Kisah Inspiratif Warga Bontang: Yos Yoyo Susanto (188)
Dijuluki Si Raja Air sejak tahun 1998, Yos Yoyo Susanto (65) yang akrab disapa Yoyo kini berencana melebarkan sayap usahanya dengan membuka waterboom mini. Bukan keinginannya, tetapi memanfaatkan kolam bekas penampungan air yang sudah tak terpakai.
Mega Asri, Bontang
PERANTAU asal kota yang terkenal dengan beragam kerajinan itu menjadi salah satu warga Bontang yang terbilang sukses. Dengan memiliki Perusahaan Air Bersih Manuntung (ABM) di Bontang atau disebut juga PDAM swasta ternyata menjadi sosok yang terkenal di wilayah Bontang.
Dengan niat yang kuat untuk merantau, lulus dari STM Negeri Tasikmalaya, Yoyo langsung berangkat ke Kalimantan Timur tanpa tujuan yang pasti. Ditemui dikediamannya, pria paruh baya itu terlihat sudah tua namun masih tetap segar.
Dengan ingatan yang kuat, Yoyo pun menceritakan kembali kisahnya hingga ia menetap sebagai warga Bontang.
Ijazah baru diterima seminggu, Yoyo langsung berlayar hingga sampai Surabaya dan melanjutkan naik kapal kayu bernama Campedak tujuan Samarinda. Sampai di Balikpapan, mendengar nama kota tersebut, dirinya lantas turun dari kapal. “Namun karena tak tahu mau ke mana, saat turun dari kapal, saya waktu itu hanya keluyuran hingga akhirnya naik taksi kayu dengan ongkos jauh dekat Rp 25,” ujarnya mengenang awal mula dirinya ke Kaltim.
Ia pun merantau berbekal uang Rp 1,6 juta dari orang tuanya yang menjual barang di rumah mulai dari sepeda, radio, lemari kayu jati hingga perhiasan.
Masih bingung tanpa tujuan, hingga di tempat pemberhentian terakhir, sang sopir bertanya tempat yang ingin dituju.
Turunlah Yoyo di Simpang 4 Kodam, melihat musala, dirinya masuk dan menunaikan Salat Isya hingga tertidur sampai subuh. “Tiba-tiba ada yang bangunin dan mengajak saya tinggal di rumahnya, orang itu ternyata orang Sunda juga bernama Kosim yang merupakan sopir Panglima TNI,” ucap Yoyo.
Dua tahun tinggal bersama Kosim, Yoyo sambil mencari pekerjaan dengan berjalan membawa banyak lamaran. Termasuk CV Rais yang sedang membutuhkan karyawan. Akhirnya dia melamar dan diterima tanpa tahu bekerja apa. Sorenya diminta datang sambil membawa baju ganti, Yoyo dan rombongan ternyata dibawa ke Samarinda.
Dengan menyeberang menggunakan perahu, turunlah mereka di Sanga-sanga. Ternyata ada perusahaan bernama Tesoro untuk merintis dan membuat jaringan pipa atau bridging. “Perusahaan itu merupakan perusahaan pengeboran minyak,” imbuhnya.
Dari pekerjaan itu juga, Yoyo bertemu dengan teman satu Suku Sunda. Tetapi, keduanya mengalami sakit malaria, tak tega, Yoyo akhirnya membawa keduanya kabur dari lokasi bridging dan meminta bantuan pengobatan di Balikpapan.
Di sana, bertemu lagi dengan Arifin dan diajak tinggal di rumahnya. Karena tak punya pekerjaan, Yoyo kembali memasukkan lamaran ke Hotel Blue Sky di Balikpapan. Diterima sebagai petugas laundry tanpa menggunakan mesin cuci di tahun 1973, dan keluar tahun 1975 dengan gaji Rp 175 per bulan.
Dari bekerja di hotel, bertemulah dengan orang asing dan diajak bekerja di perusahaan Avery Laurence sebagai Expediter perwakilan di Kaltim. “Gajinya lumayan dapat Rp 1 juta. Di zaman itu sangatlah besar dan itu bersih, karena semua biaya ditanggung, tak bisa Bahasa Inggris pun bawa kamus ke mana-mana,” ungkapnya.
Kerja selama satu tahun kontrak, Yoyo memutuskan untuk pulang kampung. Hasil bekerjanya, bisa membangunkan rumah orang tuanya dan membiayai adik-adiknya karena dianggap sebagai tulang punggung keluarga.
Selama di Tasikmalaya, Yoyo tidak bekerja, tetapi lamaran sudah masuk di Pertamina. Hingga masuklah telegram bahwa dirinya diterima bekerja di Pertamina. Kabar gembira itu membuatnya bingung, karena tak punya uang untuk ongkos ke Balikpapan. Akhirnya, kacamata riben miliknya dia jual seharga Rp 10 ribu.
“Dari uang itu, dibelikan Rp 20 ribu nomor di nalo (nasional lotre, Red.) dan angka saya keluar dengan mendapatkan 20 kali lipat dari Rp 20 ribu,” kenangnya.
Uang tersebut, dia gunakan untuk membelikan perabotan rumah dan sisanya dipakai ongkos ke Balikpapan menggunakan pesawat Merpati. Masuk Pertamina, Yoyo diterima di bagian keuangan dengan tugas menggaji karyawan Badak LNG di Bontang. Selama 6 bulan, dirinya pulang pergi Bontang menggunakan pesawat. Baru setelah itu, mendapat barak di Bontang dan menetap hingga saat ini.
Melihat banyak peluang bisnis, Yoyo kemudian mengajukan pengunduran diri dari Pertamina. Upayanya tak membuahkan hasil hingga dirinya membuat alasan akan meneruskan kuliah. “Baru tanggal 30 Oktober 1979 resmi keluar dari Pertamina,” katanya.
Keluar dari Pertamina, Yoyo membuat CV kecil bernama Cahaya Fajar dengan melayani semua kebutuhan. Mulai dari mebeler, bengkel, hingga suplier pengadaan dan maintenance perumahan.
Saat itu, sambungnya, Pupuk Kaltim masih pemancangan Kaltim 1. Yoyo juga sempat ditawari bekerja di PKT, tetapi hasil negosiasi gaji tak ada titik temu. Menjadi kontraktor, tetaplah pilihannya.
Rumah yang saat ini dihuninya dulu merupakan bengkel. Sementara, dia dan keluarga tinggal di Kampung Baru. Dengan mempekerjakan para saudara, usaha Yoyo berjaya hingga datanglah masa krisis moneter (krismon) pada tahun 1996. “Saat itu, saya dapat tender 200 perumahan dengan biaya Rp 18 miliar, tetapi disitu juga saya bangkrut,” kenangnya.
Karena gulung tikar, semua aset disita untuk membayar utang di Bank. Yoyo pun menyewakan rumahnya sebanyak 17 kamar ke perusahaan asal Jepang yakni Toyo Kanitsu pembuat tangki LNG. Kondisi krismon, kemarau panjang, Yoyo pun membeli air dari Rudal untuk kebutuhan para penyewa. Merasa uang habis hanya untuk beli air seharga Rp 25 ribu per 1 tangki, Yoyo akhirnya mencoba membuat sumur bor dengan kedalaman 52 meter dibantu para penyewa kamarnya untuk keperluan sendiri.
Namun karena banyak air yang didapat, akhirnya dibagi ke warga sekitar secara cuma-cuma selama 1 tahun. Tetapi, namanya orang, ada saja yang iri. Dalam kondisi krismon dan banyak utang, Yoyo malah dianggap sebagai orang gila karena membuat lubang di tanah.
Orang yang mencibir menganggap Yoyo mencari harta karun akibat banyak utang. “Dari situ balas budi ke tetangga dengan membagi air, yang ngolokin jadi malu sendiri, tapi itu bentuk toleransi saya ke warga, karena saya bisa mandi dan minum sementara tetangga tak bisa, jadi saya bagi,” tuturnya.
Akhirnya, dari air itu, banyak tetangga yang memberikan balas budi dengan memberi rezeki tanpa dia terget. Hingga usahanya berkembang dan dikelola dengan profesional sampai mendapatkan 4 ribu sambungan di tahun 2011. Mendapat omset puluhan juta per bulan, keuangan Yoyo kembali membaik. Tahun 2016 menjelang tahun 2017 merupakan tahun duka baginya.
Karena perusahaan airnya merupakan pertama di Bontang, ketika masuk PDAM milik pemerintah, sambungan airnya menurun karena program pemerintah dari 4 ribu menjadi 2 ribu sambungan.
Tetapi, Yoyo tetap legowo, karena memang program pemerintah. Yang penting, dirinya pernah membantu saat Bontang kesulitan air. “Saya ridho, karena saya bantu selama tidak ada air, biaya pemasangan instalasi disini juga hanya Rp 1 juta sejak tahun 1998 sampai sekarang, omset menurun, tetapi biaya pemeliharaan tidak menurun,” cerita pria penghobi motor gede itu.
Karena hilang 2 ribu sambungan, rencananya, bekas penampungan air untuk melayani masyarakat akan dimanfaatkan sebagai waterboom mini. Si Raja Air ini menyatakan memang tak ada target kapan waterboom mini itu bisa beroperasi mengingat kondisi saat ini yang serba defisit.
Yoyo pun saat ini memiliki 6 karyawan yang multifungsi, bisa pemasangan hingga penagihan. Dirinya hanya berpesan ketekunan dalam berusaha akan membuahkan hasil. “Seperti usaha yang saya jalani, bukan disengaja, tetapi karena kondisi sulit mendapatkan air bersih akhirnya membuahkan pundi-pundi rupiah,” kenangnya.
Sampai saat ini, Yoyo masih memimpin Perkumpulan Usaha Air Depo Air Minum Kota Bontang (Pusdam). Sehingga, siapa pun yang mau membuat usaha depo air harus meminta rekomendasi darinya untuk membuat perizinan di pemerintah. Yoyo juga tercatat sebagai Dewan Penasehat Paguyuban Wargi Sunda Bontang (PWSB) yang baru terbentuk.
Setelah sebelumnya, dia menjabat sebagai Ketua Paguyuban Sunda sejak tahun 1987. Yoyo juga pernah menjadi Ketua Etnis seluruh suku di Bontang selama 2 periode yakni 6 tahun. Pecinta moge tersebut, harus merelakan mogenya ditaksir oleh mantan Kapolres Bontang yang juga bersuku Sunda yakni AKBP Hendra Kurniawan dan saat ini menjadi Kapolres Paser.(***)
Tentang Yoyo
Nama : Yos Yoyo Susanto
TTL : Tasikmalaya, 19 November 1952
Alamat : Jalan Alexander No 17 RT 7 Kelurahan Berebas Tengah Kecamatan Bontang Selatan.
Nama orang tua: Alm Djali Gojali-Almh Cekaningsih
Nama istri: Yenny Susanto
Nama anak: Yonny Eka Susanti, Noviyanti Dwi Anggraeni
Riwayat Pendidikan:
- SDN Tasikmalaya
- STN Tasikmalaya
- STM Tasikmalaya
Pekerjaan:
- Pemilik PDAM Swasta Air Bersih Manuntung (ABM)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post