Bau tak sedap merebak dan diatas air banyak gumpalan putih hanyut. Ada yang tanpa bungkusan namun tak sedikit yang dikemas dalam kantong plastik besar. Suasana itu membuat Mustofa tak betah duduk berlama-lama di batang belakang rumah. Hari ini Mustofa hilang semangat untuk memunguti aneka wadah dan kemasan plastik yang melintas di hadapannya.
“Sungai ini kok macam killing field saja,” guman Mustofa
Entah apa yang membuat Mustofa mengasosiasikan suasana Sungai Karang Mumus dengan sebuah judul film lawas itu. Killing field adalah sebuah film yang dibuat berdasarkan kisah nyata dari Dith Pran yang berjuang dan berhasil lolos dari regim Pol Pot yang kejam. Dith Pran lah mencetuskan terminologi Killing Field meski lolos dari kekejaman penguasa yang gemar membunuh kaum terpelajar Kamboja ini akhirnya tak mampu berjuang melawan kanker dan meninggal di Amerika Serikat, pada 30/03/2008.
Dith Pran yang fasih berbahasa Inggris dan Perancis itu awalnya bekerja sebagai penerjemah resmi perwakilan Amerika Serikat. Ketika Raja Norodom Sihanouk dijatuhkan oleh regim Pol Pot tahun 1970 saat tentara Kamboja kalah melawan tentara merah Vietman,Dith Pran tengah bekerja sebagai penerjemah bagi Sydney Schanberg jurnalis Times.
Jatuhnya kekuasaan Raja Sihanouk membuat kekuatan Amerika menjadi surut, Schanberg pun keluar dari Kamboja dan Dith Pran mengikutinya. Namun Dith Pran gagal keluar dari Kamboja dan terjebak bersama ribuan orang lainnya di Kota Pnon Penh. Saat itu semua tokoh intelektual mulai dihabisi oleh Pol Pot. Dith Pran harus menyamar sebagai orang bodoh, petani untuk bertahan hidup. Namun akhirnya dia dimasukkan di kamp kerja paksa dan mengalami penyiksaan selama empat setengah tahun.
Dith Pran kemudian berhasil meloloskan diri dan berjalan kurang lebih 40 km hingga mencapai perbatasan Thailand, sebuah pelarian yang dramatis. Akhirnya Dith Pran berhasil menghubungi Syndey Schanberg. Mereka bertemu dalam pertemuan yang mengharukan, di Amerika Serikat dan Dith Pran kemudian menjadi warga negara Amerika Serikat serta merintis karir menjadi wartaan foto. Catatan pengalaman Dith Pran ini kemudian menjadi novel dan film yang diberi judul Killing Field.
Ketika hendak beranjak dari batang karena tak tahan dengan bau menyengat yang merebak dari sungai, mata Mustofa tertumbuk pada sebentuk buntalan mirip balon. Sinar mentari terik yang menimpa buntalan itu menimbulkan silau sehingga tak jelas benar benda apa yang tengah mengambang di air sungai itu.
“Apa ya itu?” bisik Mustofa pada dirinya sendiri.
Rasa penasaran membuat Mustofa tak hirau lagi pada bau yang terus menguap dari sungai. Di tunggunya benda itu mendekat. Benda itu terhanyut dengan pelan, karena dorongan air dari hulu tengah bertemu dengan air pasang yang mulai naik dari Sungai Mahakam.
“Sepertinya isi perut binatang,” guman Mustofa.
Perlahan benda yang nampak seperti gelembung itu mulai menampakkan wujudnya. Ternyata isi perut binatang tepatnya sapi, yang dimasukkan dalam kantong plastik besar dan diikat kuat-kuat. Isi perut yang terendam dalam air itu kemudian mengembang.
Semakin mendekat semakin pula jelas bahwa kantong yang terendam di air itu bagian bawahnya telah robek. ada yang menjuntai keluar, seperti tali-tali besar. Jelas bahwa itu adalah usus. Apa yang dikemas baik-baik dan kemudian dihanyutkan adalah bagian tubuh binatang yang tak diperlukan.
“Huek, tahannya kamu Mumus,” tiba-tiba terdengar suara dari belakang yang sebelumnya didahului dengan suara seseorang menahan rasa ingin muntah.
Mustofa menoleh dan dilihatnya Bondan menahan perut sampai badan terbungkuk.
“Siapa bilang, tadi aku ingin pergi tapi lihat itu?”
“Waduh, apa itu Mumus kok seperti balon besar saja,”
“Sepertinya isi perut sapi,”
“Oh, jangan-jangan ini sapi raksasa yang kemarin di potong di lapangan sana,” ujar Bondan menunjuk tanah lapang yang tak jauh dari tepian sungai.
“Setiap Hari Raya Kurban, sungai kita ini juga selalu jadi korban, jadi tempat buangan,” ujar Mustofa.
“Iya, Mumus air sungai yang kotor ini juga dipakai untuk mencuci bagian-bagian yang kotor dari tubuh sapi, jadi semua kotoran masuk ke sini,” sambung Bondan.
“Makanya tadi aku sempat kepikiran, Sungai Karang Mumus ini seperti killing field, ladang pembunuhan,” tanggap Mustofa.
“Wah terlalu itu Mumus, lebih tepatnya ini ladang pembuangan,” sergap Bondan.
“Ladang pembuangan yang menghasilkan pembunuhan,” ujar Mustofa seakan tak mau kalah.
Dan Bondan serta Mustofa kemudian mulai membahas alur Sungai Karang Mumus yang jika dihitung panjangnya dari beton Bendungan Benanga hingga muara di Sungai Mahakam sekitar 12 – 15 km. Di sepanjang aliran ini sulit sekali ada permukaan yang benar-benar bersih dari sampah terapung.
“Coba aja Mumus, di depan bendungan itu, sampahnya juga banyak. Ada karpet, tikar, baju bekas, pokoknya macam-macam,” ujar Bondan.
“Betul, sedangkan yang kanan kirinya kebun saja, di pinggiran ada rak piring, bekas meja, bantal, guling,”
“Oh, kalau kasur sama bantal dan saudara-saudaranya itu sepertinya ada kebiasaan, kalau ada yang meninggal, kasur dan bantal serta gulingnya dibuang ke sungai,” ujar Bondan.
“Mungkin bukan cuma itu, kalau ada yang lahir jangan-jangan juga ada yang dibuang,” sambung Mustofa.
Buangan yang dilempar, digelontorkan, dihanyutkan di Sungai Karang Mumus memang aneka rupa. Mulai dari benda keras, benda lunak hingga benda cair. Sungai Karang Mumus seperti supermarket atau pasar, apa saja yang dijual di supermarket atau pasar kalau sudah tidak diperlukan akan terpajang di etalase permukaan air Sungai Karang Mumus.
“Sebenarnya bukan cuma setelah hari Raya Idul Kurban Sungai Karang Mumus dipenuhi oleh buangan sisa-sisa bagian tubuh binatang. Hampir setiap hari selalu terlihat bangkai ayam hanyut dan mengambang di atas sungai,” terang Mustofa.
“Betul Mumus, tapi hari ini luar biasa, luar biasa baunya, kalau ayam memang di belakang pasar sana ada 10 sampai dua belas tempat potong unggas”
“Nah itu lah salah satu lokasi pembunuhan yang juga membunuh,”
“Gimana itu Mumus,”
“Ya di tempat itu unggas terutama ayam potong disembelih, lalu bagian yang tidak terpakai juga limbah cuciannya dibuang ke Sungai Karang Mumus,” terang Mustofa.
Dan tenggara banyaknya buangan dari Pasar Segiri sampai menimbulkan sebutan air Segiri.
“Oh, iya Mumus air warna hitam kadang terdorong oleh air pasang sampai Gunung Lingai sana. Orang disana kalau melihat air warna itu bilang kalau itu air Segiri,” ujar Bondan.
“Biasa kalau airnya begini, pembuat tempe tidak beraktivitas,” sambungnya.
“He…he…he…,” Mustofa tertawa
“Kenapa ketawan Mumus,”
“Lha, kamu lupa kah kalau bapakku pembuat tempe,”
“Oh, iya, bapakmu juga pembunuh Karang Mumus, karena membuang kulit air kedelai dan air bekas rendaman kedelai yang bau itu,”
“Ya, begitulah,” ujar Mustofa pasrah.
Buangan-buangan ini kemudian menjadikan Sungai Karang Mumus seperti kata Mustofa menjadi ladang pembunuhan. Apa yang dibuang ke sungai membunuh apa yang ada di ada di dalam sungai.
“Apa yang dibuang beberapa sebenarnya bisa berguna, namun karena jumlahnya banyak maka sungai tak lagi mampu menahan beban sehingga hal-hal yang berguna justru tumbuh jadi racun pembunuh,” terang Mustofa layaknya seorang ahli.
“Iya Mumus, sungai kita ini layaknya sungai mati, mati fungsinya,”
“Betul Bondan, ikan-ikan yang dulu ada disini menghilang karena airnya tercemar,”Perbicangan Bondan dan Mustofa terus berlanjut, melantur kemana-mana hingga kemudian berujung pada aksi gila-gilaan keduanya. Mereka mencari sepotong tripleks dan tiang kayu untuk membuat papan nama. Di papan itu mereka menuliskan “Pekuburan Alam Karang Mumus” dan kemudian mereka memancangkannya di tengah-tengah sungai.
Beberapa orang yang lewat berperahu membaca papan nama yang dipasang Mustofa dan Bondan, mereka hanya tersenyum. Namun terdengar salah satunya berkata “Dasar, nda ada kerjaan,”
Pondok Wira, 16/09/2016
@yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: