Kegiatan usaha sarang walet di Bontang semakin padat. Namun, dari aspek perizinan belum tertib. Sehingga kontribusi bagi peningkatan pendapatan daerah belum optimal.
BONTANG–Usaha sarang walet terus menjamur di Kota Taman. Dari hasil penelusuran Kaltim Post (induk Bontangpost.id) di Kelurahan Tanjung Laut Indah, terdapat 14 bangunan. Tepatnya di sekitar Jalan Sultan Syahrir.
Bangunan pertama terletak di sisi kiri jalan. Jika dari arah Masjid Al Hijrah. Bangunan tersebut berketinggian sekira 10 meter. Terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar dijadikan toko. Di atasnya ialah rumah tinggal pemilik. Sarang walet itu berada di lantai paling atas.
Bangunan sarang walet terus berjejer. Titik terakhir di kelurahan tersebut terdapat di samping SMP 3. Tepatnya di Jalan Pelabuhan III. Ketinggian bangunan justru lebih rendah. Mengingat lokasi ini dekat dengan laut.
Beralih ke Kelurahan Berbas Pantai. Jumlahnya semakin meningkat. Tercatat 22 bangunan. Mulai Jalan Sultan Hasanuddin hingga Pangeran Antasari. Terbanyak justru terdapat di Kelurahan Berebas Tengah.
Di Jalan WR Soepratman terdapat 13 bangunan berjejer. Perinciannya, 11 bangunan berada di sebelah kanan jalan jika dari arah Kelurahan Tanjung Laut. Sisanya di kiri jalan.
Uniknya, lokasi di sebelah kanan jalan ini bangunannya berdempetan. Bangunan yang terletak di Jalan Sultan Hasanuddin tetapi masuk kawasan ini pun terdapat lima bangunan.
Terbanyak berada di kawasan Jalan Zamrut. Total mencapai 20 bangunan. Detail bangunan pun sama. Mulai satu hingga tiga lantai. Selain itu, bangunan dapat dikhususkan untuk sarang walet atau sekaligus kediaman pemilik.
Salah satu petani sarang walet di Kelurahan Berbas Pantai, Astutik, berkata memulai usaha ini sejak 2014. Harga sarang walet kini fluktuatif. Berdasarkan penjualan terakhir, dia dipatok oleh pembeli seharga Rp 12 juta per kilogram. Itu pun sarangnya harus berbentuk bagus layaknya mangkok dan bersih.
Dia berujar, penjualan sarang walet ini tidak susah. Astutik mengaku dalam setahun belakangan ini dapat memanen sekira 10 kali. Meski besaran panen tidak menentu. Terkadang banyak atau sedikit.
“Orangnya datang ke sini. Dia (pembeli) berasal dari Jakarta. Tetapi mempunyai rekan di sini (Bontang),” kata Astutik.
Prosesnya ialah ketika walet bertelur, dia bakal menunggu telur itu menetas agar walet berkembang biak. Jadi, jumlahnya banyak. Setelah menetas, Astutik menunggu walet itu pergi. Kemudian, mengambil sarang tersebut. Dituturkan dia, hasil panen pun sangat bergantung pada lokasi bangunan.
Umumnya, jika berada di dekat laut, walet yang masuk bangunan semakin banyak. Selain itu, struktur bangunan, material yang dipakai, hingga fasilitas seperti sarana uap pun memengaruhi.
Astutik mengatakan, bersyukur dengan berapa pun jumlah panen. Pasalnya, dia tidak repot memelihara walet. Karena burung tersebut datang sendiri ke bangunannya. “Disyukuri saja karena kan tidak memelihara,” ucapnya.
Di samping itu, dia mengaku belum mengurus proses perizinan. Mengingat, sebelumnya terhambat status kepemilikan bangunan. “Dulunya itu tanahnya atas nama suami saya. Nah ketika dia meninggal, tidak bisa saya urus izin mendirikan bangunan (IMB) atas nama saya. Sebab itu, saya balik nama dulu,” sebutnya.
Proses itu sudah dilakukan belum lama ini. Kini dia berjanji mengurus IMB dalam waktu dekat. Meski, pendapatan saat ini tidak sebesar dulu. Sebab, Astutik menuturkan dulu satu kilogram bisa mencapai Rp 18 juta.
Sementara itu, Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Pertanian (DKP3) melakukan pendataan terakhir pada 2011. Kepala DKP3 Aji Erlynawati mengatakan, saat itu pihaknya hanya membantu melakukan pendataan.
“Kewenangan ini ada di Pemprov Kaltim. Sesuai UU 23/2014. Karena walet ini kan merupakan hasil hutan non-kayu,” kata Aji. (*/ak/kri/k8/prokal)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: