hal ini susah dilakukan. Tapi kalau sesuai hati nurani, bisa mengesampingkan aturan. Jadi penerapan aturannya itu fleksibel, melihat situasi dan kondisinya,” ujar ibu tiga anak ini.
Yuniarti punya prinsip, dia ingin membuat dirinya dan orang di sekitarnya menjadi orang yang berguna bagi lingkungan. Dia tidak menjadikan uang sebagai patokan dalam bekerja. Melainkan juga mesti menerapkan nilai sosial, kerja nyata dan kerja ikhlas. Menurutnya, bila bekerja dilakukan sekadar untuk mencari uang, maka tidak akan kekal. Sebaliknya, bila bekerja dilakukan sebagai bagian dari ibadah, akan menjadi catatan amal tersendiri di mata Tuhan.
“Tujuan saya ingin mengembangkan rumah sakit, sebagaimana visi RS Amalia yaitu menjadi salah satu tujuan berobat bagi masyarakat Bontang. Sehingga pelayanan harus bagus, meninggalkan kesan baik bagi pasien dan keluarganya. Karena menurut saya marketing terhebat adalah pasien dan keluarga pasien,” kata Yuniarti.
Untuk itu saat ini dia tengah giat meningkatkan pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Termasuk dia pun mesti meningkatkan kualitas dirinya sebagai direktur. Yaitu dengan melanjutkan kuliah pascasarjana di Universitas Hasanuddin Makassar program Manajemen Rumah Sakit sebagaimana yang dipersyaratkan pemerintah.
“Sejak 2015 saya kuliah S2, sekarang sudah semester 4. Jadi sekarang ini benar-benar sibuk, antara mengurus keluarga, rumah sakit, dan juga kuliah. Saya betul-betul mesti bisa membagi waktu dan kualitas bersama anak-anak juga tidak boleh berkurang,” tandasnya. (bersambung)
Nama: dr Yuniarti Arbain
TTL: Samarinda, 7 Juni 1982
Suami: dr Fakhruzzabadi, SpOg, MKes
Anak:
- Zahrah Izzah Ramadhani
- Fauzan Rizki Ramdhan
- Jihan Nabila Zafinah
Pendidikan:
- SD 001 Tanjung Laut Bontang
- SMP Negeri 2 Bontang
- SMA Negeri 2 Bontang
- S1 Kedokteran UMI Makassar
Alamat: Bukit Indah, Tanjung Laut, Bontang Selatan
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: