Gerbang penuh karat menyambut Bontang Post di depan pintu masuk sekolah bernama SD Sidrap Luar itu. Gemuruh suara anak-anak SD sedang berlari pun terdengar jelas. Meski kondisi lingkungan sedang basah karena guyuran air yang tumpah dari langit, namun tak menurunkan semangat anak-anak untuk menuntut ilmu.
Bambang, Bontang
Wanita berbaju batik merah tiba-tiba menghentikan aktivitas mengajarnya saat melihat Bontang Post melangkahkan kaki masuk ke dalam bangunan SD. Tubuh semampainya bergegas keluar meninggalkan kelas, tempat dia “berjihad”. Saat itu, pandangan matanya fokus melihat kamera yang dibawa fotografer Bontang Post, Fahmi Fajri.
“Permisi bu, kami dari Bontang Post. Ada kepala sekolahnya? kami mau wawancara,” sapa kami di depan ruang kelas.
“Kepala sekolahnya sedang tidak ada. Yang ada hanya wakil kepala sekolah,” balas wanita berambut sepunggung itu.
“Silahkan duduk dulu di dalam kantor, saya panggilkan wakil kepala sekolah,” lanjut wanita bernama Merry Timba itu, sembari menunjukkan lokasi kantor.
Di ruang berukuran 5×3 meter itu, kami duduk di sofa berwarna merah yang tepat berada di depan pintu masuk. Di depan sofa, tergeletak meja kecil cokelat pudar. Tampak sebagian lantai keramik ruangan kotor dan basah akibat guyuran hujan. Di bagian kiri ruangan, juga berjejer meja-meja bercat merah. Meja itu sehari-hari digunakan 10 tenaga pengajar di sana untuk menunjang pekerjaan mereka. Satu meja, dilengkapi kursi panjang yang panjangnya sama dengan meja tersebut. Meski modelnya sudah jadul dan kondisinya ala kadarnya, namun para guru tampak enjoy menggunakannya.
“Ada apa mas?,” sapa wanita berambut sebahu memasuki ruangan guru, sembari menyalami kami dan duduk di sofa yang sama.
Rusning, guru yang juga menjabat sebagai wakil kepala sekolah itu pun menjawab setiap pertanyaan yang kami lontarkan. Selang beberapa waktu dia menjawab beberapa pertanyaan seputar kondisi sekolah, empat guru lainnya pun juga ikut menyusulnya masuk.
Di ruangan sederhana itu, Rusning menceritakan keluhan mereka yang minim diperhatikan pemerintah. Utamanya masalah insfrastruktur sekolah yang sudah banyak yang tidak laik. Seperti plafon rusak, jendela pecah, dinding penuh lumut, hingga kondisi bangunan yang dimakan usia. Apalagi jika hujan tiba, mereka harus secepatnya menggeser meja-meja lalu bergegas mencari baskom agar air yang mengucur dari plafon bocor tidak sampai merembes kemana-mana.
“Bosan kami dijanji-janji mau direnovasi. Sampaisekarang juga tidak ada wujudnya. Janji Mutaroe,” kata Rusning yang bersuku Bugis itu.
Selain janji-janji manis yang tak ditepati oleh pemangku kebijakan, masalah tapal batas yang hingga kini tak kunjung menemukan titik terang juga menjadi faktor terbesar berkurangnya bantuan-bantuan ke sekolah yang lokasinya di tapal batas Bontang-Kutai Timur (Kutim) itu. Dilanjutkan Rusning, alasan Pemkot Bontang tak membantu SD yang memiliki 62 siswa ini, karena wilayah tersebut masuk di wilayah Kutim. Sementara dari Pemkab Kutim sendiri pun tidak pernah memperhatikan wilayahnya.
“Dulu kami sempat dapat DBO (Dana Operasional Sekolah, Red.). Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Jadinya sekolah kami hanya seperti ini saja. Tidak ada perubahan. Karena tidak ada dananya,” terangnya.
Selain bantuan dari pemerintah, bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan pun juga dia rasakan sudah tidak ada lagi. Masalah tapal batas ini, ternyata juga berimbas terhadap murid yang bersekolah dan berdomisili di Kampung Sidrap. Mereka, tidak bisa mendapatkan bantuan beasiswa seperti halnya anak-anak yang berdomisili di Bontang.
Tak hanya siswa, kemirisan ini juga dirasakan para gurunya. Karena tak memiliki dana operasional, untuk menjalankan kewajiban mereka membuat laporan rutin ke Dinas Pendidikan (Disdik) Bontang, segala biaya mulai pembelian kertas, pembelian printer beserta tintanya, 10 guru tersebut sepakat menanggungnya bersama melalui iuran. “Kami patungan untuk biaya operasional. Mau bagaimana lagi,” kata dia.
Belum lagi masalah komputer. Karena ketiadaan fasilitas komputer di SD Sidrap Luar tersebut, sebagian guru ada yang mengerjakannya di laptop pribadi. Namun sebagiannya lagi harus mengerjakannya di warung internet (warnet).
“Intinya semua guru di sini sepakat, Sidrap ini bisa masuk wilayah Bontang. Karena kami ini sudah berada di bawah naungan Disdik Bontang. Kalau masuk wilayah Bontang, tentu pemerintah maupun perusahaan yang ingin menyumbang tidak khawatir lagi,” ujarnya.
Salah seorang siswa SD Sidrap Luar, tampak penasaran dengan kehadiran Bontang Post. Kami pun mendekati dan bertanya seputar kegiatan sekolah. “Kami ingin merasakan sekolah seperti di kota. Sekolahnya bersih, tak ada kaca pecah. Kami juga ingin merasakan beasiswa,” tukas seorang siswa kelas VI, yang tak ingin namanya dikorankan karena alasan malu. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: