SAMARINDA – Tingginya angka golongan putih (golput) atau warga masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih menjadi tantangan utama dalam demokrasi Indonesia, khususnya di Kaltim. Apalagi dalam beberapa bulan ke depan serangkaian pemilu yang akan digelar, mulai dari Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim dan Pemilu 2019.
Guru besar Universitas Mulawarman Adam Idris menjelaskan, berdasarkan data yang ada, angka golput ini semakin tinggi dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Hal ini dianggap membahayakan karena menunjukkan minimnya kepercayaan masyarakat pada pemerintahan.
“Masih banyak warga negara indonesia yang tidak menggunakan hak pilihnya seara langsung. Entah secara sengaja atau tidak sengaja. Di samping itu juga masih ada yang golput. Ini yang perlu diantisipasi ke depan, karena ternyata secara nasional angkanya memprihatinkan,” ungkap Adam Idris dalam sosialisasi pengawasan pemilu partisipatif beberapa waktu lalu.
Khususnya di Kaltim, angka golput masih terbilang tinggi. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim, diketahui angka golput dalam Pilgub Kaltim periode sebelumnya yaitu Pilgub 2013, angka golput mencapai 44,52 persen. Atau sebanyak 1,25 juta warga yang memilih tidak menggunakan hak pilihnya.
Angka ini sempat mengalami penurunan dalam Pemilu 2014, masing-masing 31,85 persen pada pemilu legislatif dan 37,37 persen pada pemilu presiden. Namun dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2015, angkanya kembali bertambah menjadi 43,03 persen.
“Bahkan untuk pemilihan wali kota (Pilwali) di Samarinda tahun 2016, angka golputnya mencapai 50,83 persen. Ini tentu sangat membahayakan,” sambungnya.
Kata Adam, jumlah angka golput sebenarnya tidak mengurangi legitimasi atau keabsahan dari pejabat pemerintahan maupun wakil rakyat yang terpilih. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau angka partisipasi masyarakat semakin tinggi. Karena dengan semakin tingginya partisipasi masyarakat berarti tingkat kepercayaan semakin besar kepada pemerintah dan anggota legislatif.
Dia menjelaskan, istilah golput sejatinya berasal dari era orde baru. Kala itu ada sejumlah anggota DPR/MPR yang tidak dipilih langsung oleh rakyat. Melainkan diangkat berdasarkan keputusan presiden.
“Makanya mereka ketika memberikan suaranya, mencoblos di luar gambar partai yaitu kertas yang berwarna putih. Sehingga kemudian disebut golongan putih atau tidak memihak,” ungkap Adam.
Namun karena saat ini semua anggota DPR dan DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat, maka konsep golput ini sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan. Untuk itu Adam meminta kepada para penggiat golput untuk ikut bersama-sama menyukseskan pemilu dengan memberikan hak suaranya. “Karena apa yang disebut golput itu sekarang sudah tidak ada lagi,” sambungnya.
Dosen FISIP Universitas Mulawarman Samarinda ini menyarankan warga masyarakat untuk tidak golput. Karena di satu sisi, apabila golput maka secara pribadi orang tersebut tidak memiliki keterwakilan, apakah di parlemen atau di pemerintahan. “Bila pelaku golput mendapat masalah, mau mengadu kemana? Kan tidak memiliki keterwakilan,” sebut Adam.
Makanya dia menyimpulkan tingginya golput ini sebagai tantangan yang mesti dihadapi dalam pemilu ke depan. Bukan saja oleh para penyelenggara pemilu, melainkan juga menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Yaitu bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa meningkat.
“Dengan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, membuat angka golput menjadi semakin tinggi,” tegasnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: