Pada April 2020, Encek Firgasih membeli minibus. Soal siapa yang bayar, dia minta bantuan kepala Badan Pendapatan Daerah Kutim. Asal uang menjadi tak penting.
SETELAH Ismunandar, giliran Encek Unguria Riarinda Firgasih yang dikonfrontasi jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Encek tak menepis jika Deky Aryanto menjadi rekanan yang ditunjuknya menghandel langsung pokok-pokok pikiran (pokir) di DPRD Kutai Timur (Kutim) pada 2019-2020. Namun, dia membantah ada fee komitmen dari pemberian pokir tersebut. Menurut ketua DPRD Kutim periode 2019-2024 nonaktif itu, timbal balik yang terjadi dari penunjukan Deky mengelola sebagian pokir itu hanya berupa mengakomodasi permintaan warga yang tak terduga.
“Kadang ada aspirasi warga yang tak bisa tertampung di APBD dan dikeluhkan ketika saya reses. Yang tak tertampung itu, saya minta Deky yang handel. Dananya memang berasal dari hasil yang disisihkan dari pokir-pokir itu,” ungkapnya bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap dan gratifikasi yang menjerat bupati dan ketua DPRD Kutim garapan KPK di Pengadilan Tipikor Samarinda, (12/10).
Bentuk bantuan ke masyarakat itu, sambung Encek, beragam. Dari bantuan dana untuk acara kampung hingga penyediaan fasilitas umum. Di antaranya, penyediaan pos siskamling hingga penyediaan tandon air bersih. Memang, sejak awal menunjuk Deky dia meminta ada penyisihan profit untuk dirinya. Tapi, satu hal dipertegasnya ke sang rekanan. “Dikasih pokir, kalau ada kegiatan masyarakat yang dadakan, bantu bunda handel pakai dana itu,” sambungnya.
Pertalian kerja sama itu berjalan baik. Sejak perkenalan pertama dirinya bersama Deky akhir 2018, hingga akhirnya Encek terpilih lagi duduk di kursi legislator Kutim periode 2019-2024. Sejak memimpin legislatif, Deky memang menyediakan rekening tersendiri. Isinya keuntungan yang disisihkan dari pokir-pokir yang dikerjakan tersebut. Dari rekening itu, Encek diberi kartu ATM-nya oleh Deky. “Kata Deky kalau sewaktu-waktu butuh uang buat kegiatan masyarakat dan dia lagi keluar daerah bisa pakai uang dari rekening itu,” sebutnya.
Menurutnya, Deky tak mengelola seluruh pokirnya selaku anggota dewan. Hanya sebagian. “Tak ingat pasti, sekitar 25 persen dari pokir saya yang disetujui TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah),” imbuhnya. Dia berkelit ketika JPU KPK mempertanyakan soal perannya yang mengatur agar Deky bisa mendapat pokir tersebut.
Dari kesaksiannya di persidangan, istri Ismunandar itu, membantah jika dia mengatur secara keseluruhan. Sejak pembahasan DPRD dan Pemkab Kutim, dia memang mengusulkan seluruh aspirasi yang diserapnya ketika reses. Soal terakomodasi atau tidak aspirasi yang diusulkan semua kembali ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutim.
“Deky langsung saya suruh koordinasi ke staf pribadi saya (Linawati) dan Bappeda. Kroscek apa saja pokir saya yang disetujui. Tak pernah berikan daftar pokir saya,” akunya bersaksi.
JPU pun melipir soal beberapa permintaannya ke terdakwa Deky untuk pembelian beberapa kendaraan. Salah satunya microbus Elf pada April 2020. Encek mengaku mobil itu dibeli memang atas nama dirinya. Namun, bukan untuk keperluan pribadinya. Pengakuannya, mobil berkapasitas 20 orang itu digunakan untuk kegiatan organisasi dan kegiatan kampanye suaminya; Ismunandar, yang maju di Pilkada Kutim 2020.
“Soal siapa yang bayar, saya memang minta bantuan Musyaffa. Tapi tak tahu asal uangnya dari mana. Karena itu juga untuk kepentingan Bapak (Ismunandar),” singkatnya.
Encek dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan virtual di Pengadilan Tipikor Samarinda dengan majelis hakim yang dipimpin Agung Sulistiyono bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo.
JPU KPK memilah lima saksi yang dihadirkan untuk Deky Aryanto dan Aditya Maharani Yuono, dua terdakwa dalam kasus suap bupati dan ketua DPRD Kutim, Ismunandar dan Encek tersebut. Encek bersama Linawati (staf Encek di DPRD Kutim) menjadi saksi untuk terdakwa Deky. Sementara tiga saksi lain, Aswandini kepala Dinas Pekerjaan Umum/PU Kutim nonaktif, tersangka dalam kasus ini), Asran Laode (kepala Seksi Pelaksanaan Jalan dan Jembatan di Dinas PU Kutim), dan Lila Mei Puspita Sari (staf administrasi di PT Turangga Triditya Perkasa/TTP, perusahaan milik terdakwa Aditya) dihadirkan untuk terdakwa Aditya.
Aswandini yang bersaksi untuk terdakwa Aditya Maharani Yuono, tak mengelak ada fee yang disisihkan direktur PT TTP tersebut untuk pihak di Dinas PU Kutim. Besarannya bervariasi. Sekitar 3-4 persen dari nilai kontrak diberikan untuk Dinas PU Kutim. Dan sebesar 2 persen untuk panitia di Unit Pelayanan Pengadaan (ULP). Selepas pembahasan APBD Murni Kutim 2020, sekitar Januari, Aditya sempat menemuinya di ruang kerjanya dan menyerahkan daftar beberapa kegiatan yang terdiri dari 19 proyek penunjukan langsung (PL) dengan nilai masing-masing di bawah Rp 200 juta. Serta 6 proyek tender senilai Rp 24 miliar.
“Kata dia (terdakwa Aditya), itu daftar dari Musyaffa (kepala Badan Pendapatan Daerah Kutim). Karena saya tahu Musyaffa orang dekat bupati makanya saya proses,” akunya.
Medio April 2020, ketika pandemi Covid-19 membuat anggaran harus direalokasi dan di-refoccusing, muncul edaran dari Sekretaris Kabupaten Kutim Irawansyah. Berisi penghentian seluruh kegiatan fisik dan memangkas seluruh kegiatan yang ada lantaran harus digeser untuk penanganan pandemi.
Dana senilai Rp 400 miliar yang diplot di APBD Kutim 2020 pun dirombak dan menyusut. Menjadi sekitar Rp 220 miliar. Dari penyusutan itu, Aswandini pun memerintahkan ke seluruh jajarannya di Dinas PU Kutim untuk mengosongkan sementara nilai di daftar penggunaan anggaran (DPA). Namun, terdakwa menemuinya dan meminta agar seluruh proyek PL dan lelang miliknya tak terkena pemangkasan. “Tapi saya bilang enggak punya kuasa sampai ke sana. Kalau mau koordinasi dengan bupati langsung,” sambungnya.
Sementara Asran Laode menuturkan, dari fee yang disisihkan terdakwa tersebar merata ke seluruh pejabat di Dinas PU Kutim. Soal nominal, mereka tak mematok. Hanya “seikhlasnya” dari rekanan.
Untuk Aditya, sebut dia, menjanjikan fee 7-10 persen dari nilai kegiatan PL dan 5 persen dari proyek lelang. Fee “seikhlasnya” yang disisihkan rekanan itu bakal tersebar dari kepala dinas hingga pejabat pembuat komitmen (PPK). Rinciannya, sebesar 1 persen dari nilai kontrak bakal diberikan ke kepala dinas. Ke PPK 4 persen, kepala bidang 1 persen, kepala seksi 0,5 persen, dan 3 persen untuk dana operasional dinas. “Dari dana operasional itu yang kadang diberikan ke bupati,” akunya.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: